Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cintanaccio

25 September 2018   16:29 Diperbarui: 25 September 2018   16:30 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku ingat, dulu aku punya teman yang terpaksa harus menikah saat SMA, akibat pergaulan bebas. Apakah ini sebuah prestasi? Jelas bukan. Malah, mereka harus bersiap menanggung gunjingan orang, belum lagi kalau orang melabeli ini sebagai sebuah aib. Sungguh mengerikan. Pertanyaannya, bagaimana jika para penggunjing ini berada di posisi mereka? Apa mereka mau dibegitukan? Tentu tidak.

Lagipula, menikah itu bukan perkara mudah. Banyak hal yang harus disiapkan, mulai dari yang remeh sampai mendesak. Lagipula, menikah bukan berarti semua masalah beres. Malah itu adalah awal perjalanan panjang sebuah ibadah nyata dalam hidup manusia.

Jujur saja, andai aku tak punya urat malu, aku akan langsung balas mengatakan itu semua kepada mereka. Aku tak peduli mereka akan mengataiku, "Bocah kurang ajar!", "Tak tahu sopan!", atau bahkan mengeluarkan seluruh isi kebun binatang Gembiraloka dari mulut mereka, sambil menjotosku tanpa ampun.

Sayangnya, aku hidup di negeri dimana atas nama 'perhatian', privasi kadang dianggap sampah. Atas nama 'perhatian' jugalah, status pernikahan seseorang bisa jadi bahan pergunjingan. Menikah muda jadi gunjingan, belum menikah jadi gunjingan, sudah menikah masih dipergunjingkan. Apa maunya? Apa mereka juga mau dibegitukan? Pastinya tidak. Anehnya, bukannya hilang, kebiasaan ini malah tumbuh subur, terutama di era medsos seperti sekarang. Mengenaskan.

Demi keamanan, apa boleh buat, aku hanya bisa diam sambil tersenyum getir, dan berusaha menjawab sediplomatis mungkin, "Doakan saja.". Kadang, aku mencoba membuat lelucon untuk mengalihkan topik pembicaraan. Di sini, aku kadang merasa menjadi seperti seorang politikus yang sedang bermain silat lidah. Ternyata, cinta dan politik sama-sama butuh diplomasi.

Aku lama berada dalam diam. Aku tak memikirkan apapun soal jodoh. Rentetan cerita kegagalan nan konyol itu membuatku enggan bermimpi terlalu jauh. Mungkin, aku adalah orang yang bisa membuat pekerjaan sebagai motivator tak laku. Aku tampak suram, tanpa mimpi, tanpa harapan, tanpa arah.

Kadang, aku tak peduli dengan diriku sendiri. Aku sungguh lelah menghadapi ini semua, aku sangat muak. Tapi, jangan khawatir, aku tak pernah mabuk-mabukan. Temanku hanya segelas kopi hitam tanpa gula, sang pengantar tidur saat depresi. Kalian benar, aku muak dengan semua ini. Andai bisa main kasar, aku akan melakukanya dengan senang hati. Aku hanya ingin memastikan semua tetap tenang. Syukurlah, segelas kopi yang kuminum selalu bisa membuatku tenang.

Aku tak ingat, berapa lama aku berteman dengan segelas kopi hitam. Aku hanya ingat, setiap kali depresi menyerang, segelas kopi hitam selalu bisa membawaku ke dalam tidur tanpa mimpi.

Saat akhirnya aku pulih, aku bersyukur karena ternyata penderitaanku ini adalah awal dari kebahagiaan. Tanpa kuduga sebelumnya, aku malah bertemu dengan dia yang sesungguhnya. Dia yang membiarkan aku tetap jadi diriku, dia yang membuat kami bisa saling mengisi.

Perjalananku bertemu dia membuatku tersadar, hidup ini kadang sungguh lucu. Makin dikejar makin menjauh, tapi makin dihindari malah makin mendekat. Mungkin begitulah kehidupan ini bekerja. Sungguh seimbang.

Pada akhirnya aku sadar, cinta selalu punya waktunya sendiri dalam kehidupan setiap orang, seperti halnya kelahiran dan kematian. Tak ada yang "terlalu cepat" atau "terlambat". Semuanya tepat waktu, seperti yang sudah ditetapkan oleh Sang Pencipta. Memang, kita tak akan pernah tahu pasti kapan waktu itu datang. Tapi, jika saatnya tiba, kita akan mengerti saat mengalaminya, seperti yang dilantunkan lagu "Our Day Will Come":

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun