Semoga kedua hamba-Nya itu masih sehat-sehat. "Berkat jasamu, penulis bisa menyelesaikan S2 Teologi pada waktunya. Dan saat ini boleh menuliskan kisah cinta bersamamu di media ini".
Terima kasih kepada Kompasiana yang memungkinkan kisah ini bisa kutuliskan di sini.
Dari pengalaman menarik selama dua tahun berada di kota Jogja dan selama itu pula penulis mengalami kebaikan hati pemilik warung makan yang hampir tak kuingat lagi berapa banyak warung makan yang pernah disinggahi.Â
Tapi tidak semua warung itu bisa disinggahi bila dompet mulai kosong. Sudah pasti hanya warung makan milik pak Eddy dan Bu Yuli yang menerima 'curhatan' karena belum ada kiriman yang masuk di rekening.Â
Jadi betapa besar jasa warung makan pak Eddy dan Bu Yuli bagi penulis secara pribadi dan keluarga. Merekalah penjasa yang berada di belakang layar kehidupan penulis dan mungkin mereka yang lain yang pernah singgah dan mengalami kebaikan hatinya.
Dari pengalaman ini, penulis menarik beberapa makna dan sekaligus memberikan pesan kepada adik-adik dan anak-anakku yang kini sedang dan akan merantau untuk mengais ilmu di mana saja, sebagai berikut:
Pertama, Bawalah Dirimu sebaik-baiknya di daerah/kota orang
Ini merupakan permata utama yang harus dimiliki bila berada di daerah atau kota orang. Membawa diri yang baik menjadi modal atau kekuatan utama seseorang. Ketika tiba di kost atau kontrakan, jangan lupa melaporkan diri atau memperkenalkan diri kepada kepala wilayah (RT) dan tetangga di sekitar kos atau tempat tinggal.Â
Jagalah ketenangan. Jangan ikut melakukan berbagai aktivitas yang mengganggu keamanan orang lain. Dengan itu anda akan diterima dan diakui sebagai warga di tempat itu. Kitab Suci mengatakan bahwa apabila anda diterima di situ, makanlah apa saja yang dihidangkan kepadamu.
Kedua, Jangan lupa bersosialisasi dengan warga di sekitar
Ketika berada di Yogyakarta selama dua tahun, penulis merasa sangat aman dan nyaman. Mungkin itulah situasi kota Jogja saat itu. Mudah-mudahan sampai saat ini pun demikian. Penulis banyak kali memilih berjalan kaki dari Malioboro menuju Jakal. Di sepanjang jalan dapat menyapa dan sekedar 'say hello' dengan bapak-bapak yang mendorong becak, ibu-ibu yang berada di pinggir jalan.
Hanya satu hal yang kurang pada penulis, yaitu tidak bisa berbahasa Jawa. Banyak kali para mbah dan mbok menyapa penulis dengan bahasa Jawa, namun penulis menjawab atau membalasnya dengan bahasa Indonesia.Â