Bicara soal manga alias komik Jepang, Doraemon boleh dibilang merupakan salah satu "sesepuh" manga, karena sudah hadir sejak 1969 di Jepang. Dimulai sebagai sisipan cerita lepas di majalah anak-anak, dan dibukukan dalam 45 jilid komik berisi kumpulan cerita lepas.
Untuk versi Jepangnya, manga Doraemon terbit antara tahun 1974-1996. Kisah robot musang kucing biru dari masa depan ini awalnya dibuat oleh Fujiko. F. Fujio, yang terdiri dari duet Hiroshi Fujimoto (1933-1996) dan Motoo Abiko, alias Fujiko. A. Fujio  (87 tahun).
Untuk versi bahasa Indonesia, Doraemon pertama kali hadir antara tahun 1991 (jilid pertama) sampai tahun 2000 (jilid 45), disusul edisi cetak ulang pada paruh pertama dekade 2010-an, dengan PT Elex Media Komputindo sebagai penerbit.
Dalam perjalanannya, duet ini pecah kongsi pada tahun 1987. Setelahnya, Hiroshi terus melanjutkan cerita Doraemon dan menghadirkan "Doraemon Petualangan" sampai wafat karena sakit di tahun 1996.
Sementara itu, Abiko fokus bersolo karier, dengan antara lain menerbitkan manga "Ninja Hattori-Kun", yang eksis antara tahun 1981-1988 di Jepang.
Dalam versi bahasa Indonesia, komik ini terdiri dari 16 jilid, dengan versi anime yang cukup populer di Indonesia, terutama di kalangan generasi 90-an. Satu masa ketika acara televisi di hari Minggu begitu menyenangkan.
Kembali ke Doraemon, komik ini saya sebut segar, karena cerita-cerita di dalamnya masih cukup relevan dengan realita kekinian, khususnya di Indonesia, entah secara serius maupun jenaka.
Ada "bullying", seperti yang biasa dilakukan Giant dan Suneo kepada Nobita yang lemah. Sosok Nobita sendiri terlihat makin suram, karena punya kemampuan akademis di bawah rata-rata
Fenomena "bullying" sendiri merupakan satu penyakit lama di dunia pendidikan, termasuk di Indonesia. Hanya saja, sejak pandemi merebak, arenanya banyak berpindah ke dunia maya.
Berkat alat-alat dari kantong ajaib Doraemon, Nobita biasanya mampu membalas risakan Giant dan Suneo, atau memenuhi semua keinginannya. Sayang, semua kemudahan itu justru sering jadi bumerang buat Nobita, karena membuatnya lupa diri.
Diluar itu, ada kisah-kisah nostalgia, cinta monyet (seperti pada Nobita dan Shizuka), sekolah, cita-cita pribadi, dan kekonyolan-kekonyolan yang menjadi warna khas masa kanak-kanak di tiap generasi.
Uniknya, tokoh Nobisuke Nobi (ayah Nobita) dari manga ini belakangan ikut jadi sorotan warganet Indonesia, karena dinilai punya kemiripan dengan sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden keenam RI. Â
Tentunya, ini hanya untuk lucu-lucuan, seperti halnya meme-meme tokoh manga Doraemon lainnya, yang belakangan ikut mewarnai media sosial di Indonesia.
Secara pribadi, manga Doraemon adalah satu seri komik yang berkesan buat saya. Penyebabnya, selain bermanfaat dari segi hiburan, khususnya komedi, Doraemon juga ikut menghadirkan perspektif lain soal manga.
Robot cerpelai kucing yang takut tikus ini, menjadi pintu gerbang saya menuju manga beralur lebih kompleks, sebelum  naik kelas ke novel dan menulis. Berkat manga Doraemon juga, saya punya "rem pakem" untuk selektif dalam memilih manga fisik untuk dikoleksi.
Saya sendiri lebih memilih punya komik fisik ketimbang digital, karena lebih nyaman untuk mata. Selain itu, komik fisik sudah menemani sejak saya masih duduk di bangku sekolah dasar.
Saya masih ingat betul, keempat puluh lima jilid komik Doraemon itu datang dari berbagai latar. Dari harga mati sampai nego, dari mall sampai lapak toko buku bekas.
Di sisi lain, saya memilih berorientasi pada isi ketimbang bagian luarnya. Penyebabnya, ada perbedaan format jilid dan sampul, seperti pada foto manga Doraemon di atas.
Selebihnya, kurang lebih sama. Hanya kualitas terjemahan dan elemen latar saja yang disesuaikan.
