Dulu kira-kira pada tahun 1960-an, ketika Bengkel SVD Timor di Nenuk mulai dibuka oleh para bruder dari Misionaris Societas Verbi Divini  (SVD) alias Serikat Sabda Allah, ada beberapa pendatang dari luar Belu untuk mencari pekerjaan di Bengkel Misi Nenuk.
Pada waktu itu, Bengkel Misi Nenuk membutuhkan Batu Bata yang akan dipakai untuk pembangunan gedung-gedung Misi. Batu Bata itu terbuat dari tanah liat yang dicampur dengan pasir halus, dibentuk menggunakan 'mal', setelah kering dibakar dalam oven menggunakan kayu bakar sehingga kemudian menjadi "Batu Merah" yang dipakai untuk pembangunan tembok rumah.
Kampung yang terletak persis di belakang Bengkel Misi SVD Nenuk itu memiliki warna tanah liat yang cocok untuk menjadi tempat pembuatan batu bata itu. Maka kemudian, hampir semua yang tinggal di tempat ini berprofesi sebagai 'tukang batu bata".
Mereka yang mengerjakan batu bata itu tidak semuanya menggunakan bahasa yang sama karena mereka berasal dari tempat asal yang berbeda-beda.
Bagi mereka yang berasal dari daerah Timor Tengah Utara (TTU) yang berbahasa Dawan (Uab Meto) menyebut batu batu itu dengan sebutan "Fatu Mtasa". Fatu berarti Batu; Mtasa berarti Merah. Sedangkan mereka yang berasal dari Belu dan Malaka yang berbahasa Tetun menyebut batu bata itu dengan sebutan "Fatuk Mean". Fatuk  berarti Batu; Mean berarti Merah.
Dua kelompok pekerja batu bata ini masing-masing mempertahankan bahasanya. Malah dikisahkan bahwa mereka hampir-hampir saja bertengkar perihal sebutannya masing-masing terhadap batu bata yang mereka buat itu.Â
Maka suatu sore, seorang Bruder pemimpin Bengkel Nenuk itu berjalan-jalan ke tempat pembuatan batu batu itu. Sesampainya di tempat para pembuat atau pencetak batu bata itu, beliau langsung menyebutnya dengan "Batu Merah".
Mulai saat itu, para pencetak batu bata itu menyebutnya "Batu Merah". Lama-lama semakin banyak orang datang untuk menjadi pekerja atau pencetak batu merah. Bersamaan dengan itu para pekerja juga masih berusaha belajar Bahasa Indonesia. Maka, ketika orang bertanya, "Kamu tinggal di mana?" Mereka spontan mengatakan, "Batu Merah".
Akhirnya nama "Batu Merah" makin dikenal dan menjadi nama yang keren bagi Kampung yang mula-mula hanya terdiri dari para tukang pencetak "Batu Merah", kini menjadi nama bagi dua dusun dan lingkungan yang diberi nama "Batu Merah A" dan "Batu Merah B" dari Desa Naekasa di Kecamatan Tasifeto Barat, Kabupaten Belu, Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Pilihan nama jatuh pada 'Batu Merah', bukan lagi "Fatuk Mean" atau "Fatu Mtasa" yang menunjukkan sebuah rasa nasionalisme Indonesia, bukan sukuis dan kedaerahan. Maka Kampung Batu Merah menjadi sangat terbuka kepada siapa saja yang mau menjadi warganya.