Selama aktif menulis di Kompasiana, ada satu hal yang cukup mewarnai perjalanan saya di sini, yakni kehadiran Kompasianer senior. Senior yang saya maksud disini adalah mereka yang lebih dulu bergabung di platform ini.
Sejak awal, para senior yang datang dari berbagai latar belakang ini sangat terbuka dalam hal memberi masukan atau berinteraksi, baik di kolom komentar maupun media sosial.
Tapi, dari berbagai masukan yang ada, ada sebuah paradoks, meski sebenarnya sama-sama berbentuk "kompor" dalam konteks positif.
Kadang, ada dari para senior ini yang mengajak saya untuk "tancap gas", dengan fokus menulis satu topik yang dianggap menjadi spesialisasi saya. Satu hal yang normal, karena topik itu hadir di sebagian besar artikel yang sudah saya tulis di K.
Jika yang dicari adalah nominasi dan trofi di Kompasianival saja, saran itu masuk akal. Tinggal fokus menulis satu topik, sebar artikel kesana-kemari, dan menaikkan frekuensi menulis dalam sehari. Selebihnya, mungkin seperti politisi di masa kampanye, kecuali jika kita memang saling kenal secara pribadi.
Masalahnya, berhubung frekuensi menulis saya sempat anjlok karena sibuk bekerja di kantor, saya masih butuh waktu lebih banyak, untuk membuatnya kembali konsisten.
Kalau sudah konsisten, barulah bisa ditingkatkan. Untuk saat ini, menulis satu atau dua artikel sehari memang sudah mulai kembali jadi kebiasaan.
Tapi, saya masih memilih "libur" sejenak di tanggal 31, jika dalam sebulan ada 31 hari. Tujuannya simpel, supaya saya tak berhenti menulis terlalu lama, akibat merasa jenuh.
Saya sendiri sadar, rasa jenuh ini kadang bisa datang. Sekali jenuh, rasanya seperti kehabisan bensin. Butuh waktu lebih dari sehari untuk jeda.
Soal menulis artikel, saya lebih suka membuatnya dengan gaya sendiri, dan tak ingin asal comot. Bagi saya, sebuah tulisan harus punya gaya khas si penulis, dengan informasi yang serba utuh.
Kalaupun harus dibuat menjadi beberapa artikel (part 1, 2, dst,) itu hanya dilakukan kalau terpaksa sekali. Belakangan, memang muncul artikel dengan listikel, atau poin per poin dengan jumlah cukup banyak.
Itu memang jadi sebuah tren kekinian. Tapi, dalam posisi artikel sebagai sebuah bacaan, idealnya tidak boleh terlalu banyak, karena bisa membuat pembaca jengkel, kecuali jika tulisan tersebut adalah cerita bersambung.
Jelas, dalam posisinya sebagai sebuah budaya, membaca adalah satu hal yang harus dibiasakan, bukan dipaksakan. Jika sudah terbiasa, barulah itu akan menjadi satu budaya.
Di sisi lain, ada juga senior yang menyarankan untuk ikut lomba menulis di rumah biru ini. Sebuah saran yang menantang, karena lomba adalah satu hal yang cukup rumit.
Saya sadar, lomba menulis punya sesuatu yang sangat berbeda. Ada begitu banyak lomba yang hadir di tiap periode, dan ada banyak juga spesialis juara lomba di sini.
Dibanding mereka, saya jelas hanya anak bawang. Saya menyadari itu setelah sempat beberapa kali iseng mencoba, dan memutuskan untuk tidak asal coba-coba.
Tapi, disinilah senior kembali hadir "mengompori" saya untuk mau mencoba lagi. Hasilnya, dalam lomba menulis artikel di sebuah komunitas blogger, saya  keluar sebagai juara ketiga. Setelahnya, muncul lagi satu lomba menulis artikel, dengan skala lebih besar.
Awalnya, saya kurang tertarik untuk ikut serta, tapi berkat "dikompori" seorang senior, saya akhirnya mau mencoba. Soal hasil, itu urusan nanti. Menang atau tidak, juri yang memutuskan, peserta hanya bisa menerima.
Jujur, saya tak mau berharap terlalu banyak, karena jika kecewa karenanya, rasanya terlalu menyebalkan. Praktis, yang bisa saya lakukan adalah berusaha sebaik mungkin, sesuai aturan saja, sambil berharap juri benar-benar objektif dalam memutuskan.
Berhubung saya bukan seorang "deadliner", saya memilih untuk mengolah dan membuat artikel sebelum "deadline" lomba mendekat. Pada hari terakhir, di saat sebagian orang sedang kocar-kacir, saya justru bisa bersantai, karena semua sudah beres.
Di sini, saya memilih untuk tidak menjadi "deadliner", karena kondisi fisik memang tidak memungkinkan. Jujur, menjadi "deadliner" dalam kondisi seperti ini adalah satu mimpi buruk yang harus dihindari. Jadi, akan keterlaluan jika saya malah menjadi "deadliner".
Uniknya, cara yang sama, yakni "jurus kompor meleduk" juga diterapkan senior lainnya, saat menyarankan satu topik tulisan politik, topik yang menurut saya "panas" seperti jeroan daging ayam.
Awalnya, saya memilih untuk menulis seperlunya, karena ada beberapa senior yang menyarankan untuk tidak sering-sering menulis topik satu ini.
Tapi, saat ada yang "mengompori", selama data dan informasinya valid, serta bebas beropini sebagai diri sendiri, semua bisa diatur. Â
Dari sini, keberanian itu mulai datang, dan pelan-pelan membuat diri lebih berkembang, dengan semua terjadi begitu saja. Hal seperti inilah, yang jadi guru buat penulis amatir bin otodidak seperti saya.
Proses ini sendiri sebetulnya tidak sebentar, tapi nilai manfaat dan progresnya semakin berkembang, karena boleh terus ditekuni.
Inilah yang membuat saya merasa betah di Kompasiana. Selain bebas jadi diri sendiri, lewat menulis, saya juga bisa melakukan terapi psikologi rutin, seperti disarankan oleh seorang psikolog (yang juga seorang penulis buku) kepada saya di satu kesempatan. Sebuah terapi sederhana yang cukup menyenangkan.
Terlepas dari berbagai drama yang ada, adanya ruang untuk lebih berkembang secara personal dan kemampuan, adalah satu paket hadiah sangat berharga.
Di satu momen, "dikompori" memang bisa jadi menjengkelkan, tapi "kompor" bisa jadi satu medium yang mematangkan atau mendorong pertumbuhan ke arah positif, selama itu masuk akal dan tujuannya baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H