Rais dan Euis adalah pengantin baru. Namanya juga pengantin baru, ke mana-mana selalu ingin berdua. Selamanya. Sambil pegangan tangan atau bersentuhan kulit lainnya. Kalau bisa, keinginan mereka, dunia ini diisi oleh berdua saja. Biarkan saja orang lain pindah ke planet lain. Iya, meski Rais dan Euis tinggal di rumah kontrakan kecil di pinggir sawah, tapi perasaan mereka rumah satu kamar tidur itu adalah rumah paling indah. Rumah mewah, vila indah, yang dibangun di hampir setiap penjuru kota, dianggapnya sekedar rumah-rumahan.
Bagi Rais, Euis seperti perhiasan paling berharga yang tidak boleh jatuh atau kotor. Waktu Euis belanja ke warung, kebetulan ada yang bertanya, Rais yang melihatnya dari jauh merasa tidak enak. Napasnya turun-naik lebih cepat, tangannya mengepal, kerjanya hilir-mudik di halaman, sambil setiap sekian detik melihat Euis, takut diapa-apakan. Di kepalanya beterbangan pertanyaan; ada apa lelaki itu bertanya kepada Euis, apa maksudnya, bagaiaman hubungan mereka, kenalnya dari kapan, dan pertanyaan lainnya yang berbaris rapi seperti sebatalion tentara.
"Euis, Sayang, siapa yang tadi bertanya?" kata Rais setelah Euis pulang.
"Yang tadi bertanya?" Euis malah balik bertanya. "Tidak tahu, tadi juga langsung pergi setelah ditunjukkan jalan yang sedang dicarinya. Oh iya, tadi dia berterima kasih, lalu pergi."
"Oh," kata Rais sambil memasukkan lagi batu ali yang tadinya siap-siap dipakai memukul.
**
Bulan kedua setelah pengantinan, Euis menyambut Rais dengan wajah cerah dan riang.
"Kang, Euis sudah telat," kata Euis sambil senyum-senyum.
"Telat? Telat ke mana?" Rais malah balik bertanya.
"Si Akang mah, bukan telat seperti itu. Ini mah telat sebulan."
"Oh..." Rais tersenyum karena gembira. Lalu keduanya main kuda-kudaan. Rais jadi kudanya, Euis yang menungganginya. Lalu mereka berkeliling kamar sambil bersorak-sorai, tertawa-tawa, meluapkan kegembiraan. Waktu gantian yang jadi kudanya Euis, Rais yang menungganginya, ceritanya disensor....
Besoknya, ketika Euis sedang memasak sayur kacang di dapur, ada yang mengetuk pinta. Waktu Euis membuka pintu, oh ternyata pegawai PLN.
"Maaf, Bu, Ibu ini sudah telat satu bulan," kata pegawai PLN.
Euis terkejut. Pikirnya, siapa orang ini, kok tahu sudah telat satu bulan?
"Bapak tahu dari mana saya telat satu bulan?" tanya Euis dengan badan bergetar karena takut.
"Ada datanya, Bu."
"Bapak punya datanya? Tahu dari siapa?"
"Kan sudah diperiksa. Nah, ini alat untuk memeriksanya," kata pegawai PLN itu sambil memperlihatkan detektor meteran.
Euis semakin terkejut.
"Dengan alat itu? Bagaimana memeriksanya?"
"Tinggal diarahkan ke titik hitamnya, nanti juga terbaca."
Euis merapatkan kakinya segera. Keringat dingin membasahi dahi dan lehernya.
"Bilangin saja ke suami Ibu ya, sudah telat satu bulan," kata pegawai PLN sebelum pergi.
Euis menangis saking takut, tidak mengerti, dan tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Seingatnya, dia hanya memeriksakan dirinya ke Puskesmas. Bidan yang memeriksanya juga perempuan. Ini ada yang tahu sudah telat satu bulan, laki-laki lagi.
**
Rais terkejut mendapatkan istrinya menangis di kamar. Waktu ditanya, Euis langsung menceritakan kedatangan tamu kurang ajar itu.
"Jadi dia itu pegawai PLN?" kata Rais marah.
"Iya Kang," jawab Euis pelan. "Yang membuat Euis tidak mengerti, kenapa dia tahu sudah telat satu bulan segala. Artinya kan sudah ikut campur urusan rumah tangga kita."
"Betul Euis, Sayang. Tapi jangan takut, besok Akang akan datang ke kantor PLN. Harus dikasih pelajaran orang seperti itu!"
Besoknya Rais ijin tidak bekerja. Dia pergi ke kantor PLN. Tapi marah yang kemarin seperti badai itu, waktu sampai ke kantor PLN malah seperti angin semilir. Rais mengangguk-angguk hormat kepada satpam yang menghampirinya. Ya tentu saja seperti itu karena baru kali itu Rais ke kantor PLN yang dianggapnya megah. Rais ini memang hanya lulusan SD, bekerja menjadi tukang amplas di toko meubel, masuk ke kantor-kantor seperti PLN merasa malu dan minder.
"Tunggu saja di dalam, Pak. Ada ruang tunggu di sana. Nanti ada karyawan PLN yang membantu Bapak," kata satpam setelah bertanya kepentingan Rais dan alamat rumah.
Tidak lama Rais menunggu di ruang tunggu. Begitu datang, karyawan PLN langsung bilang, "Ya, betul Pak, sudah telat satu bulan."
Rais terkejut mendengarnya.
"Jadi, saya harus bagaimana?" tanya Rais bingung.
"Bapak harus bayar. Kalau sudah bayar tentu tidak telat lagi."
Rais semakin terkejut. Pikirnya, kalau tidak telat lagi sama saja dengan membunuh kehidupan yang ada di rahim Euis. Tidak! Rais tidak setuju bagaimanapun kejadiannya.
"Kalau tidak membayar bagaimana, Pak?" tanya Rais lagi.
"Kalau tidak membayar, terpaksa punya Bapak dipotong."
Pantat Rais sampai terangkat saking terkejut. Dia terdiam beberapa jenak. Bingung. Tentu saja bingung. Membayar mengakibatkan tidak telat lagi. Tidak membayar pun kepunyaannya akan dipotong. Dilema! Seperti menghadapi buah simalakama. Tidak ada pilihan.
**
Rais dan Euis semalaman tidak bisa tidur. Mereka sama-sama bingung. Tentu saja malam itu malam yang sepi. Tidak ada kuda-kudaan. Tidak ada sorak-sorai. Menjelang subuh baru mereka sepakat untuk mendatangi pemilik rumah kontrakan.
Pemilik rumah awalnya menyambut dengan hangat. Tapi setelah tahu maksud kedatangan pengantin baru itu, pemilik rumah cemberut.
"Kan baru dua bulan, kenapa sudah mau pindah lagi?" kata pemilik rumah. "Bayarnya juga kan baru setengahnya, Bapak dan Ibu ini berjanji melunasi yang setengahnya lagi sebulan kemudian. Sekarang sudah dua bulan. Artinya, sudah telat satu bulan."
"Ya, itu juga karena telat satu bulan," kata Euis.
"Tidak apa mau pindah juga, silakan!" Pemilik rumah marah. "Biar Ibu tidak telat lagi!"
"Jadi kalau pindah rumah tidak akan telat lagi?" Euis terkejut.
"Iya, tidak akan telat kalau pindah."
Euis memandang Rais. Tapi Rais pun sama-sama bingung.
"Tapi sudah tidak bisa apa-apa lagi, pindah rumah itu sudah suatu keharusan," kata Rais
"Iya, silakan saja pindah. Tapi tidak akan dibalikin sepenuhnya. Punya Bapak pasti dipotong setengahnya."
Rais terkejut. Pengantin baru itu lalu pulang. Sepanjang jalan saling berpelukan sambil menangis karena bingung.
 ***
Baca juga cerpen Yus R. Ismail lainnya DI SINIÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H