Keterbatasan ini jugalah, yang membuatku bisa melihat, seberapa baik pemahaman orang padaku. Ada yang bisa memahami dengan baik, begitu juga dengan yang menyalahpahaminya.
Mereka yang bisa memahami dengan baik, biasanya langsung akrab sejak pertama bertemu. Mereka tak pernah menuntut menjadi sama, tapi menyatukan semua perbedaan dalam satu wadah kebersamaan. Jelas, "bersama" tak harus "menjadi sama".
Tanpa perlu melakukan sesi "wawancara rasa interogasi" saat mengobrol, kedekatan dan rasa nyaman akan tumbuh secara alami. Mereka yang "tahu", belum tentu "dekat", karena yang "dekat" pun kadang tak ingin terlalu "tahu", demi menjaga rasa nyaman.
Untuk masalah yang satu ini, aku bersyukur, karena teman-teman baik, entah baru maupun lama, terus saja muncul. Mereka membiarkanku tetap menjadi diriku, begitupun sebaliknya. Inilah salah satu "hadiah terbaik" yang kudapat di Ibukota.
Satu-satunya kekecewaan hanyalah, masih ada teman-teman kerja yang masih saja menyalahpahami, sikap "diam" yang biasa kuterapkan di kantor. Aku sendiri memilih bersikap "diam", setelah mengamati situasi secara keseluruhan selama beberapa waktu.
Tentu saja, aku mengamati dalam diam, dan merasakan semuanya dengan baik, sebelum akhirnya memutuskan untuk "diam". Â Ada beberapa hal yang membuatku mantap untuk "diam".
Pertama, suasana di kantor begitu riuh. Semua seperti berebut untuk bicara dan didengar, layaknya ikan piranha berebut daging segar. Kalau tak ada yang mau "diam", suasana kantor akan tak seimbang. Memang, mereka semua punya semangat dan energi begitu besar, tapi itu bisa jadi merusak, jika tak ada secuilpun "ketenangan" di dalamnya.
Kedua, budaya belanja orang-orang di kantor berada di luar jangkauanku. Dengan semua kebutuhan harian yang harus kuurus sendiri, tak mungkin aku bisa makan menu kelas restoran tiap hari, berbelanja barang mahal semaunya, apalagi berhura-hura.
Jelas, aku bekerja untuk menyambung hidup sebagai manusia, bukan untuk menjadi budak hutang. Lagipula, terjerat hutang karena alasan seperti ini terlalu ceroboh. Hutang seperti ini jelas takkan pernah ditanggung perusahaan.
Ketiga, aku sendiri sebenarnya sudah coba aktif berbicara dan berpendapat jika diperlukan. Begitu juga saat sedang berinteraksi dengan kolega. Tapi, tak ada yang mau dengar, karena semua sibuk dengan keinginan untuk didengar, semua merasa diri bintang. Aku tak keberatan kalau harus "mendengar", tapi sebagai manusia, ada saatnya aku juga ingin "didengar" barang sedikit.
Situasi ini membuatku serasa berbicara dengan tembok. Tidak, bahkan lebih buruk, karena aku harus rela memendam semuanya sendirian, bersama masalahku yang lain. Semua itu akhirnya meledak, bersamaan dengan kegalauan jelang libur panjang, akibat keluarga yang terlalu heboh, evaluasi kinerja yang tak objektif, dan tugas baru nan membingungkan yang tak jelas juntrungannya.