Secara kultural, mereka yang masih dalam tahap "berjuang" di usia 20-an atau 30-an, cenderung dianggap sebagai "pesakitan".
Sebaliknya, mereka yang sudah terlihat mapan dan berkeluarga di usia relatif muda cenderung dielu-elukan, bahkan dijadikan "teladan" bagi mereka yang dianggap "pesakitan".
Inilah salah satu sumber masalah "Quarter Life Crisis" yang menurut saya sangat memuakkan. Atas nama "kepedulian", kenyamanan batin dan kesehatan mental seseorang bisa diobrak-abrik seenaknya.
Jika sikap ini dikritisi, cap "kurang ajar" yang didapat. Apa boleh buat, situasi serba salah akan menyergap, meski sebenarnya itu bukan kesalahan kita.
Di sini, kita bisa melihat bersama, salah satu sumber "Quarter Life Crisis" adalah "sesat pikir" yang datang dari perbandingan secara "apple to apple", yang jelas tidak proporsional dan objektif. Jika terlalu dituruti, ini hanya akan meracuni pikiran kita.
Sebagai contoh, seseorang yang terlihat mapan dan sudah berkeluarga di usia relatif muda, belum tentu lebih baik dari mereka yang masih dalam tahap "berjuang".
Bisa jadi, mereka sebenarnya lebih menderita, karena punya beban hidup lebih berat, atau bahkan belum siap mental menjalani semuanya. Inilah salah satu faktor, kenapa angka kemiskinan dan perceraian di negara kita masih relatif tinggi.
Masalah ini juga akan terlihat, terutama pada mereka yang masih berpola hidup konsumtif dalam situasi normal.
Jadi, jangan ditanya lagi, bagaimana keadaan mereka di masa tak menentu akibat pandemi Corona seperti sekarang.
Walau gaji bulanannya puluhan juta sekalipun, pasti akan kelimpungan, karena mereka tak bisa mengatur prioritas.
Jika "Quarter Life Crisis" yang berasal dari sesat pikir ini sudah menjadi "racun", mereka yang "meracuni" pikiran ini akan dengan enaknya "cuci tangan", dengan menganggap kita terlalu memikirkan, padahal merekalah yang terus merecoki. Sungguh memuakkan.