Dari segi kuliner, kue dorayaki yang sempat ditulis sebagai "kue pukis" atau "kue donat" di edisi cetakan lama, secara konsisten ditulis sebagai dorayaki, yang notabene cemilan manis khas Jepang.
Contoh lainnya, tokoh Giant yang dalam edisi cetakan lama kadang ditulis sebagai "Jaian", secara konsisten ditulis "Giant" di edisi cetakan baru, sesuai aslinya.
Ada juga nama tokoh "pemeran pendukung", yakni Jaiko (Adik perempuan Giant) yang sempat ditulis sebagai "Ratmi" pada manga Doraemon jilid pertama. Rupanya, nama itu diadaptasi dari nama pelawak kondang Ratmi B-29.
"Disesuaikan dengan aslinya" juga menjadi garis besar alasan, dibalik perbedaan format jilid komik Doraemon versi "klasik" dan cetak ulang.
Seperti diketahui, format klasik menggunakan gaya jilid komik ala Indonesia (dari kanan ke kiri, atau depan ke belakang). Gaya ini antara lain biasa ditemui di komik wayang karya RA Kosasih atau S. Ardisoma.
Awalnya tak ada masalah, sampai ditemukan kerancuan antara arah "kiri" dan "kanan" yang terbalik dengan aslinya. Inilah satu alasan mengapa format jilid manga belakangan tampak terbalik dibanding sebelumnya.
Jika membeli semuanya, tentu perlu mempertimbangkan biayanya. Karenanya, melengkapi nomor jilid komik, dengan "mencampur" format jilidnya pun jadi.
Lagipula, dengan cara itu, saya bisa ikut sedikit "merekam" jejak literasi budaya populer, dan memahami dinamikanya. Dengan begitu, setiap perubahan yang hadir bukan masalah, karena itu adalah bagian dari dinamika.
Selain karena pertimbangan biaya, kapasitas tempat juga jadi perhatian. Sebanyak apapun keinginan, ketersediaan tempat akan sulit mengimbangi, kecuali diberi batasan yang jelas.
Bagi saya, jika itu adalah sebuah cerita seri, jumlah jilid maksimalnya tak lebih dari 40-45 jilid. Kecuali, jika tersusun dari serangkaian babak cerita (arc) yang progresnya jelas, tidak terlalu berputar-putar.
Sebagai sebuah karya seni, kompleksitas memang  bisa memperindah komik, tapi ia tetap perlu punya kesederhanaan, seperti layaknya produk literasi.
.
Bagi saya ini penting, karena jika satu cerita terlalu panjang, tanpa ada progres yang jelas, titik jenuh bisa muncul, dan ini bisa merusak rasa nyaman yang sudah ada. Apalagi, jika ternyata komik yang lama kita ikuti itu ternyata jadi "never ending story".