Namun lain kali juga terjadi salah faham antara tim khalwat pimpinan Uskup Anton dengan para ketua suku atau pemilik rumah adat karena penjelasan yang kurang mendasar dan atau pemahaman yang tidak tuntas akan perubahan pola pikir atau perubahan mindset akibat globalisasi.
Kedua, Budaya orang mati
Dalam kebudayaan Timor, urusan orang mati sering menyebabkan banyak soal. Terutama seperti dikatakan bahwa budaya yang positif selalu membawa perubahan, namun budaya yang negatif sering menjadi penghambat pembangunan.Â
Dalam banyak hal, urusan orang mati menghambat pembangunan. Mengapa? Banyak orang dalam hal ini ketua suku sering memanfaatkan kesempatan untuk menekan para anggota suku, terutama anak-anak dari orang yang meninggal dunia itu.
Karena itu sering memakan waktu. Ada orang mati yang disemayamkan berhari-hari. Ada yang seminggu. Ada yang tiga sampai empat hari baru dimakamkan. Alasannya karena adat belum beres.
Di sinilah letak budaya menjadi penghambat pembangunan. Karena itu melalui dialog budaya dalam khalwat 3 Ber ini, para peserta pada akhirnya menyepakati bersama agar segala urusan budaya menyangkut orang mati dapat disederhanakan. Misalnya budaya makan minum selama orang mati itu ditekan supaya tidak terjadi pemborosan. Misalnya hanya diizinkan untuk membunuh paling banyak  3 ekor sapi dan beberapa ekor babi.
Sebelum adanya khalwat 3 Ber, pada saat orang mati banyak hewan dikorbankan bahkan hingga berpuluh-puluh ekor. Â Demikian pun waktu untuk penguburan orang mati disepakati paling lama 3 kali 24 jam, sudah harus dimakamkan.Â
Ketiga, Budaya Lingkungan Hidup
Ini merupakan sesuatu yang baru. Namun tidak berarti bahwa dalam budaya orang Timor, lingkungan hidup tidak mendapat perhatian. Melalui dialog budaya itu, tim berusaha menggali segala kearifan lokal melalui diskusi bersama ketua-ketua suku dan tokoh adat.Â
Dalam budaya orang Timor sebenarnya sudah tertanam upaya menjaga kelestarian lingkungan hidup. Misalnya orang dilarang memetik kelapa muda, mangga yang belum masak, Â menebang pohon, sebelum larangan itu diturunkan secara resmi.Â
Artinya pada kurun waktu tertentu, sebelum larangan dicabut, orang yang kedapatan melakukan hal yang bertentangan akan mendapatkan hukuman atau denda adat. Melalui dialog budaya itu, kearifan lokal seperti ini dihidupkan kembali.Â
Selain itu, orang Timor tidak membedakan antara lingkungan tempat tinggal manusia dengan lingkungan hidup binatang. Demikian pun daerah pertanian dengan daerah peternakan.
Maka melalui dialog budaya itu diputuskan agar mulai memisahkan antara kawasan pertanian dengan kawasan peternakan, sehingga kebun tidak perlu dipagar karena tanaman tidak berpindah tempat. Sedangkan yang harus dipagar atau dikandangkan adalah ternak. Begitu lama pola pikir ini harus diyakinkan sampai orang bersedia menerimanya. Itulah misi perubahan yang dibawa oleh program Khalwat 3 Ber dari Mgr. Anton Pain Ratu, SVD.