Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Satu Tahun

2 Februari 2020   15:18 Diperbarui: 2 Februari 2020   15:34 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Istockphoto.com

"Ingat ya, ngeli tapi ora keli."
(Ikutlah arus, tapi jangan sampai hanyut)

Itulah pesan dari Opa, beberapa waktu sebelum aku mulai menjejakkan kaki di ibukota. Seperti biasa, meski disampaikan lewat mimpi, pesan Opa sederhana, tapi penuh makna. Benar, hanya disinilah kami bisa bertemu, sejak ia berpulang di bulan Februari, enam tahun silam.

Saat Februari akhirnya datang, ada semangat yang menghangatkan hati. Dengan diantar langit cerah di Kota Klasik, aku terbang ke Ibukota. Aku tak tahu, apa saja yang sudah menanti di depan. Aku hanya ingin mengikuti, dengan hati lantang bernyanyi:

Que Sera Sera
Whatever will be, will be
The future not us to see
Que Sera Sera

Saat tiba di Ibukota, semua dimulai. Nyaris semua kujalani serba sendirian. Kemanapun aku pergi, ada ojek online yang hampir selalu kuandalkan, begitupun saat mencari makanan.

Jika melihat tubuhku yang rapuh, mungkin keputusan ini terlalu sembrono. Tapi, justru inilah yang terbaik, dan paling masuk akal. Lagipula, gengsi terlalu besar kelak hanya akan memberi setumpuk hutang.

O ya, Ibukota saat ini adalah tempat yang agak ajaib. Inilah tempat dimana masalah kemacetan, ditindaklanjuti dengan pelebaran trotoar yang justru mengurangi lebar jalan. Padahal, kota ini sudah begitu padat. Belum lagi saat harus melewati gang sempit demi lolos dari kemacetan. Semewah apapun mobilnya, ia tetap takkan berkutik saat berjumpa gang sempit selebar dua motor.

Pelan tapi pasti, aku mulai terbiasa dengan kehidupan di sini. Keadaan mendidikku untuk berhemat, bersama rasa nyaman yang kudapat. Ruas demi ruas jalan Ibukota kulewati, seperti halnya pengalaman-pengalaman yang satu per satu kudapat.

Di Ibukota, aku juga sempat melihat, bagaimana ingar bingar pesta rakyat, lengkap dengan semua hal yang mewarnainya. Di sini juga, aku banyak mendapati, masalah "tata kota" kalah pamor dengan kemampuan "tata kata" . Sungguh unik.

Tak ketinggalan, tubuhku juga ikut menjadi teman yang sangat baik. Ia mampu membuat semua tampak begitu teratur. Berkatnya, aku bisa tidur, bangun, dan melakukan aktivitas sesuai waktunya.

Saking teraturnya, semua terasa lebih nyaman buatku. Meski kondisinya tak sempurna sejak lahir, aku tetap percaya penuh pada tubuhku, karena keterbatasan yang dimilikinya memberiku batasan mana saja yang tak boleh dilanggar. Sekali dilanggar, aku pasti tumbang, meskipun ada juga hal-hal diluar kendali, seperti lantai licin, yang bisa juga membuatku cedera.

Inilah yang membuatku bisa tetap hidup "biasa", di kota yang konon penuh gemerlap pesta. Mungkin terdengar aneh, tapi bisa hidup "biasa" sebagai diri sendiri, merupakan satu kebahagiaan tersendiri buatku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun