Contoh paling epik terjadi di dua final Piala Dunia (1954 dan 1974) plus satu final Piala Eropa (1996). Di tiga final ini, mereka tertinggal lebih dulu, sebelum akhirnya meraih kemenangan.
Di kedua final Piala Dunia tersebut, Jerman sukses mematahkan hati Timnas Hongaria dengan Ferenc Puskas dan The Mighty Magyars-nya, beserta Timnas Belanda dengan Johan Cruyff dan Total Football-nya.
Sementara itu, di final Piala Eropa, juara Eropa tiga kali mampu meredam kejutan Kereta Cepat Timnas Republik Ceko yang dimotori Pavel Nedved. Sebuah rekam jejak istimewa yang sulit dicari bandingannya.
Pengalaman dan ketangguhan mereka di turnamen mayor, memang tak diragukan lagi. Jadi, wajar jika Timnas Jerman kerap disebut punya "mental turnamen" bak mesin diesel: lambat panas, tapi sekali sudah panas, susah dibendung.
Hanya saja, penampilan melawan Portugal menyajikan versi lain dari mental "mesin diesel" tersebut. Mereka tak lagi sebatas bertumpu pada serangan balik cepat, tapi langsung menyerang sejak awal.
Saat tertinggal, mereka justru mampu memaksa lawan membuat kesalahan sendiri, dan tetap mengontrol permainan. Dengan kreativitas lini serang yang oke, serangan justru mampu mereka jadikan sebagai pertahanan terbaik.
Jerman mampu bermain dinamis dan lebih kejam, sehingga menyajikan permainan yang enak ditonton. Mereka seperti mobil balap dengan mesin diesel versi modern.
 Jika tidak mengalami antiklimaks saat menghadapi Hongaria di partai penentuan, rasanya laju mereka akan sulit dibendung. Mungkin, inilah alasan mengapa tim ini tetap jadi salah satu unggulan Euro 2020, meski tampil berantakan di Piala Dunia 2018 lalu.
Mampukah Jerman menjaga momentum?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H