Sore itu jalanan di kampung Batu Merah lagi sepi. Anak-anak bermain bola sampai di jalanan. Seakan-akan tidak ada sesuatu yang menghalangi mereka. Tiba-tiba dari sudut jalan muncul sebuah mikrolet bertuliskan nama 'Otomotif", sedang meluncur datang, seakan-akan membubarkan permainan anak-anak kampung.
Dari salon dan speaker mikrolet yang tidak asing lagi bagi anak-anak Batu Merah terdengar sebuah tembang lawas "Cinta Sakota 2" yang dilantunkan oleh penyanyi Ambon Manise Mitha Talahatu, dengan lirik lengkap sebagai berikut:
 Lirik :
Cinta yang skarang katong dua punya
Su seng bisa pisah
Kota Ambon saja yang jadi saksi
Katong pung cinta nyong ee...
## Rindu deng ale sama yang pernah
Katong dolo-dolo
Kenangan indah carita cinta
Di sudut Kota Ambon..
Reff.Â
Katong dua sakota deng motor metik
Lewat tanah lapang kacil
Mampir dudu di Pantai Losari
Ku menyanyi su bilang cinta
Kanal ta iris katong pung hati
Sio nyong ee.. akang sama
Deng dong manyanyi..
Iko jalur mardika ka tantui
Itu tampa yang paleng romantis
Lampu lima tarus ka anjungan
Nyong bilang Beta polo rapat..
Katong pung cinta akang su damai
Bajalang lurus
Turun-turun Batu Merah...
Ketika mendengar kata-kata "Batu Merah", seorang anak muda spontan berteriak, "Awi, ini kita pung lagu e, soalnya bilang 'turun-turun Batu Merah'.
Dari pernyataan anak muda di atas, penulis ingin mengulas tentang asal-usul nama 'Batu Merah' yaitu nama sebuah kampung yang terletak persisi di Batas Kota, kira-kira Sembilan (9) kilometre dari Kota Perbatasan Atambua. Tentu saja nama Batu Merah ini berbeda dengan 'Batu Merah' yang dimaksudkan Mitha Talahatu dalam lagunya itu.
Asal Usul Nama Batu Merah.
Menurut cerita yang pernah penulis dengar dari seseorang yang boleh dikatakan sebagai sesepuh di kampung ini yang bernama Markus Obesi (almarhum), sebenarnya kampung yang kami tinggali sekarang ini bukanlah bernama seperti ini. Melainkan namanya seperti yang sekarang dipakai sebagai nama jalan ke SMAN 2 Tasifeto Barat yaitu Nenuk Oan Babinu.
"Lalu mengapa bukan nama itu yang dipakai tetapi nama Batu Merah?"
Dikisahkan bahwa nama "Batu Merah" tidak bisa terlepas dari perkembangan misi Katolik di Nenuk, Timor.
Dulu kira-kira pada tahun 1960-an, ketika Bengkel SVD Timor di Nenuk mulai dibuka oleh para bruder dari Misionaris Societas Verbi Divini  (SVD) alias Serikat Sabda Allah, ada beberapa pendatang dari luar Belu untuk mencari pekerjaan di Bengkel Misi Nenuk.
Pada waktu itu, Bengkel Misi Nenuk membutuhkan Batu Bata yang akan dipakai untuk pembangunan gedung-gedung Misi. Batu Bata itu terbuat dari tanah liat yang dicampur dengan pasir halus, dibentuk menggunakan 'mal', setelah kering dibakar dalam oven menggunakan kayu bakar sehingga kemudian menjadi "Batu Merah" yang dipakai untuk pembangunan tembok rumah.
Kampung yang terletak persis di belakang Bengkel Misi SVD Nenuk itu memiliki warna tanah liat yang cocok untuk menjadi tempat pembuatan batu bata itu. Maka kemudian, hampir semua yang tinggal di tempat ini berprofesi sebagai 'tukang batu bata".
Mereka yang mengerjakan batu bata itu tidak semuanya menggunakan bahasa yang sama karena mereka berasal dari tempat asal yang berbeda-beda.
Bagi mereka yang berasal dari daerah Timor Tengah Utara (TTU) yang berbahasa Dawan (Uab Meto) menyebut batu batu itu dengan sebutan "Fatu Mtasa". Fatu berarti Batu; Mtasa berarti Merah. Sedangkan mereka yang berasal dari Belu dan Malaka yang berbahasa Tetun menyebut batu bata itu dengan sebutan "Fatuk Mean". Fatuk  berarti Batu; Mean berarti Merah.
Dua kelompok pekerja batu bata ini masing-masing mempertahankan bahasanya. Malah dikisahkan bahwa mereka hampir-hampir saja bertengkar perihal sebutannya masing-masing terhadap batu bata yang mereka buat itu.Â
Maka suatu sore, seorang Bruder pemimpin Bengkel Nenuk itu berjalan-jalan ke tempat pembuatan batu batu itu. Sesampainya di tempat para pembuat atau pencetak batu bata itu, beliau langsung menyebutnya dengan "Batu Merah".
Mulai saat itu, para pencetak batu bata itu menyebutnya "Batu Merah". Lama-lama semakin banyak orang datang untuk menjadi pekerja atau pencetak batu merah. Bersamaan dengan itu para pekerja juga masih berusaha belajar Bahasa Indonesia. Maka, ketika orang bertanya, "Kamu tinggal di mana?" Mereka spontan mengatakan, "Batu Merah".
Akhirnya nama "Batu Merah" makin dikenal dan menjadi nama yang keren bagi Kampung yang mula-mula hanya terdiri dari para tukang pencetak "Batu Merah", kini menjadi nama bagi dua dusun dan lingkungan yang diberi nama "Batu Merah A" dan "Batu Merah B" dari Desa Naekasa di Kecamatan Tasifeto Barat, Kabupaten Belu, Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Pilihan nama jatuh pada 'Batu Merah', bukan lagi "Fatuk Mean" atau "Fatu Mtasa" yang menunjukkan sebuah rasa nasionalisme Indonesia, bukan sukuis dan kedaerahan. Maka Kampung Batu Merah menjadi sangat terbuka kepada siapa saja yang mau menjadi warganya.
Kini Kampung Batu Merah telah menjadi semikota yang terletak persis di Batas Kota, memiliki fasilitas pendidikan yang lengkap mulai dari PAUD, SD, SMP dan SMA.
Itulah arti sebuah nama. Nama menunjukkan identitas. Masyarakat Batu Merah terdiri dari aneka suku bangsa dan Bahasa. Ada orang Jawa, Sumba, Flores. Ada juga suku Tetun, Dawan, Bunaq; Rote; Manggarai, dan lain-lain. Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda, tetapi satu, itulah Batu Merah -- Indonesia.
Demikianlah asal-usul nama Batu Merah di Kabupaten Belu, Timor yang tentu saja sangat berbeda dan tidak dimaksudkan oleh Mitha Talahatu dalam lagunya itu. Namun tak kenal, maka tak sayang.
Terimakasih kepada Mitha Talahatu yang melalui lirik lagunya itu mengantarkan penulis untuk menguraikan asal usul nama Kampung Batu Merah di Kompasiana ini. Tuhan Memberkati!
Atambua: 27.08.2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H