Berkibarlah bendera negeriku
Berkibarlah engkau didadaku
Tunjukkanlah kepada dunia
Semangatmu yang panas membara
…(Merah Putih, Cipt. Gombloh)..
Minggu (17/7/2016), Saya dan keluarga rekreasi ke pantai daerah Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Deretan pantai Sadranan menjadi pilihan tempat berlibur Kami. Saat tiba di pantai yang baru populer tersebut, Kami mendapat suguhan pemandangan yang luar biasa indah. Keindahan pantai yang menarik banyak pengunjung.
Sekitar satu jam pertama di pantai tersebut, saya asik menemani putri kecil bermain pasir. Saat “tugas” menemani anak bermain di bibir pantai diambil alih oleh istri, saya pun berjalan menelusuri hamparan pasir pantai. Perjalanan terhenti saat saya melihat bendera Merah Putih berkibar di atas bukit bebatuan. Saya berdiri menatap hebatnya Merah Putih melambai karena terjangan angin kencang laut selatan.
Saat berada dekat bendera, baru tampak jelas bahwa fisik Merah Putih sudah tak utuh. Bagian ujungnya sudah robek. Mungkin, bendera itu sudah terlalu lama berdiri di sana, menantang hebatnya tiupan angin kencang laut Selatan.
Di atas bukit batu itu, saya mendapati sebuah kursi kayu sederhana di bawah pohon rindang. Sembari duduk di sana, saya bertanya dalam hati “Sejak kapan bendera itu dipasang di sana?” Hingga bentuknya tak utuh dan warnanya lusuh. “Untuk apa bendera itu dipasang di sana?” untuk penanda bahwa ini adalah wilayah Indonesia? Saya rasa bukan itu, semua pengunjung tahu benar bahwa daerah ini adalah wilayah kedaulatan Indonesia.
Saya pun terus coba menerka jawaban lain dari pertanyaan itu: mungkin pengelola pantai sedang banyak stok bendera, mungkin ada peraturan untuk memasang bendera di tepi pantai, mungkin juga hanya iseng agar terlihat nasionalis. Atau mungkin, si pemasang bendera ingin Merah Putih terus berkibar, sebab Dwiwarna kebanggaan Indonesia itu tentu akan terus berkibar karena hembusan angin kencang dari pantai. Terus berkibar disaksikan pengunjung pantai.
Berkibarlah benderaku
Lambang suci gagah perwira
Di seluruh pantai Indonesia
Kau tetap pujaan bangsa
Siapa berani menurunkan engkau
Serentak rakyatmu membela
Sang merah putih yang perwira
Berkibarlah Slama-lamanya
…..
(Berkibarlah Benderaku, Cipt. Ibu Sud)
Kini, Merah Putih yang dipaksa berkibar di atas bukit batu tepi pantai itu sudah robek karena rapuh. Mungin, kondisi bendera tersebut tak jauh berbeda dengan kondisi Negara yang kita cintai ini, yang tampak rapuh. Rapuh, ditandai dengan mudahnya “digerogoti” dan diprovokasi kelompok tak bertanggungjawab. Lantas, apa peran kita untuk dalam memperbaiki kerapuhan tersebut? Sebelumnya, Marilah Kita lihat kekayaan alam Indonesia!
Potensi Kekayaan Alam Indonesia
Saya pun menghubungkan terus berkibarnya Merah Putih di Pantai dengan potensi kelautan Indonesia. Potensi yang sangat kaya, yang jika dikelola dengan baik, bisa mensejahterakan masyarakat Indonesia. Ya, Indonesia akan berkibar dengan potensi lautnya.
Saya jadi ingat dengan lagu “Nenek Moyangku Seoarang Pelaut” yang dulu sering saya nyanyikan saat masih anak-anak. Hingga kini pun lagu ini pun masih sering dinyanyikan anak-anak.
….
Angin bertiup layar terkembang
Ombak berdebur di tepi pantai
Pemuda b'rani bangkit sekarang
Ke laut kita beramai-ramai
….
Potongan bait lagu di atas mengajak para pemuda untuk beramai-ramai ke laut. Jika diresapi maknanya, ke laut bukan sekedar menikmati keindahan laut dan pantai atau sekedar bermain air. Memiliki lebih dari 17.000 pulau dan 100.000 Km garis pantai, adalah modal besar yang disediakan alam untuk masyarakat Indonesia. Laut menyediakan pangan yang bergizi dan bernilai tinggi. Ada minyak yang bisa diangkat untuk kebutuhan energi masyarakat dan industri. Ada angin dan ombak yang menghasilkan energi terbarukan. Ada juga Alga yang bisa dijadikan energi alternatif. Masih banyak lagi potensi laut Indonesia. Inilah alasan kuat mengapa pemuda pemudi harus beramai ramai ke pantai.
Tak hanya di laut, daratan Indonesia pun menyimpan kekayaan alam yang tak kalah melimpah. Daratan Indonesia terkandung minyak dan gas bumi, mineral logam dan non logam yang berharga, panas bumi (geothermal) dan satu yang terpenting adalah tanah yang subur. Kesuburan tanah Negeri ini sudah tak diragukan lagi. Hampir semua permukaan tanah bisa ditanami tumbuhan dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk manusia. Tak berlebihan jika menyebut Indonesia adalah tanah surga, seperti lagunya Koes Plus yang berjudul Kolam Susu.
…
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
…
Ketika alam sudah menyediakan kebutuhan manusia, namun manusia masih “merasa” kekurangan atau tak tercukupi, artinya ada yang “salah” dengan manusia itu. Ada yang salah dengan pengelolaan kekayaan alam dan kualitas sumber daya manusia (SDM). Mari Introspeksi diri.
Bonus Demografi Untuk Indonesia
Berbicara Sumber Daya Manusia (SDM), tentu akan mengarah pada kependudukan Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2015 sudah melebihi 255 juta jiwa. Dengan jumlah penduduk yang besar dan tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata sekitar 1,4 %, Indonesia kerap masuk dalam daftar negara dengan jumlah penduduk terbanyak. Artinya, selain dikaruniai kekayaan alam yang melimpah, Indonesia juga mendapat bonus jumlah penduduk yang besar.
Fakta menariknya adalah sebagian besar penduduk Indonesia tergolong dalam usia produktif (16-64 tahun). Dikutip dari CNN Indonesia (20/5/2016), Indonesia memiliki 70 % penduduk produktif (sumber). Dengan kondisi tersebut, maka Indonesia sedang menikmati fenomena Bonus Demografi, yaitu penduduk usia produktif lebih banyak daripada usia non produktif (kurang dari 16 tahun dan lebih dari 65 tahun).
Dengan bonus demografi ini, Indonesia berpeluang besar untuk lebih maju dan produktif. Sebab, sebagian besar penduduknya berada pada rentang usia yang bisa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk perekonomian dan kesejahteraan. Usia produktif juga bukan hanya bermanfaat untuk kemandirian diri pribadi, tetapi juga untuk membantu orang lain, khususnya usia non produktif (anak-anak dan orang yang sudah tua). Dengan potensi peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang dibangun oleh penduduk usia produktif, maka akan berdampak pada pembangunan Bangsa.
Sederhananya, semakin banyak penduduk produktif di Indonesia, berpotensi semakin banyak yang bekerja untuk kemajuan Indonesia. Semakin banyak akumulasi tangan dan kekuatan rakyat Indonesia untuk merentang dan mengibarkan Merah Putih, di dalam dan luar Negeri.
….
Siap selalu Kami berbakti
Untuk Bangsa dan Ibu Pertiwi
Berdera Merah Putih
Terimalah salamku
…
(Bendera Merah Putih, Cipt. Ibu Sud)
Tapi, Jangan Senang Dulu! Bonus Demografi Bisa Menjadi Bom Waktu
Dalam kehidupan sehari-hari, kata “bonus” kerap dihubungkan dengan nominal uang. Jika uang bonus tersebut tidak dikelola dengan baik dan dimanfaatkan dengan kurang bijak, maka bonus tersebut bisa membawa keburukan bagi penerima bonus. Misalnya uang bonus digunakan untuk berfoya-foya, pesta yang tak jelas atau membeli barang terlarang, maka hasil bonus tersebut justru berdampak buruk.
Pun begitu dengan bonus demografi, jika kuantitas penduduk dalam jumlah besar tidak diimbangi dengan kualitas, maka bonus demografi tak lebih dari sekedar menambah kepadatan penduduk. Jika bumi Nusantara ini dipenuhi oleh penduduk yang tak memiliki keterampilan (life skill), tingkat pendidikan dan daya kemandirian yang rendah, maka bonus demografi ini justru akan menambah angka pengangguran di Indonesia. Membengkaknya angka pengangguran akan menjadi “Bom Waktu” yang bisa menghancurkan bangsa.
