Pemilihan Umum merupakan pesta demokrasi. Pesta adalah sebuah acara sosial yang dimaksudkan terutama sebagai perayaan dan rekreasi. Nah, Pemilihan umum sebagai pesta demokrasi seharusnya dimengerti sebagai suasana yang menyenangkan, menarik dan menggembirakan. Sebuah Perayaan dan rekreatif. Bukan sebaliknya menyedihkan dan menyebabkan dukacita.
Memang terkadang seusai pesta selalu ada korban, karena mabuk pesta. Namun seharusnya bukan itu yang terjadi pada pesta demokrasi kita. Apalagi penyelenggara Pemilu bukanlah orang-orang biasa. Maksudnya KPU sebagai penyelenggara Pemilu Indonesia.
Sudah saatnya memikirkan sebuah model atau gaya pemilu yang mempertimbangkan faktor-faktor kecapaian, kelelahan dari para petugas pemilu.
Rasa-rasanya banyak orang tidak mau terlibat sebagai KPPS karena ketakutan tadi. Karena itu dalam tulisan sangat sederhana ini, penulis mencoba menganalisis sebab-sebab gugurnya para pahlawan pemilu kita.Â
Dan diharapkan pada bagian akhir ditemukan beberapa pikiran solutif agar pengalaman dan peristiwa "Petugas KPPS berguguran" tidak terjadi lagi.
Marilah kita menguraikan bersama-sama sebab-sebab gugurnya para pahlawan pesta demokrasi kita. Setidak-tidaknya menurut analisa penulis, ada 6 (enam) sebab di sini. Saya berharap para pembaca dan Kompasianer bisa menambahkan sejumlah sebab lainnya.
Pertama, Para KPPS sudah berada di bawah tekanan
Dalam arti bahwa para anggota KPPS atau petugas pemilu lainnya itu, sebelum mereka melakukan tugas dan pekerjaan sebagai KPPS atau petugas pemilu, mereka sudah berada di bawah tekanan kerja. Atau semacam ketakutan terselubung yang sudah mereka bayangkan atau dibayangkan pada saat mereka melamar untuk bertugas sebagai KPPS.
Dengan demikian,orang yang bekerja dalam tekanan atau dalam bayang-bayang ketakutan akan menyebabkan ia cepat mengalami 'drop' ketika terjadi sesuatu kejadian diluar jadwal. Misalnya mereka tidak membayangkan sebelumnya bahwa nanti waktu molor, makan terlambat, dan lain-lain. Karena itu, ketika kemudian apa yang tidak dibayangkan itu terjadi, maka sekali lagi bisa menyebabkan korban, termasuk kematian.
Kedua, Adanya  ketakutan membuat kesalahan
Penyebab kedua yang dialami para petugas KPPS kita adalah adanya ketakutan membuat kesalahan. Saya bertanya kepada para anggota KPPS di TPS kami mengenai perasaan mereka saat bekerja. Sebagian besar yang adalah ibu-ibu muda mengatakan bahwa mereka takut membuat kesalahan.
Nah, Orang yang selalu bekerja dalam bayang-bayang takut salah, situasi batinnya tidak aman, tidak tenang. Bila kemudian dipicu oleh satu kesalahan kecil lainnya, sekali lagi ia akan mengalami drop. Di sini patut diwaspadai. Bisa terjadi meninggal secara mendadak.
Ketiga, Beban kerja yang berat
Orang dengan rasa takut salah, takut terhadap adanya tekanan baik dari luar maupun dari dalam, akan memandang pekerjaannya sebagai sesuatu yang sangat berat.
Dan memang menjalankan tugas sebagai KPPS itu suatu tugas yang mulia namun sangat berat. Selain berat karena memang banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, tetapi tekanan itu sendiri sudah memberatkan.
Coba dibayangkan: beberapa hari sebelum pemilu mereka mengikuti pelatihan. Dalam pelatihan itu pasti saja ada harapan-harapan yang diungkapkan supaya bekerja dengan tuntas. Sesudah pelatihan, mereka harus mempersiapkan Tempat Pemungutan Suara (TPS). Di sini mengandalkan kreativitas dan inovasi dari anggota KPPS.
Setelah menyiapkan TPS, mereka harus siap menunggu datangnya atribut adan kelengkapan pemilihan. Sepanjang malam mereka harus berjaga terhadap hal-hal yang tidak diinginkan. Belum lagi membayangkan adanya kecurangan pemilu oleh paslon-paslon atau oknum-oknum tertentu.
Pada waktu pelaksanaan pemilu, mereka harus stand by, bahkan bisa saja makan terlambat. Dari satu tahap selesai, dilanjutkan dengan tahap berikut, menghitung dan mencatat. Harus berdiri agak lama. Dan seterusnya harus menunggu sampai kotak suara sudah diantar ke kantor desa dan lain-lain.
