Begini, ada cerita yang menurut saya menarik, saat saya “nangkring” di sebuah angkringan langganan di sekitaran Klaten kota. Sabtu malam itu, sekitar pukul 19.30 WIB, saat asik duduk di kursi kayu angkringan, sembari klik iklan kendaraan di situs jual beli online dan sesekali menyeruput kopi hitam, datanglah seorang Bapak paruh baya.
Beliau datang langsung memesan teh panas, baru kemudian duduk di kursi kayu di samping saya. Tanpa “intro”, Beliau langsung curhat pada bapak pemilik angkirngan.
“Ngelu e, anak lanang soyo aneh (pusing, anak lelaki semakin aneh)” curhat Beliau.
Dilihat dari curhatan yang langsung keluar tersebut, dapat dipastikan bahwa Beliau sudah sangat akrab dengan pemilik angkringan.
“lha ngopo je? (emang kenapa?)” jawab pemilik angkringan, sambil mengaduk gula di gelas teh panas yang telah dipesan. Adukan gula dalam gelas yang menimbulkan “melodi” indah,hehehe...
Awalnya, saya kira, anaknya membuat masalah besar yang mungkin mempermalukan atau menyulitkan keluarga. Bukan nguping atau sejenisnya, lha wong Mereka ngobrolnya tepat di sebelah saya dan dengan suara keras. Akhirnya, konsentrasi pun terpusat ke sana.
Kebingungan Orang Tua Merespon Minat Bisnis Anak Yang Tak Sejalan Dengan Pendidikan Formal
Ternyata, dugaan saya salah. Anaknya bukan telah mempermalukan keluarga. Juga bukan telah merepotkan keluarga.
“anakku kan lulusan STM, jurusan otomotif, lha kok malah arep bukak warung makan” Si Bapak mulai menceritakan sebab kegundahannya. “Karepku kan ben bukak bengkel utowo kerja ning bengkel sik, golek pengalaman (maksudku biar buka bengkel atau kerja dulu di bengkel untuk cari pengalaman)” sambung Beliau. “lha kok malah meh dadi koki, piye iki? (kok malah mau jadi koki, gimana ini?)” tambahnya lagi.
Bapak pemilik angkringan sepertinya bingung harus bagaimana menjawab curhatan itu. Tampak dari jawabannya hanya meng-iya-kan atau sesekali bertanya ringan. Saya pun menahan diri untuk ikut dalam obrolan “serius” itu, takut salah ngomong. Saya hanya tersenyum, sembari tetap memperhatikan layar android saya. Namun, lanjutan dari curhatan si Bapak ini, “memaksa” saya untuk berkomentar.
“Iki isih mending, lha mbiyen, arep ajar jahit” (ini masih mending, dulu mau belajar jahit). cerita si Bapak, dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya.