Mohon tunggu...
Yose Bataona
Yose Bataona Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penulis bermukim di Nusa Tenggara Timur

Selanjutnya

Tutup

Book

Ketika Sukma yang Malang Pulang ke Kampung Halaman

27 Desember 2022   10:37 Diperbarui: 27 Desember 2022   10:48 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto: Penerbit BasaBasi)

(Catatan Kecil atas Novel Dalam Pelukan Rahim Tanah karya Jemmy Piran)

"Hujan batu di negri sendiri, hujan emas di negri orang" demikianlah pepatah yang terekam jelas sejak masa kecil saya. Tentunya pepatah ini juga dikenal oleh banyak orang hingga masa kini. Nah, apakah pepatah ini yang membuat tidak hanya orang-orang di dunia nyata tetapi juga para tokoh fiktif dalam novel untuk pergi mengadu nasib di tanah orang?

Pertanyaan reflektif di atas muncul ketika saya membaca novel Dalam Pelukan Rahim Tanah karya Jemmy Piran. Novel yang diterbitkan Basabasi pada 2021 ini, mengusung isu sentral yakni perdagangan manusia (human trafficking) di NTT.

Dalam pandangan saya karya sastra perlu mengangkat realitas problem sosial. Karya sastra demikian menjadi tanda keberpihakan penulis terhadap kelompok marjinal yang acapkali tidak diperhatikan. Demikianlah Jemmy Piran melalui novelnya hendak menyuarakan ketidakadilan sosial yang dialami kaum-kaum marjinal.

Sastra yang Kontekstual
Sastra kontekstual seturut Ensiklopedia Sastra Indonesia merupakan sastra yang menyuarakan manusia dan persoalan zamannya atau yang mengungkapkan konteks zamannya. Dalam sastra kontekstual, tercermin realitas zaman dan kehidupan sosial yang bersangkutan.

Menurut saya karya Jemmy Piran tergolong sebagai sastra kontekstual karena mencerminkan realita human trafficking yang menjadi persoalan aktual. Kasus yang marak terjadi di wilayah NTT ini menjadi titik tolak novelnya. Sebagaimana dituliskan olehnya pada bagian sebelum Bab I, bahwa: "Sepanjang tahun 2015-2016 sekitar 135 orang dari 821 TKW asal NTT terjerumus ke dunia prostitusi di luar negri. Belum terhitung tahun sebelum dan sesudahnya. Tingkat pendidikan korban pada umumnya adalah SD" (Dinas P3A NTT).

Novel ini menarik dibaca, karena sejauh ini saya melihat bahwa masih minim penulis lokal yang mengeksplorasi isu kontekstual tersebut. Padahal NTT sendiri masih marak terjadi kasus human trafficking. Refleksi atas isu kontekstual ditampilkan penulis melalui tokoh sentral Bango Badin, remaja belia yang berasal dari Kampung Waimana, Larantuka. Bango menjadi korban praktik perdagangan manusia, yang setelah mengalami rentetan nasib naas, akhirnya merenggut nyawa di Malaysia.

Menariknya lagi penulis menarasikan tokoh Bango yang sudah bukan dalam rupa manusia, melainkan dalam wujud roh atau sukma. Peralihan wujud hidup ini ditandai penulis pada judul Bab I, "Aku Telah Tiada". Sejak awal cerita Bango telah menyadari dirinya sebagai yang sudah mati tetapi sebetulnya belum mati.

Secara tersurat pun Bango mengakui bahwa, Rupa wujudku telah tiada sebab, kini, aku hanyalah sewujud sukma (hlm. 20). Demikianlah kisah novel ini bergulir tentang sesosok sukma malang yang ingin pulang ke kampung halamannya.

Hujan Batu di Tanah Sendiri
Pada Bab II yang berjudul "Kampung Halaman" saya diajak sukma Bango untuk bersama kembali ke masa lalu, melihat kampung halamannya. Kampung kecil kami, kampung yang berjarak tujuh kilometer dari kota Larantuka, memang menyedihkan. Dari tahun ke tahun tampak makin kusut. Orang-orang tidak lagi menggarap lahan untuk menanam padi, jagung, sorgum, dan kacang keledai. Sudah delapan tahun terakhir hujan tidak menentu. Curah hujan berkurang cukup jauh (hlm. 28).

Selama menyusuri kampung halaman Bango saya berjumpa dengan wajah-wajah lesu dan nelangsa, sebab betapa sulitnya bertahan hidup di tengah pelbagai keterbatasan. Apakah karena situasi yang serba sulit ini orang-orang memutuskan untuk keluar merantau?

Bango pun berandai, Kalau saja curah hujan mencukupi, aku yakin banyak warga memilih bertahan di kampung, membersihkan kebun jambu mete atau melaut, sebagai tambahan penghasilan (hlm. 29). Namun, ekspektasi acapkali bertolak belakang dengan realita. Bukannya hujan air, justru hujan batu yang melanda kampung tersebut.

Hujan batu sebagai simbol penderitaan turut dialami oleh Bango dan keluarganya. Bango seorang remaja berprestasi yang terpaksa putus sekolah di kelas satu SMA karena kekurangan biaya. Sebenarnya ia bisa lanjut bersekolah, tetapi ulah kepala sekolah yang   hanya memprioritaskan beasiswa untuk kerabatnya, telah mengandaskan langkah Bango. Ia pun pasrah dengan keadaan, mengingat statusnya sebagai anak sulung yang mesti membantu orang tuanya menyekolahkan ketiga adiknya.  

Keluarganya Bango hidup serba kekurangan. Untuk makan sehari-hari saja butuh perjuangan (hlm. 26). Aba, ayahnya bekerja sebagai petani ladang sekalipun cuaca tidak menguntungkan. Walaupun keluarga Bango sudah bekerja keras, selalu ada saja kebutuhan yang tidak tercukupi di kampung halaman, entah biaya makan minum, sekolah anak, maupun untuk urusan rumah adat.  

Di tengah kompleksitas persoalan tersebut, datanglah Demo seorang guru desa yang menawarkan pekerjaan di luar negri, Malaysia. Demo membawa segepok uang serta membagi kisah manis orang-orang yang sukses berkat merantau. Tawaran ini pun dipercaya Bango dan keluarganya sebagai pintu keluar dari kemelut kemiskinan di kampung halaman.  

Tiada Hujan Emas di Tanah Orang
Kelana sukma Bango menghantar saya pada kisah silam perjalanannya meninggalkan kampung halaman. Hal-hal hanjil mulai terjadi sejak awal keberangkatan Bango. Seperti campur tangan Demo yang memalsukan data diri Bango yang sekalipun belum cukup usia bisa memperoleh KTP. Serta pembekalan dan pelatihan kerja yang dijanjikan sebelum berangkat pun tidak terlaksana.

Ketika berada di bandara El Tari, Bango dikumpulkan dengan keempat teman yang berasal dari kampung lain di NTT. Mereka diarahkan oleh orang-orang yang tak dikenal dan diperintahkan untuk diam selama perjalanan tersebut. Bahkan Bango dan teman-temannya dipaksa berenang di tengah kegelapan ketika memasuki perbatasan Malaysia secara ilegal.    

Mereka pun dikumpulkan di sebuah tempat penampungan yang tidak layak dan kerap disiksa. Hingga tiba saatnya mereka pun dipanggil ke rumah majikan, tetapi dua teman bernama Meri dan Inya yang berparas cantik, dipisahkan untuk keperluan "bisnis yang lain".

Ketika berada di rumah majikan penderitaan Bango semakin memuncak. Rupanya ia dibeli dengan harga enam ribu ringgit, sehingga Tuan dan Nyonya boleh memperlakukannya sesuka hati. Jika ia lalai dalam bekerja, maka ia langsung ditampar, dijambak, dan dipukul tanpa ampun oleh Nyonya. Hp-nya pun telah disita sehingga tiada tempat baginya untuk mengadu.

Bango telah dieksploitasi dengan beban kerja tinggi tanpa istirahat yang cukup. Meski demikian ia tak pernah mendapat gaji seringgit pun. Impiannya mengirim uang bagi keluarga di kampung halaman pun sirna. Sungguh tak ada hujan emas seperti yang dibayangkan oleh para perantau.

Dalam kesepian dan keterasingannya di tanah orang, ia pun larut dalam penyesalan. Kenapa waktu itu aku tidak memilih menetap di rumah membantu mama menenun atau meniti jagung. Kenapa mesti datang kemari jika dihadapkan dengan pekerjaan seperti tanpa mengenal waktu? (hlm. 137).

Ia ingin pulang ke rumahnya, pulang ke orangtuanya, Aba dan Mama. Ia rindu menghirup aroma khas jambu mete di kampung halaman, mendengar kokok ayam kala pagi buta, dan menyusuri jalanan kampung bersama kekasih hatinya Peha.  

Tekanan fisik dan psikis yang mendera selama bekerja membuatnya lemah hingga jatuh sakit. Saat itu kala majikannya sedang berada di luar, di tengah hujan gerimis dengan demam yang semakin parah, Bango pun nekat kabur. Naasnya dalam pelarian itu ia berjumpa sekelompok pria mabuk yang jahat, ia berjumpa dengan maut yang begitu kejam.

Pulang yang Penuh Palang
Aku yakin ini, bahwa setiap orang mati di tanah asing ingin dikembalikan, dikuburkan di tanah asalnya. Aku teringat dengan perkataan ibu: Setiap orang yang pergi jauh akan terpanggil pulang, ke tempat dimana kantong ari-arinya dikuburkan (hlm. 154).

Saya membayangkan betapa malang peristiwa kepulangan jasad Bango ke kampung halamannya. Suatu perjalanan pulang yang penuh palang dan halangan. Ia yang ditemukan tergeletak tak bernyawa tanpa sehelai kain. Ia yang diidentifikasi oleh petugas dengan cara yang tidak etis. Ia yang hampir salah dihantar pulang akibat kartu identitas ganda ulah para calo. Ia yang ditangisi keluarganya ketika tiba di kampung halaman.  

Saya pun bertanya, kalau tokoh fiktif saja bernasib demikian, bagaimana dengan orang-orang di dunia nyata, orang-orang NTT yang meninggal di tanah rantau? Apakah juga terkendala dan terhalang banyak hal saat dipulangkan kembali?

Sampai pada titik ini, novel Jemmy Piran seolah menghapus sekat antara dunia fiksi dan fakta. Bukankah setiap adegan dalam novel ini begitu dekat dan kerap terjadi? Bisa saja ini peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi tetapi luput diketahui banyak orang, sehingga sastra menjadi panggung untuk mengisahkannya kembali?

Bango menjadi representasi para korban ulah sindikat penjualan manusia yang telah berpulang secara keji dan berharap bisa dikuburkan dalam rahim tanah Ibu Pertiwi. Sebab seperti kata Bango setiap orang yang mati di tanah asing ingin dikembalikan dan dikuburkan di tanah asalnya, kampung halamannya.

Novel Dalam Pelukan Rahim Tanah sebagai salah satu karya sastra yang kontekstual, sekiranya dapat menggerakkan penulis lain untuk turut menciptakan karya dengan tema human trafficking. Para penulis lokal dipanggil untuk menarasikan kisah para penyintas demi memutuskan rantai perdagangan manusia di bumi NTT.

Akhirnya, di penghujung catatan kecil ini, novel Jemmy Piran masih khusus menonjolkan problem dan faktor yang melatari kasus penjualan manusia. Menurut penulis masih terbatas eksplorasi tema tentang bertahan hidup di kampung sendiri, sehingga membuat karya sastra perihal survive di tengah banyaknya tantangan tanpa harus merantau menjadi tugas kita selanjutnya. 

Kita membutuhkan pula karya sastra lainnya yang menampilkan kisah-kisah optimisme untuk tetap bekerja dan bergiat di kampung halaman. Karya yang membawa spirit baru bahwa kampung halaman dengan setiap warga serta alamnya memiliki potensi untuk berdaya dan berdikari. Sudah sudah saatnya kita menghadirkan hujan emas di tanah sendiri.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun