"Vivere Pericoloso"
(Bahasa Italia: hidup menyerempet bahaya)
Bukan, ini bukan judul Pidato Bung Besar yang penuh nyali itu. Ini bukan juga tahun 1964, masa dimana internet masih berupa angan.
Ini adalah gambaran sederhana, dari apa yang kujalani di ibukota. Inilah yang kulihat, bahkan kurasakan, sejak keputusan merantau ini masih berupa pertimbangan abstrak, karena terbersit begitu saja dalam pikiran.
Benar, bagi orang-orang di lingkungan sekitarku, merantau, apalagi sendirian, ke ibukota adalah satu pilihan nekat. Apalagi, jika pembandingnya adalah Kota Klasik, tempat dimana waktu serasa berjalan lebih santai dari seharusnya.
Anggapan di atas, biasanya berlaku untuk mereka yang secara fisik "normal". Andai ada yang berani memutuskan begitu, bisa dipastikan, akan ada sesi perdebatan berjilid-jilid, dengan harapan keputusan ini bisa dibatalkan. Kalau bisa dekat, kenapa harus jauh-jauh?
Berhubung kondisi tubuhku "tidak normal", pilihan merantau ke ibukota benar-benar ajang uji nyali. Aku sadar, keberatan dan bahaya sudah menunggu di depan mata.
Kalaupun disetujui, aku masih harus menjalani hidup yang benar-benar menyerempet bahaya. Semua harus kusiapkan sendiri, termasuk mengumpulkan modal. Meski akhirnya terkumpul dengan jumlah seadanya, setidaknya itu cukup untuk biaya hidup sampai gaji datang.
Tapi, itulah yang akhirnya harus kujalani, saat pertimbangan itu benar-benar menjadi satu keputusan bulat. Keputusan ini kuutarakan, tepat di hari jadiku yang ke dua kali tiga belas, dua tahun lalu. Kata "setuju" atas keputusan ini, adalah satu kado istimewa. Inilah saatnya aku melangkah.
Saat akhirnya tiba di ibukota "Vivere Pericoloso" seolah menjadi gambaran, dari apa yang harus kujalani. Memang, sesekali jalan yang kutempuh terlihat seperti "jalan terang", karena ada teman atau keluarga yang ikut mendukung.
Tapi, ada saatnya aku harus menjalani dan memutuskan semuanya sendiri. Di titik inilah, wujud "Vivere Pericoloso" sungguh nyata. Kali ini, ia berwujud "jalan sunyi" sekaligus "jalan pedang", karena apa yang kupilih dan harus kujalani sendiri bukan sesuatu yang terlihat "populer".
Aku ingat, saat aku memilih berhemat, itu sempat menjadi satu tanda tanya besar. Benar, dalam keadaan normal, gajiku memang masih cukup untuk makan enak, tapi jujur saja, porsi makanan di sini terlalu besar untukku.
Sederhananya, tubuhku memang sudah digariskan berada dalam posisi "makan untuk hidup" bukan "hidup untuk makan". Lagipula, salah satu fungsi utama gaji adalah untuk ditabung. Gaji bisa dikatakan layak, jika ada yang bisa ditabung, kecuali jika orang itu bergaya hidup tak wajar.
Selain untuk memenuhi semua kebutuhan sehari-hari, gaji yang kudapat juga harus kuatur sedemikian rupa, termasuk saat harus berkunjung ke tempat saudara, mudik saat libur panjang, atau saat situasi darurat datang.
Aku juga pernah disarankan untuk tinggal di kantor, tapi jangankan tinggal, pulang lembur saja hanya kulakukan, kalau ada yang harus segera diselesaikan.
Aku jelas tak mungkin tinggal, karena di sana sudah penuh barang. Ditambah lagi,ada dua sosok bocah berambut panjang, dan satu sosok setinggi rumah. Mereka adalah penghuni lawas kantor.
Bocah berambut panjang yang satu, sangat suka bermain dengan pintu masuk dan lampu depan, sementara yang satunya biasa nongkrong di balkon dekat dapur saat malam mulai tiba. Sosok setinggi rumah, sesekali mengetuk-ngetuk atap, jika suasana sudah dianggapnya terlalu berisik.
Dari kedua bocah berambut panjang itu, aku tahu, sering pulang terlalu malam, apalagi sampai tinggal di sana sendirian bukan hal baik, apalagi buat anak rumahan sepertiku. Bukannya aku takut, tapi ada batasan yang harus  dihormati.
Sebelumnya, situasi hampir mirip kebetulan kutemui, saat kami masih berkantor di sebuah gedung di pusat kota. Hanya saja, bocah berambut panjang yang kutemui di sana hanya ada satu. Aku ingat, saat kantor pindah, ke sebuah rumah di sisi selatan kota, semuanya berjalan serba mendadak.
Tapi, aku tak langsung rutin berkantor di sana. Kebetulan, masih ada sisa masa kontrak sewa di sana. Aku sendiri masih perlu menemani teman satu ruanganku, di hari-hari terakhirnya, sambil berpamitan kepada orang-orang yang kukenal di sana. Bagaimanapun, aku harus berterima kasih. Mereka sudah banyak membantu, dan menjadi teman yang menyenangkan.
Tak lupa, aku juga pamit kepada si bocah tak kasat mata. Ia sesekali muncul di koridor ruangan, tiap kali AC gedung mulai dimatikan. Meski kadang suka usil, aku tetap bersyukur, karena dia hanya usil, saat aku bekerja sampai terlalu malam. Agak menjengkelkan, tapi itu justru bagus. Berkatnya, aku jadi tahu, ada batas yang harus dihormati.
Aku ingat, hari terakhirku di sana terasa sangat panjang. Aku menemani teman satu ruanganku, dalam momen yang terasa emosional baginya. Aku baru pulang saat tengah malam menjelang.
Kepada semuanya, aku hanya bisa berucap, "Terima kasih, sampai jumpa lagi.", atas semua kebaikan yang sudah mereka berikan. Â Situasi hari itu tergambar dengan baik, dalam potongan lirik lagu "Sebuah Lagu"
Duduk bersama tak melakukan apa pun
Keluh-kesah 'kan perjuangan dan masa sulit
Seduhan teh dan persahabatan melunturkan lelah
Jam dinding tak berjarum
Sudah larut, kaki enggan melangkah
Duduk bersama tak melakukan apa pun
Menuang secangkir cerita tangis dan tawa
Tak berjanji tapi selalu ada dalam masa kelam
Terima kasih, teman
Untukmu kunyanyikan sebuah lagu
Sederhananya, apa yang dimulai dan berjalan secara baik-baik, seharusnya bisa berakhir dengan baik-baik juga, saat sang waktu memutuskan semua sudah berakhir.
Kalaupun masih berlanjut, itu adalah sebuah berkat. Ternyata  memang itulah yang setelahnya terjadi. Saat senggang, aku memang masih sesekali mampir ke sana. Syukurlah, setidaknya orang mungil ini masih diingat.
Mungkin, tindakanku terlihat kuno, tapi aku perlu melakukannya demi menjaga keseimbangan. Aku memang menjadi seorang yang (entah kenapa) sering dipamiti secara personal. Ini memang sebuah kehormatan, karena setidaknya ada yang masih mengingat. Tapi, ada saatnya orang yang biasa dipamiti pun harus berpamitan.
Pada prosesnya, "Vivere Pericoloso" juga kualami langsung secara harfiah di ibukota. Bukan hanya dalam satu, tapi tiga peristiwa besar beruntun.
Momen besar pertama kualami, saat negeri ini menggelar ajang pesta demokrasi. Akibat fanatisme berlebih, momen yang seharusnya jadi pesta rakyat ini membuat ibukota jadi mencekam. Ada aksi demo berujung anarkis selama beberapa hari, dan ketegangan mencuat dimana-mana.
Sangat disayangkan, padahal masih banyak orang baik yang menyenangkan. Salah satu yang kujumpai, adalah para sekuriti gedung. Aku ingat, beberapa dari mereka pernah bertanya, "Pilih 0-1 atau 0-2, mas?"
Dengan santainya, aku selalu menjawab, "Saya pilih 0-0 aja deh, biar ada perpanjangan waktu terus adu penalti, kan seru mas, bikin deg-degan.". Satu jawaban yang selalu sukses memancing tawa.
Inilah yang membuat suasana tetap menyenangkan, karena semua terasa begitu cair. Tak ada fanatisme berlebih di sini, karena kalaupun akhirnya berpendapat, mereka berpendapat tanpa memaksakan pandangan.
Tak ketinggalan, situasi tegang saat itu memberikan satu pengalaman tak biasa bagiku. Untuk pertama kalinya sepanjang hidup, aku melihat kendaraan tempur bersiaga di tepi jalan, bak mobil angkot menunggu penumpang. Di udara, helikopter lalu lalang tiap hari, bak capung mencari makan. Aku juga mendapati, akses jalan diblokir demi menjaga keamanan.
Untuk beberapa hari, situasi mencekam seperti sedang ada perang. Tunggu, ini pesta rakyat, atau ajang unjuk gigi para pembesar? Inikah wajah demokrasi di negara berbunga?
Syukurlah, pada akhirnya, semua ketegangan itu berakhir damai. Kedua sosok utama yang berseteru justru menjadi sekutu. Begitulah, politik memang penuh kutu loncat, karena kepentingan (masih) diatas segalanya.
Momen kedua datang, saat puncak musim hujan menyapa ibukota. Saat itu, aku mengambil keputusan tak biasa, akibat tak kebagian tiket kereta api. Pada masa liburan akhir tahun, aku kembali ke ibukota tepat di hari tutup tahun, bukan tahun baru.
Setibanya di stasiun pusat kota, aku langsung disambut hujan deras selama semalam suntuk. Tak ada letupan kembang api, karena malam itu langit sibuk mencurahkan semua beban beratnya ke bumi.
Tak dinyana, itulah titik awal masa banjir besar di ibukota. Beruntung, daerah tempat tinggalku bebas dari banjir, meski sejumlah tempat sudah menjadi sungai dadakan akibat tergenang air. Entah apa jadinya, kalau aku baru kembali dari Kota Klasik, tepat saat tahun baru datang. Mungkin, aku harus naik perahu karet atau kendaraan amfibi (yang belum tentu ada) dari stasiun.
Apa boleh buat, meski modernisasi terus mempercantik wajahnya, kondisi lingkungan ibukota sudah terlanjur payah. Saat puncak musim hujan datang, yang bisa dilakukan hanya menyuruh air mengantri masuk ke dalam tanah, layaknya mengabsen anak sekolah.
Alhasil, selama puncak musim hujan, ibukota untuk sejenak berganti nama menjadi "Terendam". Bukan, ini bukan kota tetangga Amsterdam, Rotterdam, atau Volendam di Negeri Oranye sana.
Usai banjir besar reda, hanya ada sedikit waktu jeda, sebelum bahaya ketiga datang dalam wujud pagebluk. Pagebluk ini melumpuhkan dunia, dan membuat semua jadi kacau. Beruntung, saat itu aku kehabisan tiket kereta lebaran. Pagebluk ini memaksa semua orang hidup dalam karantina.
Di sini, "Vivere Pericoloso" kembali menjadi satu keputusan. Di saat aku diminta pulang ke Kota Klasik, aku memilih bertahan. Bukan karena ingin gagah-gagahan, tapi karena inilah pilihan paling masuk akal. Saat bahaya membatasi semuanya, diam dan bertahan adalah cara menyerang terbaik, sekalipun dilakukan di zona merah menyala.
Sekali lagi, ini bukan keputusan populer, terutama buat mereka yang ingin mencoba lari dari kenyataan. Benar, aku harus rela mendapat gaji yang tersunat. Tak ada kiriman uang dari orang tua, karena aku bukan lagi  bocah balita. Pulang? Kelak, itu hanya akan menuai banyak masalah.
Ya, inilah yang harus kuhadapi sampai akhir. Inilah "laku prihatin" yang harus kujalani. Inilah masa dimana sebungkus nasi hanya berlauk sepotong tempe atau sebungkus sambal terasa begitu nikmat.
Bukan untuk mencari kesaktian seperti dalam cerita dongeng, tapi, masa sulit adalah sarana terbaik dari Atas, untuk melihat semuanya secara murni, sebelum melangkah lebih jauh.
Benar kata orang, "Masa sulit akan menampilkan dengan jujur, bagaimana wujud asli manusia. "
Di masa sulit, tak ada lagi yang tersamarkan. Dalam bayang suram, masa sulit justru memurnikan. Inilah saat terbaik untuk melihat, siapa madu siapa racun, siapa merpati siapa ular.
Perjalanan "Vivere Pericoloso" ini, memang menjadi kata penutup perjalanan di usia tiga pangkat tiga, masa penuh keputusan berani, sekaligus kata pembuka di usia empat kali tujuh, masa dimana level berikutnya sudah menanti untuk dijalani.
Mungkin, apa yang kualami ini terdengar tak biasa, tapi setiap orang punya jalan masing-masing, yang harus ditempuhnya sampai akhir, dengan dirinya sebagai pelaku utama. Tak ada pilihan lain, sekalipun itu adalah jalan pedang dalam sunyi, seperti kata Miyamoto Musashi, sang legenda Negeri Samurai:
Kalau kau mati, aku pun mati.
Matiku akan punya arti bagiku
seperti matimu berarti buatmu.
Kalau kau bisa mengakhiri hidupmu dengan tenang, aku pun bisa.
Takkan ku terinjak layaknya serangga
atau tenggelam dalam nestapa.
Akulah penentu jalanku sendiri.
Tak seorang pun bisa melakukannya
biarpun orang itu adalah engkau! Â
(Dikutip dari novel "Musashi" karya Eiji Yoshikawa, Bagian Keempat: Angin)
Karena, hidup adalah sebuah perjalanan menuju Sunyaruri (Jawa: alam kelanggengan; alam kosong tapi berisi).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H