Jadi pilihan untuk tidak kawin bagi seorang imam adalah gambaran kebahagiaan sejati dan kekal dalam kehidupan surgawi di mana orang 'tidak kawin dan dikawinkan' (Mrk 12:25).
Mengapa Seorang imam Katolik tidak boleh terlibat dalam politik praktis?
Aristoteles menyebut manusia sebagai zoon politicon, makhluk yang berpolitik. Â Tujuan politik adalah demi terwujudnya kebaikan umum (bonum commune).
Demikian pun seorang imam memiliki hak politik dan sekaligus memiliki kewajiban politik yaitu terlibat aktif dalam politik melalui upaya sadar dan bertanggungjawab dalam perjuangan bonum commune (Kan.747.$2).
Dalam arti sempit, politik itu merupakan strategi untuk mendapatkan kekuasaan secara legitim.Â
Jadi di satu pihak seorang imam Katolik memiliki hak politik, namun Gereja Katolik mengatur hak politik seorang imam itu secara khusus lagi.
Dalam KHK Kan.287.$2 mengatakan, 'para imam dilarang untuk turut ambil bagian aktif dalam partai politik dan dalam kepemimpinan serikat-serikat buruh, kecuali jika menurut penilaian otoritas gerejawi yang berwewenang hal itu perlu untuk melindungi hak-hak gereja atau memajukan kesejahteraan umum'.
Seorang imam Katolik tidak boleh terlibat dalam politik praktis karena politik praktis berhubungan dengan kekuasaan dan kepemimpinan. Kalau seorang imam terlibat dalam hal urusan kekuasaan dan kepemimpinan, maka dengan sendirinya ia akan berhadapan dengan umatnya sendiri untuk merebut kekuasaan dan kedudukan.
Dalam hal yang demikian, imam tidak diperkenankan untuk terlibat dalam dalam politik praktis karena:
1) Â Bila imam terilbat dalam politik praktis, dalam hal merebut kekuasaan dan kepemimpinan, imam akan memecah belah umatnya atau bahkan melawan umatnya sendiri.
2) Imam tidak boleh terlibat langsung dalam urusan partai politik karena partai politik berurusan dengan politik kepentingan. Dalam hal ini seorang imam Katolik tidak diperolehkan menyatakan pilihannya di depan umatnya karena berlaku prinsip, seorang imam harus menjadi a strong sign of unity.
3) Seorang imam tidak boleh terlibat dalam politik praktis dan kepemimpinan serikat-serikat buruh karena Gereja menghendaki imam sebagai public figures sehingga lebih dapat diandalkan. Tugasnya adalah mendamaikan dan merukunkan tanpa diskriminasi.
Dalam hal ini, Gereja tentu saja sudah berpikir sangat jauh dan adil. Politik sejatinya demi kepentingan umum, bahkan politik merupakan salah satu sarana keselamatan. Namun tidak jarang politik diselewengkan dari arti dan fungsinya yang sebenarnya.Â
Karena itulah maka Gereja melarang keterlibatan imam dalam politik praktis, pertama, demi menjaga dan mempertahankan eksistensi Gereja sebagai lembaga keselamatan (kesejahteraan umum), dan kedua, demi menjaga dan mempertahankan fungsi imamat dan panggilan seorang imam.