Nah, inilah kerja ekstra yang bukan saja merupakan kesibukan, tetapi tugas maha berat. Belum lagi kalau ada anggota KPPS dengan keluhan bawaan, ya kalau tidak fit maka bisa jadi korban.
Â
Keempat, Ketiadaan waktu untuk istirahat
Mereka, para anggota KPPS tidak punya waktu untuk istirahat, sekali lagi takut ada yang membuat kecurangan atau melakukan hal-hal yang tidak diinginkan dan menyebabkan resiko pada hasil yang harus dipertanggungjawabkan.
Apabila pekerjaan belum tuntas, istirahat sejenak pun rasa tidak bisa. Ada kecenderungan untuk menuntaskan pekerjaan baru istirahat sekalian, katanya.
Kalau ada anggota KPPS yang dengan keluhan darah tinggi atau mach kambuh, maka kita harus bisa menerima kenyataan bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan itu.
Kelima, Kecurangan menjadi momok tersendiri.
Seperti tadi sudah disinggung di atas, kebanyakan anggota KPPS selalu dibayang-bayangi dengan pikiran 'jangan sampai terjadi kecurangan di TPS kami'.
Sekali lagi pekerjaan sebaik apapun dengan jaminan sebaik apapun, tetapi kalau dilakukan dalam bayang-bayang ketakutan akan adanya kecurangan, maka sekali lagi pekerjaan melayani dengan hati tidak akan terwujud sepenuhnya.
Keenam, Faktor Kelelahan
Puncak dari semua sebab dan alasan itu adalah faktor kelelahan. Ada dua macam yaitu kelelahan fisik dan kelelahan psikis/mental.
Kelelahan fisik atau dalam istilah medis disebut  fatique merupakan suatu fenomena fisiologis yaitu proses terjadinya penurunan keadaan toleransi terhadap kinerja fisik. Hal ini menyebabkan orang kesulitan mengerjakan hal-hal yang biasa dilakukan seperti berjalan, dan kurangnya konsentrasi.
Sedangkan kelelahan psikis atau mental adalah kondisi ketika seseorang merasa lelah secara emosional akibat beberapa kondisi, misalnya karena tekanan pekerjaan (www.siloamhospitals.com). Sayang bahwa ada orang yang tidak menyadari bahwa ia sedang mengalami kelelahan mental. Hal ini bisa tidak cepat ditangani dapat menyebabkan kematian.
Inilah 6 (Enam) sebab mengapa para petugas Pemilu kita berguguran seusai melaksanakan tugas negara menyelenggarakan pemilihan umum, pesta demokrasi. Lantas apakah mereka itu dapat disebut sebagai "Pahlawan Demokrasi?"
Beberapa Pemikiran Solutif
Sampai dengan Sabtu (17/2/2024) pukul 18.00 WIB sudah 57 Â jiwa petugas Pemilu 2024 meninggal dunia. Bisa saja sampai dengan hari ini sudah bertambah beberapa jiwa lainnya. Namun sebagai umat beriman kita berdoa supaya korban tidak berjatuhan lagi. Selain itu kita juga berdoa kiranya mereka yang sudah gugur itu diterima disisi Allah yang Maha Kuasa.
Setelah menganalisis sebab-sebab kematian para petugas Pemilu, di sini dibeberkan beberapa pemikiran solutif agar ke depan tidak boleh terjadi lagi kasus atau peristiwa itu
1. Â KPU sebagai penyelenggara Pemilu Indonesia lebih mengedepankan Pemilu sebagai pesta demokrasi sehingga dapat mengurangiÂ
   tekanan pada anggota-anggota KPPS. Perlunya penekanan pada pesta dan rekreasi.
2. Â Sebaiknya sebelum seleksi administrasi calon anggota KPPS perlu dilakukan pemeriksaan kesehatan wajib bagi para petugasÂ
    pemilu, supaya diketahui keluhan atau penyakit bawaan masing-masing.
3. Â Waktu pemilu sebaiknya tidak ditetapkan satu hari saja. Mulai pemungutan suara sampai rekapitulasi suara di TPS diberi waktuÂ
    lebih lama. Sebagai usul, misalnya 4 x 24 jam baru kotak suara diantar ke kantor desa. Dengan menerapkan penjagaan keamananÂ
    yang diperketat.
4. Â Gaji para KPPS ditambah dan anggaran penyelenggaraan Pemilu dinaikkan lagi. Dengan pertimbangan, makan minum paraÂ
    petugas KPPS terjamin baik supaya mereka tidak mengalami dehidrasi karena kecapaian.
5. Â Tiap TPS dilengkapi dengan petugas kesehatan, dalam hal ini dokter sehingga setiap saat petugas KPPS dipantau kesehatannya.
Dengan demikian, korban akhir pemilihan umum tidak bertambah lagi. Sebab lebih baik mencegah daripada mengobati. Karena itu pelaksanaan pemilu yang bermartabat harus diikuti dengan terjaminnya para petugas demokrasi kita.Â
Semoga pemikiran sederhana ini bisa berguna.
Atambua, 20.02.2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H