Berdasarkan data Ketenagakerjaan yang di rilis BPS pada Mei 2016 lalu, tercatat bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia sebesar 5,5%. Artinya, dari 100 orang angkatan kerja, 5-6 orang diantaranya tidak mendapat pekerjaan (menganggur). Tingkat pengangguran tahun ini memang menurun dari tahun sebelumnya, menurun 0,31%, namun angka tersebut masih menghawatirkan. Sebab, pertumbuhan penduduk terus melaju rata-rata 1,4%/ tahun, lapangan kerja cenderung stagnan. Jika jumlah usia produktif meningkat tidak diimbangin dengan lapangan kerja, ledakan pengangguran tak terelakkan. Ini yang harus diantisipasi.
Bonus Demografi dan Tantangan MEA
Munculnya agenda besar negara-negara kawasan Asia Tenggara, yaitu Mayarakat Ekonomi ASEAN (MEA), menjadi tantangan besar bagi masyarakat Indonesia. Agenda MEA yang menjadikan Asia Tenggara sebagai pasar tunggal untuk barang dan jasa, akan memberi harapan besar bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat negara anggota.
Kran investasi asing akan dibuka lebar dan lapangan pekerjaan akan tumbuh. Jadi, masyarakat Indonesia berpeluang besar untuk mendapat pekerjaan dari berbagai investasi di Indonesia. Selain itu, tenaga kerja Indonesia juga berpeluang mendapat pekerjaan di luar Negeri secara legal. MEA juga membuat arus penjualan barang dan jasa antar-negara menjadi mudah. Dengan begitu, wirausahawan Indonesia akan lebih mudah mengekspor produknya ke luar negeri. Tetapi, hal itu juga bisa dilakukan oleh warga negara lain di wilayah Indonesia. Artinya, masyarakat indonesia akan bersaing ketat dan terbuka dengan masyarakat ASEAN.
Dengan demikian, tantangan masyarakat Indonesia, khususnya usia produktif, menjadi berlipat ganda, yaitu bersaing dengan sesama penduduk produktif Indonesia dan penduduk produktif ASEAN. Ini bukanlah tantangan yang mudah untuk dimenangkan, tetapi bukan juga mustahil. Salah satu cara yang paling memenangkannya adalah dengan meningkatkan kualitas diri. Jika tidak, maka ratusan juta masyarakat Indonesia hanya akan jadi “penonton”, dan lambat laun terlindas roda pergerakan MEA.
Upaya Masyarakat Dalam Menyambut Satu Dekade Bonus Demografi Indonesia : Meningkatkan Kualitas Diri Melalui Pendidikan
Periode puncak bonus demografi Indonesia diperkirakan akan berlangsung sekitar tahun 2020 hingga 2030. Bonus demografi adalah peluang langka, yang hanya akan terjadi satu kali dalam perjalanan sebuah Bangsa. Oleh sebab itu, Kita-sebagai masyarakat- hendaknya menyiapkan diri untuk menyambut datangnya dekade bonus demografi itu.
Sebelum membahas upaya apa yang harus dilakukan masyarakat dalam menyambut dekode bonus demografi, mari kita melihat data ketenagakerjaan dari Badan Pusat Statisti (BPS). Hasil penelusuran di www.bps.go.id, diketahui bahwa dari pengangguran terbuka tahun 2015 yang berjumlah 7,56 juta jiwa, 88% diantaranya belum pernah sekolah, lulusan SD, SMP dan SMA/sederajat. Artinya, ada korelasi antara tingkat pendidikan dengan angka pengangguran, yaitu angkatan kerja dengan pendidikan rendah adalah penyumbang angka pengangguran yang jauh lebih tinggi daripada lulusan pendidikan tinggi.
Dengan bekal itu, maka peluang lapangan kerja dalam dan luar negeri di era MEA pun akan mudah didapat. Kesimpulannya, masyarakat harus memandang bahwa pendidikan adalah hal penting yang harus diupayakan. Dengan pendidikan, tantangan MEA dan dekade bonus demografi akan berubah menjadi harapan dan peluang.
Selain meningkatkan pendidikan atau kompetensi diri pribadi, Kita juga hendaknya memperjuangkan pendidikan anggota keluarga, misalnya anak. Kita harus menyadari bahwa anak-anak muda saat ini, termasuk anak kita, akan menjadi pemain utama di masa yang akan datang. Termasuk pada masa dekade puncak bonus demografi dan era MEA ini.
Tak terkecuali untuk wanita atau anak perempuan, mereka juga harus mendapat pendidikan yang layak. Sebab, puncak bonus demografi memberi kesempatan besar bagi para wanita untuk bekerja dan berkarir, karena jumlah anak yang sedikit. Sehingga, wanita bisa membantu penguatan ekonomi keluarga. Terlepas dari opini atau perdebatan wanita harus bekerja atau menjadi ibu rumah tangga, Mereka tetap layak mendapat pendidikan terbaik. Oleh sebab itu, bekali mereka dengan pendidikan terbaik, untuk kemandirian diri dan Bangsa.
Mari perbaiki kualitas diri pribadi dan keluarga, salah satunya dengan pendidikan. Agar bonus demografi ini benar-benar menjadi bonus yang bermanfaat, setidaknya manfaat untuk diri pribadi dan keluarga. Sebab, membangun kualitas keluarga akan sama dengan membangun Negara. Inilah peran Kita untuk Negara.
Peran Pemerintah Dalam MempersiapkanSatu Dekade Bonus Demografi Indonesia: Penguatan SMK
Pemerintah sebagai regulator ketenagakerjaan dan pengendali kependudukan, wajib menyiapkan strategi untuk menghadapi puncak bonus demografi 2020-2030. Pendidikan tinggi dipercaya mampu mengurangi angka pengangguran, namun tidak semua masyarakat bisa mengaksesnya. Biaya yang relatif mahal dan beasiswa sangat terbatas, menjadikan pendidikan tinggi sulit dijangkau masyarakat golongan kurang mampu.
Alternatifnya, Pemerintah harus fokus mengembangkan pendidikan kejuruan, khususnya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Sebab, SMK adalah salah satu satuan pendidikan yang berperan strategis dalam mencetak tenaga kerja yang kompeten. Pendidikan kejuruan seperti SMK, bertujuan untuk membekali siswanya dengan kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan di Dunia Usaha/Dunia Industri (DU/DI). Jadi, seharusnya lulusan SMK tidak ada yang menganggur, bisa bekerja, berwirausaha atau melanjutkan pendidikan. Namun, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), lulusan SMK justru banyak yang menganggur. Data per Agustus 2015, SMK menyumbang 1.569.690 pengangguran terbuka. Artinya, ada masalah besar dalam pelaksanaan pendidikan kejuruan di SMK.
Lantas, di mana letak permasalahannya? Kunci pembelajaran SMK adalah kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan kompetensi di dunia kerja, yang selanjutnya berdampak pada media pembelajaran dan tenaga pendidik. Ketika kompetensi lulusan SMK tidak bisa diterima di dunia kerja, artinya kurikulum tidak relevan. Padahal, konsep “Link and Match” telah lama diupayakan oleh mantan Mendikbud Wardiman Djojonegoro. Konsep tersebut menghubungkan pendidikan kejuruan dengan dunia kerja, mulai dari penyusunan kurikulum, proses pembelajaran, sarana hingga evaluasi pembelajaran SMK. Jika konsep itu dilaksanakan dengan baik, maka tak ada istilah menganggur bagi lulusan SMK.
Kesimpulannya, Pemerintah melalui Kementerian terkait seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Perindustrian harus duduk bersama memikirkan pengembangan dan penguatan pendidikan kejuruan di SMK. Karena SMK bukan sekedar masalah pendidikan yang hanya diurus Kemdikbud, tetapi juga masalah ketenagakerjaan yang diatur oleh Kementerian Ketenagakerjaan. Ketika berbicara ketenagakerjaan, maka erat hubungannya dengan dunia industri yang menjadi ranah kerja Kementerian Perindustrian.
Kita-sebagai masyarakat Indonesia sebenarnya golongan kaum yang beruntung. Para pahlawan telah berjuang merebut kemerdekaan yang Kita nikmati hingga saat ini. Tuhan telah menganugrahkan kekayaan alam yang luar biasa melimpah di Nusantara, untuk Kita. Kita -yang dalam jumlah besar ini-, rasanya sulit dipercaya jika hanya berdiam diri atau sekedar mengeluh dan mengkritik yang tak konstruktif. Mari siapkan diri, untuk tantangan dan harapan besar bonus demografi.
Dalam nuansa bonus demografi, mari bersama Kita perbaiki "Merah Putih" yang "robek dan rapuh", bersama pula Kita mengibarkannya. Ayo berkarya, untuk diri pribadi, keluarga, orang lain dan Negara, demi kejayaan.
Bangun pemudi pemuda Indonesia
Tangan bajumu singsingkan untuk negara
Masa yang akan datang kewajibanmu lah
Menjadi tanggunganmu terhadap nusa
Menjadi tanggunganmu terhadap nusa
Sudi tetap berusaha jujur dan ikhlas
Tak usah banyak bicara trus kerja keras
….
(Bangun Pemudi Pemuda, Cipt. A Simanjuntak)
Jayalah Indonesia. Merah Putih, Teruslah Berkibar!