"Saya sendiri sudah berkali-kali mencoba untuk ikut aktif berbicara. Tapi, rasanya lebih baik saya berbicara dengan tembok atau benda mati lain, karena semua bertelinga, tapi tak ada yang mau dengar. Sudah jelas kan?"
Jawabanku tadi rupanya berhasil membuat mereka mati kutu. Benar, hampir semua orang di kantorku adalah ekstrovert. Selain aku, hanya Ara dari divisi kreatif, yang tergolong introvert. Tapi, dia lebih banyak bekerja di rumah daripada di kantor.
Melihat mereka terdiam, Aku melanjutkan,
"Soal bersosialisasi dan gaya hidup, saya mohon maaf. Saya selalu absen dalam acara "gathering" hari Jumat, karena situasinya memang tak memungkinkan. Kadang, orang tua saya meminta saya berakhir pekan dengan bersilaturahim ke tempat kerabat di sudut ibukota. Pernah juga teman mengajak saya berakhir pekan di Kota Kembang. Semua harus saya siapkan sendiri, dan saya harus berangkat pagi-pagi."
Mereka masih terdiam. Tapi, entah kenapa, aku seperti mendapat angin untuk menyerang lebih agresif.
"Satu lagi, saya tidak akan pernah mau menjadi seragam dengan yang lain, dalam hal gaya hidup, karena semua hal terkait kebutuhan sehari-hari harus saya urus sendiri. Saya harus memastikan, ada yang bisa saya tabung tiap bulan. Jadi, kalau ada apa-apa, semua tetap aman terkendali. Jujur saja, gaya hidup Anda berada di luar jangkauan saya. Saya hanya seorang rantau, bukan orang setempat seperti Anda. "
Aku menghela nafas sejenak, menikmati diam yang memenuhi ruang rapat itu, sebelum akhirnya melanjutkan lagi.
"Apa perlunya saya naik taksi, kalau naik ojek saja cukup? Apa perlunya saya makan menu kelas restoran, kalau menu kelas warung saja cukup? Apa perlunya saya berhura-hura atau minum-minum di klub malam, kalau tidur dan istirahat di kost saja cukup?"
Aku ingat, seberapa parah kekagetan mereka, atas "serangan balik" yang kulancarkan. Wajah mereka seolah kompak berkata,
"Kami hanya menyerangnya sekali, tapi malah kebobolan berkali-kali. Gila!"
Mereka terpaku dalam diam, tanpa berani bicara lebih banyak. Rupanya, mereka akhirnya sadar, semakin mereka banyak bicara, semakin banyak ketidaktahuan yang mereka tampilkan, semakin banyak kebobolan yang didapat.
Aku lalu pulang dengan sedikit kejengkelan bercampur heran. Cara pandang mereka sungguh aneh, terlalu kekanakan. Hampir tiap hari bersua, tapi kata "Tidak tahu" selalu menjadi "mantra rutin" yang membentengi sikap acuh, dari orang-orang yang ironisnya menyebut diri keluarga. Keluarga macam apa?