Mohon tunggu...
Yosef MLHello
Yosef MLHello Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Bapak Keluarga yang setia. Tinggal di Atambua, perbatasan RI-RDTL

Menulis adalah upaya untuk meninggalkan jejak. Tanpa menulis kita kehilangan jejak

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stop Kekerasan, Ciptakan Sekolah Ramah Anak

8 Oktober 2024   22:05 Diperbarui: 8 Oktober 2024   22:42 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

AKHIR-AKHIR INI tindak kekerasan terhadap anak di sekolah bukannya berkurang, tetapi semakin bertambah. Sebenarnya ada apa sih? Adakah sesuatu yang salah dalam penanganan pendidikan di sekolah saat ini? Pada hal saat ini kita hidup dalam suatu masa yang boleh dikatakan tak kurang suatu apa pun. Lantas mengapa kekerasan terhadap anak di sekolah masih tetap ada? Mungkinkah bisa tercipta sekolah yang bebas dari kekerasan dan menciptakan suatu sekolah ramah anak?

Suatu pertanyaan yang rasanya sangat sederhana, namun cukup sulit untuk menjawabnya, sebab tidak segampang kita membalikkan telapak tangan.

Dalam tulisan ini, dua hal akan dibahas yaitu pertama, kekerasan yang terjadi di sekolah: apa, mengapa, dan bagaimana; dan kedua, upaya-upaya untuk menciptakan sekolah yang ramah anak. Artinya dengan menciptakan sekolah ramah anak, dengan sendirinya kita mengatakan stop kekerasan terhadap anak di sekolah.

Pertama: Kekerasan yang terjadi di Sekolah: Apa, Mengapa dan Bagaimana.

a.   Apa itu kekerasan di sekolah

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi kelima, kekerasan adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.

Seperti dirilis dalam p2k.stekom.ac.id, dua peneliti dari Universitas California Santa Barbara, Amerika Serikat yaitu Michael Furlong dan Gale Morrison mendefinisikan kekerasan di sekolah sebagai konstruksi multi faset yang melibatkan tindakan kriminal dan agresi di sekolah yang menghambat perkembangan dan pembelajaran, serta merusak iklim sekolah. 

Hampir senada dengan itu, para ahli lain menambahkan bahwa pada umumnya kekerasan di sekolah dapat terjadi dalam bentuk-bentuk seperti kekerasan fisik, kekerasan verbal, kekerasan psikologis, dan kekerasan cyber.

Kekerasan di sekolah dapat terjadi karena perasaan kebencian dan ketidaksenangan antar siswa dan bisa jadi karena atau dengan guru.

Pada umumnya anak dan remaja laki-laki (siswa di sekolah) memiliki kecenderungan menjadi target penindasan fisik, sedangkan anak dan remaja perempuan di sekolah lebih rentan mengalami kekerasan verbal dan relasional.

b.   Mengapa sampai saat ini masih saja terjadi tindak kekerasan di sekolah

Berdasarkan hasil penelitian para ahli pendidikan ditemukan adanya faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan di sekolah, khususnya antar siswa yaitu adanya perasaan kebencian dan ketidaksenangan antar siswa.

Sebuah contoh kekerasan antar siswa karena adanya perasaan kebencian seperti perasaan benci pada saat diintimidasi oleh teman lain, merasa dikucilkan di dalam kelas, tersinggung, dan menimbulkan rasa dendam terhadap sesama siswa lainnya.

Sedangkan kekerasan yang terjadi di sekolah yang disebabkan karena adanya perasaan tidak senang itu seperti pada saat sesesorang merasa dituduh melakukan sesuatu misalnya mencuri, merasa diejek, dan diganggu.

Selain itu, kekerasan masih terjadi di sekolah karena adanya krisis identitas  yang dialami oleh siswa itu sendiri.  Kurangnya perhatian dari keluarga juga bisa memicu kekerasan di sekolah. Dan tentu saja kita tidak bisa menutup kemungkinan adanya kekerasan juga karena pergaulan bebas dan pengaruh media sosial yang terlalu terbuka dengan berbagai praktek kekerasan di dalamnya.

c.   Bagaimana menangani kekerasan di sekolah

Menurut data yang diperoleh dari Inspektur Jenderal Kemendikbudristek RI, Chatarina Muliana Girsang, terdapat 127 kasus kekerasan di sekolah yang ditangani sepanjang tahun 2021 sampai 2023. Dari kasus-kasus tersebut, 50 di antaranya adalah kasus kekerasan seksual, dan kasus yang paling banyak berkaitan dengan perundungan.

Menurut Dr. Khaerul Umam Noer, Dosen FISIP UMJ, kasus kekerasan di sekolah itu ibarat fenomena gunung es. Dan karena itu menurutnya untuk menangani kasus fenomena gunung es ini tidak hanya semata terhadap siswa tetapi programnya harus menyasar kepada 4 level stakeholder, yaitu Kepala sekolah, satuan tugas, siswa, dan wali kelas. Terhadap keempat stakeholder tersebut tidak bisa penanganannya setengah-setengah, tetapi harus terbuka dan menyeluruh, agar masing-masing memahami tugas dan tanggungjawabnya untuk meminimalisir adanya tindak kekerasan di institusi pendidikan yaitu sekolah.

Penanganan terhadap kekerasan di sekolah dapat dilakukan dengan berbagai langkah, seperti yang dikemukakan dalam Peraturan Mendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 yang mengatur tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan. Menurut Permendikbudristek tahun 2023 itu, ada sekurang-kurangnya 9 (sembilan) langkah penanganan kekerasan di sekolah, yaitu:

1)   Sekolah harus membentuk tim pencegahan kekerasan yang disebut Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK).

2)   Sekolah harus membuat kebijakan yang jelas dan tegas mengenai peencegahan dan penanganan kekerasan.

3)   Sekolah harus melakukan pelatihan terhadap guru dan siswa untuk mengenali dan mengatasi kekerasan di sekolah.

4)   Sekolah mesti menjalin kerja sama dengan orang tua, masyarakat dan lembaga terkait lainnya dalam menangani kekerasan.

5)   Sekolah harus menciptakan lingkungan yang aman, nyaman dan menyenangkan sehingga mencegah terjadinya kekerasan.

6)   Sekolah harus melakukan pelatihan terhadap pendidik dan tenaga kependidikan untuk mengetahui dan menjamin hak-hak anak 

7)   Sekolah perlu menindaklanjuti setiap kasus kekerasan secara proporsional sesuai dengan tingkat kekerasannya.

8)   Sekolah perlu memfasilitasi korban dan pelaku untuk mendapatkan perlindungan hukum.

9)   Sekolah harus melaporkan kepada pihak berwenang kasus kekerasan yang terjadi di sekolah kepada aparat penegak hukum setempat atau Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat.

2.   Upaya Menciptakan Sekolah Ramah Anak

Setelah terbentuk TPPK di setiap sekolah, maka diharapkan kasus kekerasan di sekolah dapat ditangani dengan baik. Sebagai hasil atau perjuangan menciptakan sekolah tanpa kekerasan atau stop kekerasan di lingkungan sekolah, maka kita harus menciptakan sekolah yang ramah terhadap anak.

Apa itu sekolah ramah anak?

Menurut wikipedia.com, Sekolah Ramah Anak (SRA) adalah satuan pendidikan yang memiliki karakteristik mampu melindungi hak-hak anak serta menjadi garda terdepan dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar yang berorientasi pada anak.

Atau secara lebih singkat dikatakan, Sekolah Ramah Anak adalah satuan pendidikan yang aman, bersih, sehat, dan peduli terhadap lingkungan. 

SRA juga menjamin hak-hak anak, melindungi mereka dari kekerasan dan diskriminasi, serta mendukung partisipasi anak.

Adapun konsep Sekolah Ramah Anak itu seyagyanya melibatkan ketiga pilar pendidikan yaitu sekolah, orang tua, dan anak-anak. Artinya ketiga komponen ini secara bersama-sama, mereka menciptakan kondisi sekolah sedemikian rupa sehingga bersih, rapih, indah, sehat, aman, nyaman, dan inklusif.

Ciri-ciri Sekolah Ramah Anak

Seperti dirilis dalam Kompas.com, ada sekurang-kurangnya 8 ciri sebuah sekolah ramah anak, yaitu:

1.   Anak mesti diperlakukan dengan sopan.

2.  Sekolah memastikan tidak ada tindakan kekerasan 

3.   Tata tertib sekolah harus transparan dan adil

4.   Anak harus merasa nyaman dan aman di lingkungan sekolah

5.   Adanya fasilitas yang memadai seperti air bersih, kebersihan, dan kesehatan.

6.   Adanya fasilitas kebersihan seperti toilet atau wastafel sesuai dengan postur tubuh anak

7.   Peraturan yang ada disepakati, dikontrol, dan dilaksanakan oleh semua murid.

8.   Memiliki tenaga pengajar yang berpikiran adil, bersemangat, jujur, sopan, inspirator, terampil, dan mendukung.

Kesimpulan

Stop kekerasan terhadap anak bisa tercapai apabila adanya kerja sama yang baik diantara para stakeholder pendidikan untuk menekan, mencegah, dan menangani berbagai kasus kekerasan di sekolah secara adil, dan transparan sehingga berakibat positif bagi siswa dan sekolah.

Penanganan kasus kekerasan di sekolah yang baik akan berdampak pada keseluruhan siswa dan sekolah untuk tidak melakukan lagi kekerasan di sekolah.

Langkah selanjutnya ke arah yang lebih baik dan positif adalah menciptakan sekolah ramah anak sebagaimana dikehendaki oleh Tuhan sendiri supaya tidak ada satu pun dari anak-anakNya yang binasa.

Maka pertanyaan mungkinkah kita bisa menghentikan kekerasan di sekolah? Jawabannya adalah BISA!

Atambua: 08.10.2024

Sumber bacaan:

https://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_di_sekolah

https://www.kompas.com/skola/read/2021/07/28/143816269/sekolah-ramah-anak-pengertian-ciri-ciri-prinsip-dan-standarnya?

unicef.org/indonesia/id/child-protection?gad_source

https://umj.ac.id/opini-1/upaya-baru-dalam-pencegahan-dan-penanganan-kekerasan-di-sekolah/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun