Mohon tunggu...
Yosef MLHello
Yosef MLHello Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Bapak Keluarga yang setia. Tinggal di Atambua, perbatasan RI-RDTL

Menulis adalah upaya untuk meninggalkan jejak. Tanpa menulis kita kehilangan jejak

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ritual "Non Pah" di Bikomi, Sebuah Bentuk Pelestarian Budaya

5 Februari 2024   17:41 Diperbarui: 5 Februari 2024   23:13 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pasukan berkuda non pah (sumber: dion bata)

Mungkin kebiasaan ritual  non pah di Bikomi ini merupakan satu-satunya ritual budaya yang masih ada di muka bumi ini. 

Mengapa demikian? Karena praktek budaya yang dilakukan setiap tujuh tahun sekali ini, hanya ada di Pulau Timor, khususnya di kerajaan Bikomi. 

Semua orang tahu bahwa saat ini dunia semakin maju dengan peradaban budaya yang makin global, namun ternyata hal itu tidak memengaruhi masyarakat adat di Kerajaan Bikomi, Timor untuk mempraktekkan ritual adat mereka.

Semua orang tidak dapat menghindar, globalisasi telah menggerus berbagai praktek budaya lokal sehingga banyak masyarakat adat terpaksa meninggalkan praktek budaya mereka dan mengenakan mantel ungu teknologi. 

Namun hal itu tidak berlaku bagi masyarakat adat Bikomi. Praktek ritual non pah yang dilakukan setiap tujuh tahun sekali itu terus dihidupkan dan dilestarikan terus menerus.

Menurut catatan sejarah, pelaksanaan ritual non pah yang terakhir dilaksanakan pada tahun 2017. Sebagai orang yang memiliki minat pada budaya, penulis ikut menelusuri praktek ritual tersebut.

Dan kini melalui topik pilihan "Indonesia Ramah bagi Masyarakat Adat", penulis memaparkannya kepada sidang pembaca sekalian dengan judul tulisan: "Ritual "Non Pah" di Bikomi sebuah bentuk Pelestarian Budaya".

Tulisan sederhana ini akan dibagi dalam lima bagian besar, yaitu yang pertama, pengertian dan arti dari ritual adat non pah ; kedua,  siapa-siapa saja yang terlibat dalam ritual budaya tujuh tahunan ini; ketiga, apa yang menjadi tujuan perjalanan ritual ini, keempat, larangan-larangan yang harus ditaati pada saat upacara non pah; dan kelima, adakah sesuatu yang dapat dipetik dan dimaknai dari praktek ritual budaya tersebut?


Pertama, Pengertian dan arti dari ritual adat non pah

Pertama-tama, penulis mengajak para Kompasianer dan pembaca sekalian untuk mengetahui arti kata non pah dan seluk beluknya.

Non pah merupakan dua kata dalam bahasa Dawan atau Uab Meto yang dipakai oleh hampir sebagian besar penduduk Timor bagian Barat.

Kata "Non" atau "Na non" artinya berkeliling atau berjalan keliling.

Kata "Pah" artinya lokasi, tempat atau wilayah. Maka kata non pah artinya berjalan keliling wilayah atau tempat tertentu. Dalam hal ini wilayah kerajaan Bikomi.

Jadi ritual non pah  artinya suatu praktek ritual budaya  yang terjadi setiap tujuh tahun sekali yang dilakukan oleh masyarakat adat di Kerajaan Bikomi Timor.


Kedua, tokoh-tokoh yang terlibat dalam ritual Non Pah

Praktek ritual adat non pah ini dilakukan oleh para panglima kerajaan (atau para Meo) yang tujuannya adalah untuk mengontrol seluruh wilayah kekuasaan kerajaan Bikomi. 

Menurut Bapak Yohanes Sanak , seorang tokoh pemerhati adat Bikomi, upacara non pah ini biasanya dilakukan oleh sekelompok pasukan berkuda yaitu para Meo = panglima perang. 

Dalam ritual non pah itu mereka membawa keris atau pedang pusaka warisan kerajaan Bikomi yang disebut Suni tap mese nes hitu, artinya pedang bersarung satu bermata tujuh.

Para meo pasukan kuda itu membawa pedang bermata tujuh itu mengelilingi beberapa titik singgah yang merupakan representasi dari seluruh wilayah kerajaan Bikomi. 


Ketiga, Tujuan atau maksud perjalanan ritual non pah

Ada pun maksud dan tujuan utama non pah ini sangat luhur dan mulia, yaitu:

satu: sebagai pemberian berkat agung dari leluhur kerajaan yang diyakini oleh orang Bikomi bahwa ketika pasukan berkuda dengan mengenakan assesoris budaya lengkap dan membawa pedang bermata tujuh itu, sang amo'et -apakaet, apinat - aklaat  (dalam masyarakat agama disebut Tuhan/Allah) akan menurunkan berkat kepada seluruh rakyat Bikomi. 

Dua: perjalanan mengelilingi seluruh wilayah kerajaan Bikomi bertujuan untuk mengetahui sejauh mana seluruh masyarakat adat Bikomi sedang baik-baik saja. 

Biasanya waktu untuk non pah itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Waktu yang ditentukan untuk non pah itu biasanya pada bulan Januari, awal tahun, di mana pada saat itu sebagian wilayah kerajaan Bikomi masih mengalami kekeringan. 

Dan menurut kepercayaan orang Bikomi, pada saat para pasukan berkuda yang ditunggangi oleh para meo itu melewati suatu wilayah tertentu, hujan pun akan turun seakan-akan mengikuti jejak tapak pasukan meo tersebut.

Anehnya, bahwa sesuai cerita-cerita yang berkembang hingga saat ini, para tetua adat menuturkan bahwa faktanya memang demikian. Pengalaman tahun 2024 yang baru terjadi sepekan yang lalu, juga terjadi persis seperti pada tahun 2017. 

"Ketika pasukan berkuda sudah tiba di sebuah lokasi bernama Matbes, pada sore hanya hujan deras tuurun mengguyur di sekitar Naen, dan seterusnya", tulis seseorang pada akun facebooknya.


Keempat, larangan-larangan yang harus ditaati

Menurut cerita masyarakat Bikomi di sekitar Sonaf (=istana kerajaan Bikomi) di Maslete, Kefamenanu Selatan, pada saat pasukan berkuda mulai berangkat, semua orang yang ada di sekitar sonaf harus mengambil sikap penuh hormat dengan posisi duduk atau jongkok dan menunduk. 

Orang dilarang berdiri pada saat pasukan non pah keluar. Tidak boleh memandang ke kuda-kuda itu, terutama kuda yang membawa pedang bermata tujuh itu, tetapi sebaliknya harus tunduk.

Demikian pun pada masyarakat dihimbau untuk berhati-hati melewati tempat-tempat persinggahan dari pasukan non pah itu supaya tidak berpapasan dengannya di jalan. 

Hal ini tentu menyebabkan ketakutan pada masyarakat Bikomi setiap saat mendengar bahwa ritual non pah akan dilakukan, para orang tua akan menakut-nakuti anak-anak, seakan-akan kalau berpapasan dengan rombongan pasukan berkuda itu akan menyebabkan 'orang mati' atau 'gila'! Dan hal tersebut menyebabkan trauma tersendiri dalam masyarakat Bikomi.

Ilustrasi non pah tahun 2024 (sumber: Frid Mnune Bani, FB)
Ilustrasi non pah tahun 2024 (sumber: Frid Mnune Bani, FB)

Kelima, Makna yang dapat dipetik dari praktek  ritual non pah ini.

Sebagai sebuah ritual budaya, tentu saja praktek ini baik untuk dilaksanakan dan dipraktekkan seterusnya. Pertanyaannya adalah adakah sesuatu makna positif yang dapat dipetik dari praktek ritual non pah ini?

Menurut penulis, ada beberapa makna positif dapat kita petik, terutama di zaman globalisasi ini:

satu: Ritual non pah sebagai sesuatu ritual budaya yang baik, sejauh tidak bertentangan dengan norma-norma budaya dan kemasyarakatan, tentu harus terus dipertahankan sebagai praktek baik dalam masyarakat. Dengan terus melaksanakannya sebagai sebuah ritual budaya, artinya kita terus melestarikannya.

Dua: Sebagai suatu praktek baik dari kebudayaan, ritual non pah bermakna controlling. Artinya setiap tujuh tahun sekali, pasukan berkuda dari Sonaf Maslete (Raja Bikomi) mengunjungi rakyatnya sebagai tanda mengayomi seluruh masyarakat adatnya. Untuk itu tentu baik kalau terus dipertahankan.

Tiga: Bermakna berkat. Dengan membawa pedang bermata tujuh, seakan-akan pasukan berkuda itu membawa serta berkat dari para leluhur yang diyakini sebagai amo'et apakaet -apinat aklaat (sang pencipta pembawa terang). 

Empat: Pada zaman globalisasi ini ketika sebuah praktek budaya yang baik masih dipertahankan sebagai suatu bentuk pelestarian budaya, tentu ini merupakan kearifan lokal yang harus dipertahankan, sambil terus menerus dimurnikan dari praktek penyembahan berhala atau sinkretisme agama dan budaya. 

Maka sebuah usul konkret, mungkin alangkah baiknya praktek non pah ini dikemas dengan lebih baik agar menjadi sebuah wisata budaya sehingga menarik bagi para wisatawan sehingga tidak hanya berguna bagi masyarakat setempat, tetapi juga mendatangkan income bagi daerah. Baiklah kalau Pemerintah Daerah Kabupaten TTU bidang Pariwisata bisa melirik ritual ini untuk dikembangkan dengan lebih baik, tanpa mengurangi nilai-nilai budaya yang terkandung didalamnya.

Akhirnya "Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya". Setiap masyarakat dan daerah memiliki praktek budayanya masing-masing yang apabila terus dipertahankan akan semakin memperkaya khazanah budaya dan menjadikan praktek budaya kita semakin bermakna menghidupkan hak masyarakat adat.

Demikian pun hidup kita akan semakin bermakna apabila kita semakin diperkaya dengan berbagai praktek baik dari kearifan lokal masing-masing daerah.

Semoga ulasan sederhana ini ikut menambah khazanah budaya daerah kita masing-masing. Semoga bermanfaat.

Atambua, 05.02.2024

Referensi:

Yohanes Sanak, Kerajaan Bikomi dan Budaya Puah Manus dalam Relasi Kuasa Usif-Amaf, Seven Books, Jakarta 2020

Andreas Tefa Sawu, Di Bawah Naungan Gunung Mutis, Nusa Indah, Ende 2004

https://www.dionbata.com/2017/02/tradisi-non-pah-di-kabupaten-ttu.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun