Pada Sabtu (8/5) saya berkesempatan mengikuti satu sesi diskusi daring via zoom, yang rutin diadakan oleh komunitas KOTEKA Kompasiana tiap akhir pekan.
Ini adalah ketiga kalinya saya mengikuti kegiatan KOTEKA. Setelah sebelumnya hanya menjadi penonton, karena masih beradaptasi dengan durasi diskusi satu jam, lebih pendek dari kegiatan sejenis yang biasa saya ikuti. Meski begitu, satu jam ini benar-benar menyenangkan, karena bisa begitu mengalir dan efektif.
Pada kesempatan ketiga ini, KOTEKA yang antara lain digawangi Kompasianer Gana Stegmann dan Ony Jamhari, melibatkan Kompasianer Dhanang Dave dan Nanang Diyanto sebagai pembicara. Topik yang dibahas kali ini adalah tulisan di bagian belakang truk.
Topik ini membuat saya tergelitik untuk menulisnya, karena bagian belakang truk memang jadi satu keunikan khas yang membudaya di berbagai daerah di Indonesia. Banyak kata yang tertulis dengan beragam gaya, mulai dari lucu sampai mengarah ke seronok.
Saking beragam dan uniknya, banyak tulisan atau gambar "bokong truk" yang sampai jadi meme viral di media sosial. Saya sendiri sempat heran, kenapa tulisan dan gambar di bagian belakang truk begitu beragam?
Ternyata, keberagaman itu berasal dari ekspresi sang sopir, dengan kegundahan, harapan, dan pikirannya masing-masing. Ada yang memang dijadikan pelecut semangat untuk bekerja, ada juga yang menjadikannya medium untuk "bercerita" tentang pergulatan pribadi.
Dalam hal ejaan, tak ada batasan atau kaidah tertentu, karena kembali ke pandangan pribadi sang supir truk. Jadi, sifatnya memang relatif, tapi tetap mudah dipahami, karena memakai bahasa yang singkat, padat, jelas.
Menariknya, tak ada yang dengan terang-terangan mengekspresikan pandangan pribadi yang berkaitan dengan afiliasi atau golongan tertentu. Penyebab paling umumnya berkaitan dengan faktor keselamatan.
Sebagai contoh, truk-truk dari daerah Malang tak akan berani memasang atribut yang berkaitan dengan klub sepak bola Arema Malang, khususnya jika bertugas di Surabaya atau Bandung. Penyebabnya tak lain karena rivalitas Arema dengan Persib Bandung dan Persebaya Surabaya.
Inilah yang membuat tulisan atau gambar di bagian belakang truk cenderung bersifat netral. Kenetralan ini membuatnya awet eksis selama bertahun-tahun, sekaligus menunjukkan sifat khas jalanan: netral walaupun terlihat keras dari luar.
Belakangan, seiring dengan perkembangan teknologi, tren tulisan atau gambar di bagian belakang truk mulai bergeser, dari cat lukis manual menjadi print digital.
Meski pergeseran tren ini membuat bagian belakang truk terlihat tak seunik dulu, perubahan ini ternyata ikut membuat fungsi bagian belakang truk ikut bergeser. Bukan hanya sebagai ruang berekspresi secara personal, tapi bisa juga menjadi medium promosi yang bisa mengundang cuan.
Peluang ini belakangan dilirik pemerintah daerah, dengan menjadikan bagian belakang truk antardaerah sebagai "iklan berjalan", dengan mensubsidi pihak sopir atau pemilik truk saat pengecatan. Tak heran, ada bagian belakang truk yang bergambar tempat wisata daerah tertentu.
Bagian belakang truk memang hanya satu medium sederhana, yang bisa terlewat begitu saja di jalanan, tapi ia menyimpan begitu banyak cerita. Ia mampu bertahan lintas generasi, karena orisinalitas dan fleksibilitasnya dalam mengikuti perubahan. Inilah yang membuatnya spesial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H