Mohon tunggu...
Yosef MLHello
Yosef MLHello Mohon Tunggu... Dosen - Bapak Keluarga yang setia. Tinggal di Atambua, perbatasan RI-RDTL

Menulis adalah upaya untuk meninggalkan jejak. Tanpa menulis kita kehilangan jejak

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bagaimana Caranya Merawat Kebudayaan Kita Sendiri di Tengah Globalisasi Ini?

9 Februari 2024   23:01 Diperbarui: 9 Februari 2024   23:02 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rumah adat di TTU (sumber: pos-kupang.com)

Merawat kebudayaan kita sendiri merupakan langkah yang penting dan nyata untuk menjaga dan melestarikan kebudayaan kita sebagai bangsa Indonesia, bangsa yang berbudaya dan yang kaya akan aneka bentuk kebudayaan.

Tahun 1996 untuk pertama kalinya saya terlibat bersama Mgr. Anton Pain Ratu SVD dalam kegiatan khasnya berupa Dialog Budaya bersama masyarakat yang disebutnya Program Khalwat 3 Ber. 

Program khalwat ini diikuti oleh tiga kelompok masyarakat yang disebutnya Tokoh Ber-Pendidikan; Ber-Pengaruh; dan Ber-Kedudukan.

Latar belakang dan Pendasaran

Ada pun pendasaran dari program khalwat 3 Ber ini adalah ensiklik dari Paus Paulus VI. Perlu diketahui bahwa Paus Paulus VI yang nama aslinya Giovanni Battista adalah seorang Italia. 

Beliau menduduki jabatan sebagai pemimpin gereja Katolik sedunia pada 21 Juni 1963 sampai dengan 6 Agustus 1978. 

Pada 26 Maret 1967, Paus Paulus VI mengeluarkan sebuah ensiklik atau surat edaran resmi berjudul "Populorus Progressio" atau yang diterjemahkan dengan Perkembangan Bangsa-bangsa.

Dalam ensiklik tersebut, Paus Paulus VI mengatakan bahwa pembangunan dalam masyarakat bangsa membutuhkan keterlibatan manusia dan setiap kelompok manusia, malahan seluruh umat manusia (no. 14).

Pembangunan manusia seutuhnya merupakan tugas mendesak yang harus dilakukan (no. 29).

Dan supaya segera diambil tindakan-tindakan nyata yang berani menuju perubahan dalam struktur kemasyarakatan.  Perubahan-perubahan yang mendesak haruslah dilaksanakan dengan tidak bertangguh. Tiap orang harus turut serta didalamnya dengan murah hati, khususnya mereka yang ber-pendidikan, berkedudukan, dan berpengaruh memberikan peluang yang besar untuk bertindak (no. 32).

Tiga artikel utama dalam ensiklik Populorum Progressio ini oleh Mgr. Anton Pain Ratu SVD dijadikannya sebagai dasar untuk memulai Dialog Budaya yang diberi nama Khalwat 3 Ber.

Program ini dimulai sejak tahun 1971, ketika beliau masih menjadi Imam muda hingga beliau menjadi Uskup Keuskupan Atambua 1984 sampai tahun 2007.

Mgr. Anton Pain Ratu, SVD merupakan pemerhati kebudayaan Dawan di Timor. Pada hal beliau sendiri bukanlah Orang Timor. Beliau merupakan Putera Adonara, Flores Timur yang menjadi imam dan bertugas sebagai misionaris di Pulau Timor sejak tahun 1959 hingga wafatnya pada 6 Januari 2024.

Perhatiannya pada Kebudayaan Timor, khususnya Budaya Dawan itu dilakukan terutama melalui kefasihannya dalam berbahasa Dawan. Dengan kefasihannya dalam berbahasa Dawan memudahkan beliau untuk belajar dan masuk lebih dalam mengenal dan memahami budaya orang Dawan di Timor.

Ada tiga hal yang selalu menjadi perhatian Mgr. Anton Pain Ratu SVD bersama timnya ketika mengunjungi umat dan masyarakat di kecamatan dan paroki selama hampir 36 tahun.

Ketiga hal itu adalah 1) Dialog Rumah Adat;  2) Urusan Orang Mati; dan 3)Budaya Lingkungan Hidup.

Menurut pandangan beliau, budaya yang positif selalu mengantar dan mengangkat harkat dan martabat manusia. Namun ketika budaya disalahpraktekkan dapat menekan dan menjadi penghambat pembangunan manusia.

Karena itulah Mgr. Anton Pain Ratu SVD melalui program Khalwat 3 Ber-nya itu bermaksud untuk memurnikan budaya orang Dawan dari tekanan dan salah praktek yang bisa menghambat pembangunan itu sendiri.

Pokok Perhatian dalam Khalwat 3 Ber

Mari kita lihat satu persatu dari ketiga hal yang menjadi perhatian Tim Khalwat 3 Ber selama hampir tiga puluh enam tahun itu.

Pertama, Dialog Rumah Adat

Bagi orang Timor, rumah adat merupakan pemersatu dan simbol kesukuan dan persatuan. Pendirian rumah adat tidak sering diselenggarakan. Dalam kurun waktu yang lama baru sebuah rumah adat didirikan atau dipugar kembali. 

Dalam dialog rumah adat itu banyak tokoh adat dihadirkan untuk berdiskusi seputar keberadaan rumah adat dan segala praktek di dalamnya. 

Saking banyaknya persoalan yang dibahas dalam acara dialog rumah adat ini, maka tidak sadar sering dialog terjadi semalam suntuk. Perlu diketahui bahwa dalam dialog rumah adat ini, tim 3 Ber bukan hanya mendengarkan dialog yang disampaikan para penutur adat tetapi terutama tim di bawah pimpinan Uskup Anton memberikan pencerahan kepada para anggota suku yang terlibat dalam diskusi tersebut.

Bisa saja para tokoh yang hadir kurang memahami persoalan yang terjadi. Karena itu kehadiran para tetua adat yang dipandu oleh tim budaya yang baik menghasilkan perubahan yang mendasar bagi suku-suku pemilik rumah adat tersebut.

Namun lain kali juga terjadi salah faham antara tim khalwat pimpinan Uskup Anton dengan para ketua suku atau pemilik rumah adat karena penjelasan yang kurang mendasar dan atau pemahaman yang tidak tuntas akan perubahan pola pikir atau perubahan mindset akibat globalisasi.

Kedua, Budaya orang mati

Dalam kebudayaan Timor, urusan orang mati sering menyebabkan banyak soal. Terutama seperti dikatakan bahwa budaya yang positif selalu membawa perubahan, namun budaya yang negatif sering menjadi penghambat pembangunan. 

Dalam banyak hal, urusan orang mati menghambat pembangunan. Mengapa? Banyak orang dalam hal ini ketua suku sering memanfaatkan kesempatan untuk menekan para anggota suku, terutama anak-anak dari orang yang meninggal dunia itu.

Karena itu sering memakan waktu. Ada orang mati yang disemayamkan berhari-hari. Ada yang seminggu. Ada yang tiga sampai empat hari baru dimakamkan. Alasannya karena adat belum beres.

Di sinilah letak budaya menjadi penghambat pembangunan. Karena itu melalui dialog budaya dalam khalwat 3 Ber ini, para peserta pada akhirnya menyepakati bersama agar segala urusan budaya menyangkut orang mati dapat disederhanakan. Misalnya budaya makan minum selama orang mati itu ditekan supaya tidak terjadi pemborosan. Misalnya hanya diizinkan untuk membunuh paling banyak  3 ekor sapi dan beberapa ekor babi.

Sebelum adanya khalwat 3 Ber, pada saat orang mati banyak hewan dikorbankan bahkan hingga berpuluh-puluh ekor.  Demikian pun waktu untuk penguburan orang mati disepakati paling lama 3 kali 24 jam, sudah harus dimakamkan. 

Ketiga, Budaya Lingkungan Hidup

Ini merupakan sesuatu yang baru. Namun tidak berarti bahwa dalam budaya orang Timor, lingkungan hidup tidak mendapat perhatian. Melalui dialog budaya itu, tim berusaha menggali segala kearifan lokal melalui diskusi bersama ketua-ketua suku dan tokoh adat. 

Dalam budaya orang Timor sebenarnya sudah tertanam upaya menjaga kelestarian lingkungan hidup. Misalnya orang dilarang memetik kelapa muda, mangga yang belum masak,  menebang pohon, sebelum larangan itu diturunkan secara resmi. 

Artinya pada kurun waktu tertentu, sebelum larangan dicabut, orang yang kedapatan melakukan hal yang bertentangan akan mendapatkan hukuman atau denda adat. Melalui dialog budaya itu, kearifan lokal seperti ini dihidupkan kembali. 

Selain itu, orang Timor tidak membedakan antara lingkungan tempat tinggal manusia dengan lingkungan hidup binatang. Demikian pun daerah pertanian dengan daerah peternakan.

Maka melalui dialog budaya itu diputuskan agar mulai memisahkan antara kawasan pertanian dengan kawasan peternakan, sehingga kebun tidak perlu dipagar karena tanaman tidak berpindah tempat. Sedangkan yang harus dipagar atau dikandangkan adalah ternak. Begitu lama pola pikir ini harus diyakinkan sampai orang bersedia menerimanya. Itulah misi perubahan yang dibawa oleh program Khalwat 3 Ber dari Mgr. Anton Pain Ratu, SVD.

Pengaruh Globalisasi

Globalisasi telah mengantarkan orang untuk berpikir global dan bertindak lokal.  Di tengah arus globalisasi, kita perlu memiliki cara-cara tertentu untuk merawat kebudayaan kita. Salah satu cara telah dipraktekkan selama masa hidupnya Mgr. Anton Pain Ratu SVD (1929-2024) bersama tim khalwat 3 Ber-nya (1971-2007).

Terobosan kebudayaan telah dilakukan oleh Mgr. Anton Pain Ratu SVD. Sang pemerhati dan pembawa perubahan budaya bagi orang Timor itu telah pergi.  

Dalam setiap kesempatan dialog budaya, beliau selalu menekankan pentingnya berpikir global jauh ke depan menghadapi kemajuan-kemajuan, namun dalam praktek selalu harus mempertimbangkan kearifan-kearifan lokal yang membantu manusia mencapai perubahan.

Bila praktek budaya itu bertentangan dengan iman Katolik dan pelestarian budaya harus ditinggalkan. Namun bila dalam praktek budaya ada hal-hal positif yang membawa perubahan, itulah yang harus dipertahankan sebagaimana juga diminta oleh ensiklik Paus Paulus VI. 

Perubahan dalam pembangunan dunia ini disponsori oleh tiga kelompok masyarakat itu: Berpendidikan yaitu para guru dan cerdik pandai, Berkedudukan yaitu para pemegang kekuasaan baik pemerintah maupun agama;  dan Berpengaruh yaitu para ketua adat dan para tokoh budaya.

Mampukah kita sebagai generasi penerus budaya, melakukan terobosan-terobosan kebudayaan untuk melestarikan kebudayaan bangsa kita sendiri?

Selamat jalan Mgr. Anton. Terima kasih untuk perubahan mindset dalam budaya.

Atambua, 09.02.2024

Referensi:

Populorum Progressio, Ensiklik Paus Paulus VI

Pastoral 3 Ber, Sejarah analisis dan praksisnya, Mgr. Anton Pain Ratu, SVD

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun