Sebagai contoh, perusahaan rokok yang biasanya merajai baliho di jalanan mulai mengurangi anggaran promosi lewat baliho, dan mengalihkannya ke media digital.
Contoh lainnya, ada televisi yang beralih menjadi digital, karena  teknologi analog sudah terlalu mahal tapi ketinggalan zaman. Kalau dipertahankan, bisa boncos.
Apalagi, pangsa pasar televisi makin berkurang, seiring penurunan kualitas tayangan yang terjun bebas.
Jadi, pola pikir strategi "pasang iklan di baliho" ini sudah sangat ketinggalan zaman. Posisinya selangkah di belakang televisi yang sudah mulai dianggap "old school".
Pertanyaannya jelas kok. Sudah ada teknologi yang praktis, kenapa masih repot?
Kalau memang politisi ini masih bersikeras mengandalkan baliho, kita perlu khawatir dengan pola pikir mereka. Belum menjabat saja sudah kuno, tidak adaptif, bagaimana kalau nanti sudah menjabat, mau dibawa kemana negara ini?
Oke, demokrasi terbuka di Indonesia baru dimulai setelah reformasi 1998, masih muda, banyak suara, banyak pertentangan. Maklum, namanya saja masih muda.
Tapi, bukan berarti kualitas pola pikir kita boleh mundur ke belakang. Pembodohan seperti ini sudah keterlaluan.
Di masa pandemi seperti sekarang, mereka yang berlomba-lomba pasang  iklan di baliho sungguh ceroboh, karena sudah menggelontorkan dana untuk hal yang terbukti sudah tidak efektif.
Kalau sudah begini, selanjutnya bisa ditebak: akan ada pembagian sembako gratis dan sedikit uang tunai, yang hanya efektif digunakan dalam beberapa hari, tapi harus ditebus dengan jabatan selama lima tahun.
Terlalu jomplang.