Kalaupun harus dibuat menjadi beberapa artikel (part 1, 2, dst,) itu hanya dilakukan kalau terpaksa sekali. Belakangan, memang muncul artikel dengan listikel, atau poin per poin dengan jumlah cukup banyak.
Itu memang jadi sebuah tren kekinian. Tapi, dalam posisi artikel sebagai sebuah bacaan, idealnya tidak boleh terlalu banyak, karena bisa membuat pembaca jengkel, kecuali jika tulisan tersebut adalah cerita bersambung.
Jelas, dalam posisinya sebagai sebuah budaya, membaca adalah satu hal yang harus dibiasakan, bukan dipaksakan. Jika sudah terbiasa, barulah itu akan menjadi satu budaya.
Di sisi lain, ada juga senior yang menyarankan untuk ikut lomba menulis di rumah biru ini. Sebuah saran yang menantang, karena lomba adalah satu hal yang cukup rumit.
Saya sadar, lomba menulis punya sesuatu yang sangat berbeda. Ada begitu banyak lomba yang hadir di tiap periode, dan ada banyak juga spesialis juara lomba di sini.
Dibanding mereka, saya jelas hanya anak bawang. Saya menyadari itu setelah sempat beberapa kali iseng mencoba, dan memutuskan untuk tidak asal coba-coba.
Tapi, disinilah senior kembali hadir "mengompori" saya untuk mau mencoba lagi. Hasilnya, dalam lomba menulis artikel di sebuah komunitas blogger, saya  keluar sebagai juara ketiga. Setelahnya, muncul lagi satu lomba menulis artikel, dengan skala lebih besar.
Awalnya, saya kurang tertarik untuk ikut serta, tapi berkat "dikompori" seorang senior, saya akhirnya mau mencoba. Soal hasil, itu urusan nanti. Menang atau tidak, juri yang memutuskan, peserta hanya bisa menerima.
Jujur, saya tak mau berharap terlalu banyak, karena jika kecewa karenanya, rasanya terlalu menyebalkan. Praktis, yang bisa saya lakukan adalah berusaha sebaik mungkin, sesuai aturan saja, sambil berharap juri benar-benar objektif dalam memutuskan.
Berhubung saya bukan seorang "deadliner", saya memilih untuk mengolah dan membuat artikel sebelum "deadline" lomba mendekat. Pada hari terakhir, di saat sebagian orang sedang kocar-kacir, saya justru bisa bersantai, karena semua sudah beres.
Di sini, saya memilih untuk tidak menjadi "deadliner", karena kondisi fisik memang tidak memungkinkan. Jujur, menjadi "deadliner" dalam kondisi seperti ini adalah satu mimpi buruk yang harus dihindari. Jadi, akan keterlaluan jika saya malah menjadi "deadliner".