Karena itu Jalan Ketiga atau Jalan Tengah hendaknya menjelma sebagai ideologi politik tengah di antara dua kutub ideologi sosialisme kiri  dan kapitalisme kanan yaitu antara globalisasi dan modernitas.
Demikian pun halnya dengan Ujian Nasional. Sejak wacana ini dimunculkan lagi oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Kabinet Merah Putih, Prof. Abdul Mu'ti, pro dan kontra terjadi di mana-mana.
Kelompok yang pro UN/UNAS berangkat dari pengalaman pasca dihapuskannya  UN/UNAS membawa petaka tersendiri dalam dunia pendidikan. Ada berbagai hambatan dan kendala ditemui di sekolah, di antaranya:
a. Â Semangat belajar siswa baik di sekolah maupun di rumah menurun drastis. Mereka seolah-olah ketiadaan motivasi untuk belajar sebab selama ini memang orientasi mereka pada ujian. Jadi bila sekolah tanpa ujian sama dengan sekolah tapi tidak belajar.
b. Â Disiplin sekolah mulai kendor. Anak didik cenderung untuk malas datang sekolah. Karena mereka punya anggapan, sekolah tidak sekolah, tetap naik kelas dan lulus. Rupanya ini semangat yang dibawa dari suasana COVID-19.
c. Â Para guru kehilangan gairah mengajar. Karena tidak ada ujian, guru bisa saja menjadi lebih santai dan kurang melakukan persiapan mengajar. Ini menjadi dampak yang kurang baik dalam dunia pendidikan.
d. Â Orang tua pun tidak merasa berkewajiban memaksa anak ke sekolah. Lagi-lagi ini adalah dampak paling buruk. Orang tua pun mulai malas mewajibkan anak ke sekolah karena anak tak punya prestasi di sekolah.
Sementara ini kelompok yang kontra terhadap kelahiran kembali UN/UNAS menjadikan alasan "Sekolah bukan untuk Ujian, tetapi sekolah untuk kehidupan."
Untuk itu kalau mau memberlakukan kembali UN/UNAS maka diperlukan suatu format baru, yang tentu saja mendorong diskusi mengenai relevansi dan efektivitas UN dalam sistem pendidikan Indonesia.
Itulah yang disebut oleh Giddens dengan perlunya "Jalan Tengah atau Jalan Ketiga" dalam dunia pendidikan. Melakukan transformasi di bidang pendidikan melalui mengembalikan pemakaian istilah UN/UNAS namun dengan format dan sistem pelaksanaan yang baru. Sehingga pengalaman seperti kisah Anak Ernesto di atas, yang disiplin bangun pagi, disiplin ke sekolah tanpa terlambat, dan mendapatkan nilai yang baik, tanpa banyak catatan miring tentang siswa di sekolah, menjadi acuan untuk pendidikan yang lebih baik dengan mempertimbangkan "Jalan Tengah atau Jalan Ketiga" dalam dunia pendidikan kita.
Mungkinkah?