***
"Pling, kok mampir ke warkop sih? Kan sudah dihimbau atuh jangan keluyuran di luar rumah atuh" ucap Kang Joy keheranan karna melihatku tertawa ketika tiba di warungnya.
"Lah akang ngapain buka kalo gak mau dilarisin?" jawabku dengan senyum ramah sembari mencicipi gorengan yang masih hangat. "iya sih, mau pesan apa nih?" responnya yang cepat tanpa menghiraukan pertanyaanku. Â
Rasa lapar dan haus yang sungguh melanda, secara sigap aku memesan minum dan makan "Kang, es teh manis satu deh sama mie rebus ya. Bosen kang di rumah terus, enakan di sini bisa ngobrol-ngobrol santai. Apa kabar nih? Sehat?" tanpa disadari tangan kami saling menjabat dengan erat. Pembicaraan mengalir begitu saja, bagaikan dari hulu ke hilir. Kang Joy bercerita tentang badannya yang seperti masuk angin dan kurang lebih sudah tiga hari belum kunjung sembuh. Aku sarankan untuk mengkonsumsi vitamin dan jaga kesehatan. Hampir 2 jam kami berbincang, akhirnya aku memutuskan untuk pulang karena kelopak mata sudah mengajak untuk istirahat.
Dua hari setelah pertemuan dengan Kang Joy, aku merasakan batuk, demam, dan sesak napas. Aku mencoba untuk tetap berpikir positif dengan beranggapan bahwa ini masuk angin karena pulang larut malam. Lima hari kemudian rasa sakit semakin tidak tertahankan dan kedua orang tuaku semakin gelisah, lalu memutuskan untuk diperika ke dokter. Pamanku turut mengantar dan menjaga jarak dengan diriku karena takut corona menimpaku.
Dokter yang berpakaian seperti astronot memberikan saran untuk swab test, guna melihat hasil yang lebih jelas. Satu keluarga yang berisikan aku, orang tua, dan paman, memutuskan untuk tes bersama. Selang beberapa jam kemudian, hasil swab test keluar dan ternyata aku dinyatakan positif corona, sedangkan keluargaku yang lain aman. Terdengar suara tangisan orang tua dan paman yang mengkhawatirkan kesehatanku. Positif corona dan harus menjalani hari-hari di ruang isolasi akan menjadi perjalananku dalam hitungan detik. Aku bagaikan tawanan narapidana yang digiring ke ruang isolasi dan dijaga ketat.
***
Kondisi hari pertama isolasi di rumah sakit berjalan sangat tidak menyenangkan. Aku harus dipaparkan pada kenyataan bahwa tenaga medis sudah sangat lelah, karena peningkatan pasien yang terus bertambah setiap harinya. Beberapa relawan seperti dokter dan perawat menceritakan keluh kesah mereka kepadaku tentang bengalnya masyarakat yang tidak mematuhi protokol kesehatan.
Berbaring di ranjang rumah sangat tidak seperti berbaring di ranjang rumah, kasurnya keras dan tidak leluasa. Ketika sedang bersantai di ranjang, tim medis menggiring seseorang yang wajahnya tidak asing menurutku, Kang Joy. Ternyata Kang Joy juga terpapar virus corona dan harus isolasi di rumah sakit. Kami saling bertegur sapa dan menanyakan tentang keadaan masing-masing.
Ternyata pertemuan dengan Kang Joy ternyata berlanjut hingga ke ruang isolasi. Diskusi antara aku dan Kang Joy tentang pasien yang sembuh dan meninggal terus bergulir. Semakin dibicarakan semakin membuka mata bahwa aku dihadapkan pada dua pilihan yaitu, sembuh atau meninggal.
Sedih rasanya ketika membayangkan sembuh lalu menjadi musuh masyarakat dan teman. Meraka akan semakin menjaga jarak denganku karena dicap sebagai pembawa virus. Semakin hari keadaan tubuh semakin menurun dan badan mulai merasakan sangat tidak nyaman dan sangat sesak napas. Gejala virus dan gejala kematian seperti, mimpi bertemu dengan saudara yang sudah meninggal, mimpi naik kereta, dan mimpi-mimpi yang lainnya, aku alami di penghujung ajal. Aku sudah siap meninggalkan dunia, karena khawatir ketika sembuh akan banyak orang yang menghindar dariku.