"Ibu kota itu keras seperti rimba belantara.",
Itulah satu dari sekian banyak untaian 'kata pengantar' dari keluarga dan teman-teman, jelang keberangkatanku ke Ibukota. Secara pribadi, aku bisa memaklumi, mengapa kalimat peringatan bernada khawatir itu muncul. Ya, aku hanya orang daerah dengan kondisi tubuh di bawah standar sejak lahir. Aku tak tahu, seperti apa rasanya berlari atau melompat, seperti halnya menarikan semua jemari tangan dan kaki. Aku hanya tahu, bagaimana cara berjalan tertatih dan bergerak dengan kondisi fisik serba seadanya.
Mungkin, keputusanku ini terlihat gila.
Aku meninggalkan Kota Klasik, rumah impian banyak orang, menuju tempat tergila yang bisa dibayangkan, dengan kondisi tubuh seringkih kaca. Yang benar saja, si ringkih mau masuk ke hutan belantara nan brutal itu sendirian! Mau jadi apa?
Tapi, mereka semua pasti lupa. Inilah takdir aneh yang setia menemaniku sejak awal. Aku lahir, tumbuh dan hidup di dunia "orang normal" dalam kondisi "tidak normal". Aku bahkan jarang bersua mereka yang konon katanya "senasib sepenanggungan" denganku. Aku terlanjur terbiasa menjadi "alien" di tengah sekumpulan "manusia biasa".
Jadi, kenapa harus takut? Kesempatan hanya akan datang kepada mereka yang layak mendapatkannya. Mereka yang memang mampu menjalani semua hingga akhir. Jika ia berkenan datang, seharusnya itu adalah satu kehormatan. Ia layak disambut seperti teman lama, bukan dihindari seperti penagih hutang.
Aku justru merasa, urusanku di sini sudah selesai. Ada babak lain yang harus kuhadapi di tempat lain, dan tempat itu adalah ibukota.
Ketika bulan Februari menyapa, aku berangkat ditemani kursi roda. Matahari tersenyum lebar bersama langit dan awan, dalam cuaca cerah ceria. Mereka seolah berkata, "Jangan takut, semua akan baik-baik saja.".
Di ibukota, aku mengalami persis seperti yang mereka katakan: semua baik-baik saja. Pekerjaan melelahkan selalu jadi obat tidur paling ampuh tiap hari. Meski sempat berpindah-pindah tempat tinggal, dari timur ke tengah, akhirnya aku menetap di sisi selatan kota. Inilah tempat yang takkan pernah kuduakan, karena ia sangat sempurna dengan ketidaksempurnaanku.
Dari tubuh ringkihku, aku justru mendapati, kota ini sebenarnya tidak keras. Ia hanya absurd dalam segala kerapuhannya. Persis seperti lirik lagu "Dan Bila":
Dan bila malam tiada bergema
Suasana hening mencekam
Kuterbenam
Di pangkuan abadi sang misteri