Misalnya, jika pada terjemahan lama, Â mata uang yang kadang disebut adalah "Rupiah", maka di terjemahan baru menjadi "Yen", sesuai dengan aslinya.
Dari segi kuliner, kue dorayaki yang sempat ditulis sebagai "kue pukis" atau "kue donat" di edisi cetakan lama, secara konsisten ditulis sebagai dorayaki, yang notabene cemilan manis khas Jepang.
Contoh lainnya, tokoh Giant yang dalam edisi cetakan lama kadang ditulis sebagai "Jaian", secara konsisten ditulis "Giant" di edisi cetakan baru, sesuai aslinya.
Ada juga nama tokoh "pemeran pendukung", yakni Jaiko (Adik perempuan Giant) yang sempat ditulis sebagai "Ratmi" pada manga Doraemon jilid pertama. Rupanya, nama itu diadaptasi dari nama pelawak kondang Ratmi B-29.
"Disesuaikan dengan aslinya" juga menjadi garis besar alasan, dibalik perbedaan format jilid komik Doraemon versi "klasik" dan cetak ulang.
Seperti diketahui, format klasik menggunakan gaya jilid komik ala Indonesia (dari kanan ke kiri, atau depan ke belakang). Gaya ini antara lain biasa ditemui di komik wayang karya RA Kosasih atau S. Ardisoma.
Awalnya tak ada masalah, sampai ditemukan kerancuan antara arah "kiri" dan "kanan" yang terbalik dengan aslinya. Inilah satu alasan mengapa format jilid manga belakangan tampak terbalik dibanding sebelumnya.
Jika membeli semuanya, tentu perlu mempertimbangkan biayanya. Karenanya, melengkapi nomor jilid komik, dengan "mencampur" format jilidnya pun jadi.
Lagipula, dengan cara itu, saya bisa ikut sedikit "merekam" jejak literasi budaya populer, dan memahami dinamikanya. Dengan begitu, setiap perubahan yang hadir bukan masalah, karena itu adalah bagian dari dinamika.
Selain karena pertimbangan biaya, kapasitas tempat juga jadi perhatian. Sebanyak apapun keinginan, ketersediaan tempat akan sulit mengimbangi, kecuali diberi batasan yang jelas.
Bagi saya, jika itu adalah sebuah cerita seri, jumlah jilid maksimalnya tak lebih dari 40-45 jilid. Kecuali, jika tersusun dari serangkaian babak cerita (arc) yang progresnya jelas, tidak terlalu berputar-putar.
Sebagai sebuah karya seni, kompleksitas memang  bisa memperindah komik, tapi ia tetap perlu punya kesederhanaan, seperti layaknya produk literasi.
.
Bagi saya ini penting, karena jika satu cerita terlalu panjang, tanpa ada progres yang jelas, titik jenuh bisa muncul, dan ini bisa merusak rasa nyaman yang sudah ada. Apalagi, jika ternyata komik yang lama kita ikuti itu ternyata jadi "never ending story".
Memang, manga yang jadi "never ending story akan diramaikan dengan beragam teori alur cerita atau "fanmade story" (doujinshi), tapi "jiwa" dan "rasa" nya sudah berbeda.
Salah-salah, bisa tersandung masalah hak cipta, terutama jika gaya ilustrasi dan ceritanya terlalu mirip dengan yang asli.
Kasus ini sempat terjadi di tahun 2006, saat komik "Doraemon Ending" viral di dunia maya. Karena dinilai melakukan plagiarisme, sang kreator harus membayar denda tak sedikit. Bukan untung malah buntung.
Padahal, membaca komik seharusnya adalah satu proses menikmati cerita, yang seharusnya menyenangkan. Soal selera dan memori, seharusnya takkan jadi masalah. Setiap orang punya selera dan memorinya masing-masing.
Awalnya, saya juga tak terlalu memikirkan masalah plot cerita, tapi seiring bertambahnya usia, hal ini semakin terasa. Hidup ini cuma sekali, terlalu mahal kalau hanya untuk diisi dengan rasa penasaran berkepanjangan, atas hal yang sebenarnya sudah tak bisa diapa-apakan.
Pada akhirnya, saya berterima kasih pada musang mekanik robot kucing bersuara rocker ini, karena darinyalah saya bisa sedikit menikmati dan memahami manga, sekaligus mengingat batasan yang tak boleh dilupakan soal manga. Tanpa robot penggemar dorayaki ini, saya mungkin takkan doyan membaca, apalagi mau menulis, seperti yang sedang Anda baca ini.
Â
Sebagai penutup, izinkan saya menampilkan video lagu "Doraemon No Uta". Selamat menikmati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI