Mohon tunggu...
Yose Bataona
Yose Bataona Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penulis bermukim di Nusa Tenggara Timur

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menarasikan Sorgum, Melestarikan Pangan Lokal

11 Juli 2023   13:13 Diperbarui: 11 Juli 2023   13:18 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul: Sorgum: Benih Leluhur untuk Masa Depan 

Penulis: Ahmad Arif

Jumah halaman: xix + 149 

Tahun terbit: 2020 

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

Orang Indonesia belum kenyang kalau belum makan nasi. Suatu ungkapan yang sulit kita pungkiri. Walau sudah melahap banyak menu, rasanya ada yang kurang kalau tanpa sepiring nasi. 

Saat ini nasi telah menjadi andalan sumber karbohidrat sehari-hari. Tengok saja dari Sabang sampai Merauke semua orang sudah dan sedang mengonsumsi nasi. 

Namun, di negeri agraris seluas ini mengapa kita bergantung hanya pada nasi? Bagaimana jika terjadi kelangkaan beras atau krisis iklim berkepanjangan? Apakah tak ada alternatif sumber pangan yang lain? 

Buku Sorgum: Benih Leluhur untuk Masa Depan, dapat membantu kita menjawab rangkaian pertanyaan di atas. Buku ini menarasikan sejarah, budaya, dan praktik nyata para pejuang pangan lokal sorgum. 

Sorgum Warisan Luhur yang Terlupakan

Sorgum (Sorghum bicolor [L.] Moench) merupakan serealia utama kelima di dunia dalam hal produksi dan luas panen. Sorgum juga merupakan tanaman serbaguna. Selain sebagai biji-bijian kaya karbohidrat dan aneka nutrisi baik, batang sorgum dapat menjadi pakan hewan bahkan ada jenis khusus yang dimanfaatkan untuk industri gula dan bahan bakar etanol (hlm. 7).

Secara sepintas tanaman sorgum terlihat seperti tumbuhan jagung. Namun, adanya buliran malai menjadi pembeda tanaman serealia ini. Di dalam buku turut ditampilkan gambar ilustrasi dan beragam foto agar kita semakin mengenal sorgum serta aneka produk olahannya.

Menariknya di dalam buku ini dipaparkan juga bahwa tanaman sorgum merupakan salah satu ragam tanaman biji-bijian yang terpahat dalam relief Candi Borobudur di Jawa Tengah (hlm.23). Adanya sorgum pada relief candi yang dibangun pada abad ke-9, menandaskan sejarah panjang pangan lokal ini di nusantara. 

Tanda lainnya yang menunjukkan lokalitas sorgum ialah beragam nama daerahnya. Seperti di Sunda (gandrung, degem, kumpay), Jawa (cantel, jagomutri), Madura (oncer), Minangkabau (garai), Melayu (battari), Makassar (batar, batara tojeng), Flores (wata belolong, wata solor), Sumba (watar hamu, watar willi), Timor (batar ainaruk, penmina, penbuka).

Hanya saja meski memiliki jejak sejarah dan kultural yang panjang, mengapa sorgum seakan terasing dari meja makan kita? Mengapa sorgum yang merupakan warisan leluhur telah terlupakan? 

Di dalam Bab 2, akar dari persoalan ini dirunutkan oleh Ahmad Arif. Demikian tulisannya: terpinggirkannya sorgum secara sosial tidak bisa dilepaskan dari kebijakan Orde Baru, yang menempatkan beras sebagai satu-satunya pangan pokok dan yang lainnya tak lebih sebagai tambahan saja (hlm. 37). 

Kebijakan program swasembada pangan yang memprioritaskan tanaman padi (beras) berdampak terhadap penurunan areal pertanaman sorgum. Alhasil lahan-lahan yang semula untuk sorgum dialihkan untuk penanaman padi, jagung, dan kedelai demi kebutuhan pangan nasional (hlm. 38). 

Penulis melihat bahwa menumpukan kebutuhan pangan nasional hanya pada beras jelas berisiko. Produksi padi per hektar saat ini sudah maksimal--akan sulit ditingkatkan lagi, bahkan berpeluang turun dengan beragam serangan hama (hlm. 65). 

Oleh karena itu, kita membutuhkan suatu kebijakan pangan berbasis keragaman nusantara. Kebijakan yang menjunjung wawasan ekologis, aspek sosial, serta budaya setempat. Demikianlah kehadiran sorgum menjadi solusi alternatif. 

Penulis membahas hal ini dalam Bab 5 tentang inisiatif dan geliat dari Flores. Ia menggambarkan perjuangan para petani dan pelestari benih sorgum. Secara khusus ia menarasikan manfaat dan dampak baik dari sorgum dalam empat pokok antara lain, narasi iklim, narasi ekonomi, narasi budaya, dan narasi kesehatan. 

Pada bagian ini dideskripsikan Desa Kawalelo, Flores Timur sebagai contoh keberhasilan penanaman sorgum. Di desa dengan lahan berbatu dan panas ekstrim ini sorgum mampu bertumbuh subur. Tentu keberhasilan ini dapat menjadi model bagi daerah lain dalam pengembangan sorgum khususnya di NTT.

Provinsi NTT sebagai wilayah dengan musim kemarau panjang, berlahan marginal, dan minim curah hujan amat cocok untuk penanaman sorgum. Selain itu, sorgum yang mengandung karbohidrat kompleks dan kaya nutrisi baik terbukti mampu mengurangi angka gizi buruk. 

Walau mengusung sorgum sebagai topik utama, buku ini turut mengkaji aneka problem nan kompleks di balik isu pangan lokal. Apalagi penulis sebagai seorang wartawan, berhasil meramu pokok pemikiran begitu detail dengan sajian jurnalisme sastrawi yang khas.

Akhirnya, buku ini amat disarankan bagi setiap orang yang terpanggil sebagai pegiat dan pejuang sorgum. Buku ini mengundang kita semua untuk mempelajari dan semakin mencintai pangan lokal. Dengan mendalami setiap narasi sorgum kita turut terlibat dalam melestarikan pangan lokal nusantara. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun