Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kampanye Masa Gitu?

19 Agustus 2021   05:23 Diperbarui: 19 Agustus 2021   05:25 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan, ini bukan judul komedi situasi yang dibintangi Sophia Latjuba atau Chelsea Islan. Ini hanya sebentuk keheranan saya, atas banyaknya baliho politisi yang muncul di jalanan dalam berbagai warna dan jargon.

Bagi saya, fenomena ini memang mengherankan. Tak ada pileg, pilpres apalagi pilkada tahun ini, tapi ada wajah beberapa politisi yang terpampang di sejumlah baliho di seantero negeri.

Sebagian orang menyebut ini sebagai strategi "cek ombak". Hadirnya baliho figur politisi tersebut menjadi alat untuk mengukur bagaimana respon masyarakat atasnya.

Jika responnya buruk, tak butuh waktu lama untuk menunggu baliho-baliho itu berganti gambar atau kembali jadi polos. Sebagai gantinya, akan muncul foto figur-figur lain, yang dinilai lebih populer dan mampu menjaring suara masyarakat.

Ujung-ujungnya sudah jelas, Pilpres 2024.

Jadi, sehubungan dengan hal itu, muncul opini lain dari sebagian orang: ini adalah satu strategi "kampanye dini" untuk membangun popularitas. Pilpres 2024 mendatang berpeluang menghadirkan kompetisi terbuka, dengan menghadirkan figur-figur baru di kompetisi menuju istana.

Penyebabnya, berdasarkan aturan yang berlaku, Jokowi sudah tak mungkin maju lagi sebagai kontestan, karena sudah menjabat sebagai presiden dalam dua periode. Praktis, "nama lama" yang masih berpeluang ikut serta tinggal Prabowo Subianto.

Meski ada kesan kalau para politisi dalam baliho itu terkesan kurang percaya diri dengan popularitasnya, karena memasang banyak iklan di baliho, strategi ini masih digunakan. Seperti iklan rokok, strategi "pasang baliho" dinilai bisa membangun familiaritas di mata publik.

Masalahnya, dalam konteks kekinian, strategi "pasang iklan di baliho" ini adalah satu indikasi kurang baik, khususnya jika melihat relevansi antara pola pikir yang mereka tampilkan, dengan tren yang saat ini berkembang.

Jelas, seiring kemajuan teknologi, tren promosi lewat baliho sudah lumayan tergerus oleh media digital dan internet, khususnya media sosial.

Sebagai contoh, perusahaan rokok yang biasanya merajai baliho di jalanan mulai mengurangi anggaran promosi lewat baliho, dan mengalihkannya ke media digital.

Contoh lainnya, ada televisi yang beralih menjadi digital, karena  teknologi analog sudah terlalu mahal tapi ketinggalan zaman. Kalau dipertahankan, bisa boncos.

Apalagi, pangsa pasar televisi makin berkurang, seiring penurunan kualitas tayangan yang terjun bebas.

Jadi, pola pikir strategi "pasang iklan di baliho" ini sudah sangat ketinggalan zaman. Posisinya selangkah di belakang televisi yang sudah mulai dianggap "old school".

Pertanyaannya jelas kok. Sudah ada teknologi yang praktis, kenapa masih repot?

Kalau memang politisi ini masih bersikeras mengandalkan baliho, kita perlu khawatir dengan pola pikir mereka. Belum menjabat saja sudah kuno, tidak adaptif, bagaimana kalau nanti sudah menjabat, mau dibawa kemana negara ini?

Oke, demokrasi terbuka di Indonesia baru dimulai setelah reformasi 1998, masih muda, banyak suara, banyak pertentangan. Maklum, namanya saja masih muda.

Tapi, bukan berarti kualitas pola pikir kita boleh mundur ke belakang. Pembodohan seperti ini sudah keterlaluan.

Di masa pandemi seperti sekarang, mereka yang berlomba-lomba pasang  iklan di baliho sungguh ceroboh, karena sudah menggelontorkan dana untuk hal yang terbukti sudah tidak efektif.

Kalau sudah begini, selanjutnya bisa ditebak: akan ada pembagian sembako gratis dan sedikit uang tunai, yang hanya efektif digunakan dalam beberapa hari, tapi harus ditebus dengan jabatan selama lima tahun.

Terlalu jomplang.

Ini sudah terlalu kuno, masa masih mau dilanjutkan?

Masalahnya, kalau semua calon yang ada berpola pikir kuno, siapa yang bisa dipilih?

Kalau sudah begini, sudah seharusnya masyarakat kompak mengkritisi keterbelakangan ini. Dengan harapan, KPU juga bisa menetapkan syarat "mampu berpola pikir adaptif", dan melarang penggunaan baliho, karena tak relevan dengan kondisi.

Sederhana saja, kita butuh sosok pemimpin yang adaptif terhadap kemajuan teknologi, mampu membawa negara ini melangkah maju, dan menjangkau semua kalangan. Bukan sebaliknya.

Daripada berlomba-lomba pasang iklan di baliho, akan lebih baik jika para politisi dan partai ini bisa menampilkan kinerja atau dampak positif.

Misalnya, dengan mengadakan vaksinasi massal COVID-19, dan tak membuat kegaduhan di masyarakat. Simpel, tapi bisa berdampak positif buat banyak orang. Dengan demikian, kita tahu betul siapa mereka dan mengapa kita memilihnya.

Ini akan jauh lebih baik, daripada menghamburkan uang, tapi akhirnya hanya diingat sebagai gambar dalam baliho.

Bisa?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun