Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Sepenggal Cerita di Sebuah Platform Menulis

12 September 2020   22:14 Diperbarui: 12 September 2020   22:25 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Kompas.com)

Dalam menulis, setiap orang pasti punya cerita masing-masing, begitupun saya. Pada prosesnya, ada yang punya pengalaman menulis di platform menulis lain, meski platform tersebut belakangan sudah almarhum.

Secara pribadi, pengalaman menulis ini saya dapat, berkat kebiasaan, jika tak boleh dibilang hobi, menulis di Kompasiana, platform yang membuat saya seperti berada di rumah sendiri.

Saya ingat, cerita itu dimulai di tahun 2017 silam, tak lama setelah saya mendapat centang biru dari admin Kompasiana. Pengalaman itu saya dapat di UC News, (selanjutnya saya sebut platform 'anu'), sebuah platform "news aggregator" milik Alibaba.

Awalnya, saya ikut aktif menulis di sini, setelah sebelumnya sempat mendapati, beberapa tulisan bola saya di K di-copy paste dan dimonetisasi di platform ini, tanpa sepengetahuan saya.  

Untuk mencegah praktek ini terus berlanjut, saya lalu mengirimkan tulisan bola saya di K dan 'anu'. Tentunya, ini tak melanggar aturan, karena itu memang adalah tulisan saya sendiri.

Lagipula, K bukan "news aggregator" seperti platform 'anu', atau platform sejenis, yang sejak awal memang menutup diri dari "search engine". Jadi, bisa dibilang, K dan "news aggregator" adalah dua dimensi berbeda di alam maya.

Pada prosesnya, pendaftaran saya diterima dengan cepat, karena ternyata tim admin platform ini ikut digawangi seorang Kompasianer senior. Di platform ini juga, ikut eksis sejumlah Kompasianer senior, seperti Opa Tjiptadinata Effendi, Pak Yon Bayu, atau Pak Hendro Santoso.

Jika dibanding mereka, saya jelas tak ada apa-apanya. Mereka sudah punya jam terbang tinggi, sementara saya hanya seorang amatir yang lebih banyak belajar secara otodidak.

Tapi, dari situlah saya mulai menyadari, Kompasiana ternyata telah menjadi ladang "pencarian bakat" bagi platform news aggregator. Boleh dibilang, Kompasiana sudah menjadi "akademi" bagi penulis, seperti halnya akademi De Toekomst (The Future) milik Ajax Amsterdam, atau La Masia milik Barcelona di sepak bola.

Dalam perjalanannya, progres saya di sana tergolong santai. Kebiasaan untuk tidak menulis judul "clickbait", apalagi terlalu panjang menjadi satu penyebab.

Alhasil, saya terlihat seperti melawan arus, karena di sana, judul "clickbait" justru disarankan, dan menjadi tren. Tapi, saya memilih untuk tidak melakukannya.

Alasannya sederhana, saya hanya menulis artikel, bukan skripsi atau tesis. Lagipula, judul yang tidak sama dengan isi adalah satu bentuk kebohongan.

Meski lambat, saya tetap bersyukur, karena dari monetisasi tulisan di sini, dan hadiah K-Rewards Kompasiana, saya mendapat cukup modal untuk berangkat merantau ke Jakarta setahun lalu.

Selain itu, saya juga pernah mendapat sedikit pengalaman menjengkelkan. Pada bulan Februari 2019 silam, saya mendapat informasi dari Pak Hendro Santoso, bahwa ada seorang penulis di platform 'anu' yang memplagiat tulisan bola saya di Kompasiana.

Setelah saya cek, ternyata bukan cuma tulisan saya, tapi juga Kompasianer lain di kanal bola, yang ternyata hasil plagiasi mentah-mentah dan dimonetisasinya waktu itu.

Alhasil, saya lalu melapor ke admin Kompasiana dan platform 'anu', supaya bisa segera ditindaklanjuti. Hasilnya, tak lama setelah admin Kompasiana mencuitkan Twit berikut di Twitter, masalah  inipun beres.

Jujur saja, meski sebenarnya lazim terjadi, kadang penyimpangan ini memang perlu "dikerasi", supaya tak jadi kebiasaan buruk.

Akan tak adil, jika tulisan yang awalnya dibuat untuk tujuan positif, seperti berekspresi, berbagi, atau berkreasi, justru disalahgunakan, hanya demi monetisasi. Kalau memang sumber hidupnya dari menulis, kenapa tidak membuat tulisan sendiri?

Mungkin, inilah kenapa minat literasi di Indonesia tergolong rendah. Mereka yang sebenarnya sudah punya minat menulis, kadang dipaksa patah hati, karena jadi korban plagiarisme.

Ironisnya, versi "tiruan" kadang bisa lebih populer dari aslinya. Ambyar.

Pada akhirnya, perjalanan saya di platform "anu" berakhir, tepatnya pada 10 September silam, saat platform 'anu' sudah tak bisa diakses lagi alias almarhum. Sebelumnya, platform ini sudah vakum sejak pandemi Corona di Indonesia merebak beberapa bulan silam.

Entah apa yang sebenarnya terjadi di sana. Satu hal yang pasti, pandemi Corona ternyata ikut berperan "menyeleksi" platform menulis; yang sehat pasti akan tetap bertahan, bahkan makin kuat, sedangkan yang tidak sehat akan tumbang.

Begitupun dalam hal menulis. Jika tujuannya hanya uang dan popularitas, menulis adalah sebuah obsesi yang akan berakhir segera setelah semua diraih.

Tapi, jika tujuannya untuk "menemukan diri", berbagi, atau untuk hal-hal positif lainnya, menulis adalah sebuah perjalanan, untuk terus bertumbuh dan berproses sampai akhir hayat manusia, seperti halnya belajar.

Pada saatnya nanti, tulisan, terutama yang positif, akan menjadi satu peninggalan berharga bagi generasi selanjutnya. Jika gajah mati meninggalkan gading, maka manusia pergi meninggalkan tulisan.

Karena, "cogito ergo sum" (aku berpikir maka aku ada) takkan ada artinya, jika tak ditindaklanjuti menjadi "scribo ergo sum" (aku menulis maka aku ada).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun