Sebelum melanjutkan, izinkan saya sedikit menjelaskan. Tulisan ini merupakan hasil refleksi dari pengalaman pribadi, bukan untuk digeneralisasi, karena setiap orang pasti punya pengalaman dan perspektif masing-masing dalam hal ini.
Bicara soal "Quarter Life Crisis", hal-hal yang biasa dikaitkan dengannya adalah status pendidikan, status hubungan atau pernikahan, pekerjaan dan gaji terkini seseorang.
Secara umum, orang yang rentan terhadap "Quarter Life Crisis" adalah mereka yang berusia sekitar pertengahan 20-an sampai pertengahan 30-an tahun.
Di sini, "kapan?", biasa menjadi satu kata tanya mematikan, yang bisa membuat "Quarter Life Crisis" terasa runyam.
Kerunyaman ini biasanya muncul, jika pertanyaan "kapan" itu ditanyakan oleh orang terdekat kita tanpa permisi, apalagi jika sifatnya kompulsif alias bertingkat.
Misalnya, saat masih kuliah, seseorang ditanya "kapan lulus?". Setelah lulus, pertanyaannya akan "naik kelas" menjadi "kapan kerja?", "kapan punya pacar?", "kapan nikah?", "kapan punya anak?", dan seterusnya.
Jika sudut pandang yang dipakai hanya "perhatian", tentu rasa tidak nyaman yang muncul bisa diabaikan sejenak.
Rasa tidak nyaman itu juga bisa dialihkan menjadi sebuah jawaban usil, yang bisa membuat suasana menjadi cair, misalnya, "bisa diatur" atau "kapan saja bisa".
Tapi, jika sekuel pertanyaan "kapan" ini dijadikan sumber perbandingan secara "apple to apple", misalnya dengan teman atau kerabat sebaya kita, situasi akan semakin runyam. Jika tak terkendali, ini bisa menjadi sumber rasa stres bagi mereka yang terus ditanya.
Fenomena ini biasa terjadi di masyarakat kita, yang tingkat kelahirannya masih relatif tinggi, karena rerata usia nikah yang relatif muda.
Secara kultural, mereka yang masih dalam tahap "berjuang" di usia 20-an atau 30-an, cenderung dianggap sebagai "pesakitan".
Sebaliknya, mereka yang sudah terlihat mapan dan berkeluarga di usia relatif muda cenderung dielu-elukan, bahkan dijadikan "teladan" bagi mereka yang dianggap "pesakitan".
Inilah salah satu sumber masalah "Quarter Life Crisis" yang menurut saya sangat memuakkan. Atas nama "kepedulian", kenyamanan batin dan kesehatan mental seseorang bisa diobrak-abrik seenaknya.
Jika sikap ini dikritisi, cap "kurang ajar" yang didapat. Apa boleh buat, situasi serba salah akan menyergap, meski sebenarnya itu bukan kesalahan kita.
Di sini, kita bisa melihat bersama, salah satu sumber "Quarter Life Crisis" adalah "sesat pikir" yang datang dari perbandingan secara "apple to apple", yang jelas tidak proporsional dan objektif. Jika terlalu dituruti, ini hanya akan meracuni pikiran kita.
Sebagai contoh, seseorang yang terlihat mapan dan sudah berkeluarga di usia relatif muda, belum tentu lebih baik dari mereka yang masih dalam tahap "berjuang".
Bisa jadi, mereka sebenarnya lebih menderita, karena punya beban hidup lebih berat, atau bahkan belum siap mental menjalani semuanya. Inilah salah satu faktor, kenapa angka kemiskinan dan perceraian di negara kita masih relatif tinggi.
Masalah ini juga akan terlihat, terutama pada mereka yang masih berpola hidup konsumtif dalam situasi normal.
Jadi, jangan ditanya lagi, bagaimana keadaan mereka di masa tak menentu akibat pandemi Corona seperti sekarang.
Walau gaji bulanannya puluhan juta sekalipun, pasti akan kelimpungan, karena mereka tak bisa mengatur prioritas.
Jika "Quarter Life Crisis" yang berasal dari sesat pikir ini sudah menjadi "racun", mereka yang "meracuni" pikiran ini akan dengan enaknya "cuci tangan", dengan menganggap kita terlalu memikirkan, padahal merekalah yang terus merecoki. Sungguh memuakkan.
Aman dikata, selama pemicu "Quarter Life Crisis" adalah sesat pikir, maka ia hanya ilusi, tidak untuk dipikirkan apalagi dituruti. Sekalipun itu berupa nasehat dari orang yang lebih tua, selama bentuknya hanya omongan di mulut yang tidak kongkrit, ia hanya perlu diabaikan.
Bukan bermaksud kurang ajar, ini adalah satu bentuk koreksi, karena pada kenyataannya mereka hanya akan berhenti pada tahap "omong doang".
Jadi, daripada membiarkan diri terjebak dalam kubangan "Quarter Life Crisis" karena sesat pikir, kita hanya perlu menjalani semua tahap yang harus kita jalani.
Bagaimanapun, setiap orang punya waktu masing-masing dalam hidupnya, sama seperti saat ia lahir, dan kelak meninggalkan dunia ini.
Tak ada yang sama persis dalam segala hal, sekalipun mereka terlahir kembar identik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H