Mohon tunggu...
Yosef MLHello
Yosef MLHello Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Bapak Keluarga yang setia. Tinggal di Atambua, perbatasan RI-RDTL

Menulis adalah upaya untuk meninggalkan jejak. Tanpa menulis kita kehilangan jejak

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ritual "Non Pah" di Bikomi, Sebuah Bentuk Pelestarian Budaya

5 Februari 2024   17:41 Diperbarui: 5 Februari 2024   23:13 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pasukan berkuda non pah (sumber: dion bata)

Dan menurut kepercayaan orang Bikomi, pada saat para pasukan berkuda yang ditunggangi oleh para meo itu melewati suatu wilayah tertentu, hujan pun akan turun seakan-akan mengikuti jejak tapak pasukan meo tersebut.

Anehnya, bahwa sesuai cerita-cerita yang berkembang hingga saat ini, para tetua adat menuturkan bahwa faktanya memang demikian. Pengalaman tahun 2024 yang baru terjadi sepekan yang lalu, juga terjadi persis seperti pada tahun 2017. 

"Ketika pasukan berkuda sudah tiba di sebuah lokasi bernama Matbes, pada sore hanya hujan deras tuurun mengguyur di sekitar Naen, dan seterusnya", tulis seseorang pada akun facebooknya.


Keempat, larangan-larangan yang harus ditaati

Menurut cerita masyarakat Bikomi di sekitar Sonaf (=istana kerajaan Bikomi) di Maslete, Kefamenanu Selatan, pada saat pasukan berkuda mulai berangkat, semua orang yang ada di sekitar sonaf harus mengambil sikap penuh hormat dengan posisi duduk atau jongkok dan menunduk. 

Orang dilarang berdiri pada saat pasukan non pah keluar. Tidak boleh memandang ke kuda-kuda itu, terutama kuda yang membawa pedang bermata tujuh itu, tetapi sebaliknya harus tunduk.

Demikian pun pada masyarakat dihimbau untuk berhati-hati melewati tempat-tempat persinggahan dari pasukan non pah itu supaya tidak berpapasan dengannya di jalan. 

Hal ini tentu menyebabkan ketakutan pada masyarakat Bikomi setiap saat mendengar bahwa ritual non pah akan dilakukan, para orang tua akan menakut-nakuti anak-anak, seakan-akan kalau berpapasan dengan rombongan pasukan berkuda itu akan menyebabkan 'orang mati' atau 'gila'! Dan hal tersebut menyebabkan trauma tersendiri dalam masyarakat Bikomi.

Ilustrasi non pah tahun 2024 (sumber: Frid Mnune Bani, FB)
Ilustrasi non pah tahun 2024 (sumber: Frid Mnune Bani, FB)

Kelima, Makna yang dapat dipetik dari praktek  ritual non pah ini.

Sebagai sebuah ritual budaya, tentu saja praktek ini baik untuk dilaksanakan dan dipraktekkan seterusnya. Pertanyaannya adalah adakah sesuatu makna positif yang dapat dipetik dari praktek ritual non pah ini?

Menurut penulis, ada beberapa makna positif dapat kita petik, terutama di zaman globalisasi ini:

satu: Ritual non pah sebagai sesuatu ritual budaya yang baik, sejauh tidak bertentangan dengan norma-norma budaya dan kemasyarakatan, tentu harus terus dipertahankan sebagai praktek baik dalam masyarakat. Dengan terus melaksanakannya sebagai sebuah ritual budaya, artinya kita terus melestarikannya.

Dua: Sebagai suatu praktek baik dari kebudayaan, ritual non pah bermakna controlling. Artinya setiap tujuh tahun sekali, pasukan berkuda dari Sonaf Maslete (Raja Bikomi) mengunjungi rakyatnya sebagai tanda mengayomi seluruh masyarakat adatnya. Untuk itu tentu baik kalau terus dipertahankan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun