Mohon tunggu...
Dasanama
Dasanama Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Menulis menjadi bagian dari hobi yang mampu mengasah intelegensi seseorang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Hidup Susah, Mati Sengsara

22 Februari 2021   17:28 Diperbarui: 22 Februari 2021   18:00 1321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sungguh mengerikan dan sangat menegangkan ketika hidup tidak lagi berguna. Kehidupan yang seharusnya disyukuri kini merugikan sesama. Dunia sudah menolak bahkan akhirat menutup pagar rapat-rapat supaya tidak terjangkit penyakit. 

Berita-berita tentang pandemi virus corona bagaikan handphone bekas yang berceceran di Jatinegara. Seluruh tetanggaku turut mengisolasi diri dengan memborong seluruh masker, hand sanitizer, dan bahan pangan, serta tidak lupa untuk tetap menjaga jarak dengan orang lain. Seluruh bentuk dinamika kehidupan manusia dialokasikan di dunia digital seperti, bekerja, belajar, dan ibadah dari rumah.

Notifikasi media sosial selalu berdering dari grup kuliah mengenai curhat kesulitan mencari bahan pangan hingga kekhawatiran kelulusan akan ditunda. Wabah penyakit ini mampu menghantui pikiran setiap orang. Aku ingatkan kepada keluarga dan teman-teman untuk bersikap tenang dan jangan panik supaya tidak menganggu pikiran. Seluruh masyarakat dunia mengalami hal serupa dan berjuang bersama untuk mengusir virus yang menjajah setiap negara.

Di balik imbauanku untuk tetap tenang, sebenarnya aku merasakan ada yang janggal yaitu, mentalku terganggu. Virus corona mampu mengganggu mentalku yang tengah dioyak skripsi. "Sial, sudah dikuntit oleh virus, masih saja dikuntit oleh bayang-bayang skripsi dan wajah dosen pembimbing" ucapku dalam batin.

Aku selalu memiliki cara untuk menangkan pikiran dengan berkendara sepeda motor kesayanganku. Hal yang sangat menguntungkanku ketika dilanda virus corona yaitu sahabat setia, motor warisan kakek yang kuberi nama "motor" dan anjing adopsi yang kuberi nama "anjing". Akibat terlalu sering menghabiskan waktu bersama, membuatku mengerti kepribadian si motor dan si alig. Kepribadian si motor yang manja dapat dilihat ketika tidak diberi belaian sehari saja, oli akan bocor dan mesin akan macet. Demikian si anjing, jika merasa takut karena habis aku marahi, maka ia akan lari menjauh dan melonglong.

Jakarta dinobatkan sebagai salah satu kota penyumbang pasien covid-19 tertinggi di Indonesia. Hal positif yang bisa diambil ialah jalanan Ibu Kota dapat bernapas cukup lega karena polusi udara tidak lagi mengganggu paru-parunya. Kesempatan ini dapat aku manfaatkan untuk bersantai sembari menikmatii udara segar Jakarta tanpa dicampuri polusi kemunafikan. Sudah lama juga tidak mengajak si motor kesayangan untuk menapaki jalan-jalan Ibu Kota yang biasanya hanya sepi ketika Idul Fitri.

Kebosanan memang menjadi hal yang sangat mendasar dan menjangkiti setiap orang, termasuk aku. Rasanya ingin sekali pergi melihat keadaan sekeliling kota yang jalanannya cukup lenggang dan sepi. Rindu mensambangi warkop Kang Joy yang selalu menjadi tempat melepaskan rasa penat dan bosan. Pergolakan antara hati dan pikiran semakin berkelut ketika harus memutuskan untuk pergi atau tidak. Setelah pikiran dan hati berunding lama, timbul kesimpulan yaitu, berangkat. Sepertinya memang harus berkunjung ke Kang Joy untuk sekadar bercerita tentang dampak dari pandemi ini.

Kunci motor sudah di tangan dan siap menggugah mesin dan rantai motor untuk menari bersama menikmati larutnya malam. Ketika memantapkan kaki untuk pergi melewati pintu belakang rumah, tiba-tiba terdengar suara ayah yang sangat nyaring hingga membuat si anjing melonglong. "Sipling!!!! Diam di rumah saja jangan curi-curi waktu keluar rumah ya kamu, para petinggi negara dan medis sudah menghimbau untuk di rumah. Ingat virus ini bahaya dan penyebarannya cepat." Suara tinggi ayah menusuk gendang telinga dan mengagetkanku.

"Tidak ... aku hanya ingin memastikan apakah si anjing sudah menjalankan tugasnya menjaga rumah atau belum. Jika si anjing lalai dalam tugasnya, maka akan aku peringatkan untuk tetap fokus dan jangan sampai terlena."

"Kemarin karburator motor kamu ajak bicara, sekarang anjing kamu suruh fokus. Kamu kuliah jurusan komunikasi antar benda dan hewan? Sudahlah tidur saja kamu."

Mendengar perintah yang begitu keras, akhirnya kuputuskan untuk tidak berangkat saat ini juga melainkan menunggu tengah malam. Strategi yang sangat tepat telah disusun supaya dapat melancarkan perjalanan menemui Kang Joy. Jam tangan menunjukan pukul 22.49 WIB dan ini merupakan tanda bahwa keluargaku sudah tertidur lelap. Melewati pintu belakang, membelai si anjing dan mendorong si motor hingga penghujung jalan berhasil dilalui. Dalam hati bergumam rasa senang karena lolos dari pengawasan dan dapat berbincang dengan Kang Joy.

***

"Pling, kok mampir ke warkop sih? Kan sudah dihimbau atuh jangan keluyuran di luar rumah atuh" ucap Kang Joy keheranan karna melihatku tertawa ketika tiba di warungnya.

"Lah akang ngapain buka kalo gak mau dilarisin?" jawabku dengan senyum ramah sembari mencicipi gorengan yang masih hangat. "iya sih, mau pesan apa nih?" responnya yang cepat tanpa menghiraukan pertanyaanku.  

Rasa lapar dan haus yang sungguh melanda, secara sigap aku memesan minum dan makan "Kang, es teh manis satu deh sama mie rebus ya. Bosen kang di rumah terus, enakan di sini bisa ngobrol-ngobrol santai. Apa kabar nih? Sehat?" tanpa disadari tangan kami saling menjabat dengan erat. Pembicaraan mengalir begitu saja, bagaikan dari hulu ke hilir. Kang Joy bercerita tentang badannya yang seperti masuk angin dan kurang lebih sudah tiga hari belum kunjung sembuh. Aku sarankan untuk mengkonsumsi vitamin dan jaga kesehatan. Hampir 2 jam kami berbincang, akhirnya aku memutuskan untuk pulang karena kelopak mata sudah mengajak untuk istirahat.

Dua hari setelah pertemuan dengan Kang Joy, aku merasakan batuk, demam, dan sesak napas. Aku mencoba untuk tetap berpikir positif dengan beranggapan bahwa ini masuk angin karena pulang larut malam. Lima hari kemudian rasa sakit semakin tidak tertahankan dan kedua orang tuaku semakin gelisah, lalu memutuskan untuk diperika ke dokter. Pamanku turut mengantar dan menjaga jarak dengan diriku karena takut corona menimpaku.

Dokter yang berpakaian seperti astronot memberikan saran untuk swab test, guna melihat hasil yang lebih jelas. Satu keluarga yang berisikan aku, orang tua, dan paman, memutuskan untuk tes bersama. Selang beberapa jam kemudian, hasil swab test keluar dan ternyata aku dinyatakan positif corona, sedangkan keluargaku yang lain aman. Terdengar suara tangisan orang tua dan paman yang mengkhawatirkan kesehatanku. Positif corona dan harus menjalani hari-hari di ruang isolasi akan menjadi perjalananku dalam hitungan detik. Aku bagaikan tawanan narapidana yang digiring ke ruang isolasi dan dijaga ketat.

***

Kondisi hari pertama isolasi di rumah sakit berjalan sangat tidak menyenangkan. Aku harus dipaparkan pada kenyataan bahwa tenaga medis sudah sangat lelah, karena peningkatan pasien yang terus bertambah setiap harinya. Beberapa relawan seperti dokter dan perawat menceritakan keluh kesah mereka kepadaku tentang bengalnya masyarakat yang tidak mematuhi protokol kesehatan.

Berbaring di ranjang rumah sangat tidak seperti berbaring di ranjang rumah, kasurnya keras dan tidak leluasa. Ketika sedang bersantai di ranjang, tim medis menggiring seseorang yang wajahnya tidak asing menurutku, Kang Joy. Ternyata Kang Joy juga terpapar virus corona dan harus isolasi di rumah sakit. Kami saling bertegur sapa dan menanyakan tentang keadaan masing-masing.

Ternyata pertemuan dengan Kang Joy ternyata berlanjut hingga ke ruang isolasi. Diskusi antara aku dan Kang Joy tentang pasien yang sembuh dan meninggal terus bergulir. Semakin dibicarakan semakin membuka mata bahwa aku dihadapkan pada dua pilihan yaitu, sembuh atau meninggal.

Sedih rasanya ketika membayangkan sembuh lalu menjadi musuh masyarakat dan teman. Meraka akan semakin menjaga jarak denganku karena dicap sebagai pembawa virus. Semakin hari keadaan tubuh semakin menurun dan badan mulai merasakan sangat tidak nyaman dan sangat sesak napas. Gejala virus dan gejala kematian seperti, mimpi bertemu dengan saudara yang sudah meninggal, mimpi naik kereta, dan mimpi-mimpi yang lainnya, aku alami di penghujung ajal. Aku sudah siap meninggalkan dunia, karena khawatir ketika sembuh akan banyak orang yang menghindar dariku.

Setelah enam hari dirawat di rumah sakit, aku dihadapkan pada kenyataan bahwa kematian menjadi jalanku. Aku tidak merasa sedih, melainkan rasa tenang dan nyaman karena akan terhindar dari masyarakat yang merasa takut dan jijik kepadaku. Membayangkan bertemu malaikat dan sanak saudara sepertinya indah, dan yang terpenting sudah tidak merasakan virus corona.

Sebelum dijemput oleh malaikat, aku menyempatkan diri untuk mengunjungi si anjing dan hasilnya si anjing lari dan kabur dari hadapanku. Aku mencoba untuk menunggangi si motor dan olinya tiba-tiba bocor. Ternyata bukan hanya manusia yang takut dan menghindar dariku, melainku juga dua kesayanganku.

***

Bayanganku pudar dan seketika jantungku berdebar lebih kencang melihat malaikat menjemputku dengan pakaian seperti astronot. Pakaian itu sama persis seperti pakaian tim medis di dunia. Perbedaannya hanya yang satu tim medis dan yang satu malaikat. Persamaannya, sama-sama berpakaian seperti astronot dan menjaga kesehatan.

Sesampainya di alam baka, ternyata seperti toko-toko grosir yang harus antre untuk mendapatkan giliran masuk. Semua roh diwajibkan menggunakan masker, mencuci tangan, dan jaga jarak. Setiap roh yang hadir akan ditanya-tanya seputar kehidupan di dunia. Giliranku yang ditanya dengan nada tinggi dan diminta untuk menjawab secara singkat, jelas, dan padat. Pertanyaannya sederhana dan tidak rumit.

Salah satu malaikat yang tidak bisa kulihat mukanya menanyakan, "Sipling, kenapa meninggal di usia muda? Coba ceritakan pengalamanmu. Saya baca di catatan, kamu keluar rumah di tengah malam lalu mensambangi warung Kang Joy ya? Kan kamu sudah tahu bahwa arahan dari pemerintah untuk tetap diam di rumah."

"Iya kat, saya juga cuma iseng-iseng kok waktu itu. Saya bosan di rumah. Saya ingin pergi main dan cerita-cerita. Sudah lama tidak keluar rumah, tidak main sama si motor, dan tidak menghirup udara segar."

"Baik, kamu sebagai pasien corona yang terpapar karena tidak mau patuh terhadap anjuran pemerintah dan tim medis, maka akan saya masukan ruang isolasi hingga kamu sembuh. Apabila kamu terjangkit corona dan bukan karena keteledoran kamu, tentu tidak akan saya tempatkan di ruang isolasi seperti saat ini. Silahkan keluar."

Aku akhirnya mengetahui bahwa terdapat pembedaan perlakuan antara yang sengaja tidak patuh pada anjuran pemerintah dengan yang tidak sengaja terpapar virus. aku menyangka akan mendapat perlakuan lebih baik di akhirat, ternyata sama saja. Aku tetap digiring ke ruang isolasi seperti di rumah sakit dunia karena mereka juga takut terpapar virus corona.

"Bapak Presiden Indonesia kan sudah memperingatkan untuk kerja dari rumah, belajar dari rumah, dan ibadah di rumah, eh kamu malah keluyuran ke warkop Kang Joy. Lihat tuh Kang Joy sembuh kamunya malah diisolasi lagi." Ujar malaikat yang menjagaku di ruang isolasi akhirat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun