Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Empat Kali Tujuh

14 Juli 2020   00:43 Diperbarui: 14 Juli 2020   00:56 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku ingat, saat aku memilih berhemat, itu sempat menjadi satu tanda tanya besar. Benar, dalam keadaan normal, gajiku memang masih cukup untuk makan enak, tapi jujur saja, porsi makanan di sini terlalu besar untukku.

Sederhananya, tubuhku memang sudah digariskan berada dalam posisi "makan untuk hidup" bukan "hidup untuk makan". Lagipula, salah satu fungsi utama gaji adalah untuk ditabung. Gaji bisa dikatakan layak, jika ada yang bisa ditabung, kecuali jika orang itu bergaya hidup tak wajar.

Selain untuk memenuhi semua kebutuhan sehari-hari, gaji yang kudapat juga harus kuatur sedemikian rupa, termasuk saat harus berkunjung ke tempat saudara, mudik saat libur panjang, atau saat situasi darurat datang.

Aku juga pernah disarankan untuk tinggal di kantor, tapi jangankan tinggal, pulang lembur saja hanya kulakukan, kalau ada yang harus segera diselesaikan.

Aku jelas tak mungkin tinggal, karena di sana sudah penuh barang. Ditambah lagi,ada dua sosok bocah berambut panjang, dan satu sosok setinggi rumah. Mereka adalah penghuni lawas kantor.

Bocah berambut panjang yang satu, sangat suka bermain dengan pintu masuk dan lampu depan, sementara yang satunya biasa nongkrong di balkon dekat dapur saat malam mulai tiba. Sosok setinggi rumah, sesekali mengetuk-ngetuk atap, jika suasana sudah dianggapnya terlalu berisik.

Dari kedua bocah berambut panjang itu, aku tahu, sering pulang terlalu malam, apalagi sampai tinggal di sana sendirian bukan hal baik, apalagi buat anak rumahan sepertiku. Bukannya aku takut, tapi ada batasan yang harus  dihormati.

Sebelumnya, situasi hampir mirip kebetulan kutemui, saat kami masih berkantor di sebuah gedung di pusat kota. Hanya saja, bocah berambut panjang yang kutemui di sana hanya ada satu. Aku ingat, saat kantor pindah, ke sebuah rumah di sisi selatan kota, semuanya berjalan serba mendadak.

Tapi, aku tak langsung rutin berkantor di sana. Kebetulan, masih ada sisa masa kontrak sewa di sana. Aku sendiri masih perlu menemani teman satu ruanganku, di hari-hari terakhirnya, sambil berpamitan kepada orang-orang yang kukenal di sana. Bagaimanapun, aku harus berterima kasih. Mereka sudah banyak membantu, dan menjadi teman yang menyenangkan.

Tak lupa, aku juga pamit kepada si bocah tak kasat mata. Ia sesekali muncul di koridor ruangan, tiap kali AC gedung mulai dimatikan. Meski kadang suka usil, aku tetap bersyukur, karena dia hanya usil, saat aku bekerja sampai terlalu malam. Agak menjengkelkan, tapi itu justru bagus. Berkatnya, aku jadi tahu, ada batas yang harus dihormati.

Aku ingat, hari terakhirku di sana terasa sangat panjang. Aku menemani teman satu ruanganku, dalam momen yang terasa emosional baginya. Aku baru pulang saat tengah malam menjelang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun