Mohon tunggu...
Yose Bataona
Yose Bataona Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penulis bermukim di Nusa Tenggara Timur

Selanjutnya

Tutup

Book

Ketika Sukma yang Malang Pulang ke Kampung Halaman

27 Desember 2022   10:37 Diperbarui: 27 Desember 2022   10:48 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto: Penerbit BasaBasi)

Selama menyusuri kampung halaman Bango saya berjumpa dengan wajah-wajah lesu dan nelangsa, sebab betapa sulitnya bertahan hidup di tengah pelbagai keterbatasan. Apakah karena situasi yang serba sulit ini orang-orang memutuskan untuk keluar merantau?

Bango pun berandai, Kalau saja curah hujan mencukupi, aku yakin banyak warga memilih bertahan di kampung, membersihkan kebun jambu mete atau melaut, sebagai tambahan penghasilan (hlm. 29). Namun, ekspektasi acapkali bertolak belakang dengan realita. Bukannya hujan air, justru hujan batu yang melanda kampung tersebut.

Hujan batu sebagai simbol penderitaan turut dialami oleh Bango dan keluarganya. Bango seorang remaja berprestasi yang terpaksa putus sekolah di kelas satu SMA karena kekurangan biaya. Sebenarnya ia bisa lanjut bersekolah, tetapi ulah kepala sekolah yang   hanya memprioritaskan beasiswa untuk kerabatnya, telah mengandaskan langkah Bango. Ia pun pasrah dengan keadaan, mengingat statusnya sebagai anak sulung yang mesti membantu orang tuanya menyekolahkan ketiga adiknya.  

Keluarganya Bango hidup serba kekurangan. Untuk makan sehari-hari saja butuh perjuangan (hlm. 26). Aba, ayahnya bekerja sebagai petani ladang sekalipun cuaca tidak menguntungkan. Walaupun keluarga Bango sudah bekerja keras, selalu ada saja kebutuhan yang tidak tercukupi di kampung halaman, entah biaya makan minum, sekolah anak, maupun untuk urusan rumah adat.  

Di tengah kompleksitas persoalan tersebut, datanglah Demo seorang guru desa yang menawarkan pekerjaan di luar negri, Malaysia. Demo membawa segepok uang serta membagi kisah manis orang-orang yang sukses berkat merantau. Tawaran ini pun dipercaya Bango dan keluarganya sebagai pintu keluar dari kemelut kemiskinan di kampung halaman.  

Tiada Hujan Emas di Tanah Orang
Kelana sukma Bango menghantar saya pada kisah silam perjalanannya meninggalkan kampung halaman. Hal-hal hanjil mulai terjadi sejak awal keberangkatan Bango. Seperti campur tangan Demo yang memalsukan data diri Bango yang sekalipun belum cukup usia bisa memperoleh KTP. Serta pembekalan dan pelatihan kerja yang dijanjikan sebelum berangkat pun tidak terlaksana.

Ketika berada di bandara El Tari, Bango dikumpulkan dengan keempat teman yang berasal dari kampung lain di NTT. Mereka diarahkan oleh orang-orang yang tak dikenal dan diperintahkan untuk diam selama perjalanan tersebut. Bahkan Bango dan teman-temannya dipaksa berenang di tengah kegelapan ketika memasuki perbatasan Malaysia secara ilegal.    

Mereka pun dikumpulkan di sebuah tempat penampungan yang tidak layak dan kerap disiksa. Hingga tiba saatnya mereka pun dipanggil ke rumah majikan, tetapi dua teman bernama Meri dan Inya yang berparas cantik, dipisahkan untuk keperluan "bisnis yang lain".

Ketika berada di rumah majikan penderitaan Bango semakin memuncak. Rupanya ia dibeli dengan harga enam ribu ringgit, sehingga Tuan dan Nyonya boleh memperlakukannya sesuka hati. Jika ia lalai dalam bekerja, maka ia langsung ditampar, dijambak, dan dipukul tanpa ampun oleh Nyonya. Hp-nya pun telah disita sehingga tiada tempat baginya untuk mengadu.

Bango telah dieksploitasi dengan beban kerja tinggi tanpa istirahat yang cukup. Meski demikian ia tak pernah mendapat gaji seringgit pun. Impiannya mengirim uang bagi keluarga di kampung halaman pun sirna. Sungguh tak ada hujan emas seperti yang dibayangkan oleh para perantau.

Dalam kesepian dan keterasingannya di tanah orang, ia pun larut dalam penyesalan. Kenapa waktu itu aku tidak memilih menetap di rumah membantu mama menenun atau meniti jagung. Kenapa mesti datang kemari jika dihadapkan dengan pekerjaan seperti tanpa mengenal waktu? (hlm. 137).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun