Mohon tunggu...
Yosafati Gulo
Yosafati Gulo Mohon Tunggu... profesional -

Terobsesi untuk terus memaknai hidup dengan belajar dan berbagi kepada sesama melalui tulisan. Arsip tulisan lain dapat dibaca di http://www.yosafatigulo.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Presidium Alumni 212 Berjuang Melawan Ilusi

29 September 2017   11:29 Diperbarui: 29 September 2017   14:56 4254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua Presidium Alumni 212, Slamet Maarif (http://nasional.kompas.com)

Selama ini saya mengira, saya itu orang cerdas, tahu banyak hal, dan tidak pernah ketinggalan informasi. Nyatanya, meleset jauh, seperti siang dan malam. Bak katak di bawah tempurung. Apa yang saya tahu ternyata tak jauh-jauh dari sekeliling badan saya saja. Itu pun tidak seluruhnya. Informasi di tempat lain, apalagi yang bersifat ilmu dalam berbagai bidang, cara berpikir ilmiah yang kritis-objektif, cara bertindak orang normal, waras, ternyata saya minus. Jauh di bawah nol.

Buktinya, berita pergerakan para peserta demo pendukung Buni Yani dan pejungkal Ahok dengan demo berjilid-jilid sejak Oktober 2016 tidak saya pahami. Padahal mereka selalu berseliweran di depan mata dan diliput banyak media. Apa yang kasat mata mereka lakukan dalam rantai demo, jauh melampaui akal pikiran saya di bawah tempurung.

Semula saya menduga, begitu tuntutan mereka menjungkalkan Ahok tercapai, mereka kembali ke tempatnya masing-masing bekerja seperti biasa untuk meningkatkan kesejahteraan, kualitas hidup dan keluarganya.

Lagi-lagi, teropongan saya dari bawah tempurung, bukan hanya keliru, tapi keliru besar. Mereka sangat jauh dari yang saya duga. Mereka bukan orang biasa, yang hari-harinya sibuk dengan urusan kerja dan keluarga. Untuk urusan itu, ternyata mereka sudah selesai. Mereka sudah melewati tahap memikirkan pekerjaan dan penghasilan. Dalam istilah Robert T. Kiyosaki, mereka sudah mencapai tahap kebebasan finansial. Oleh sebab itu, fokus pikiran, tenaga, dan waktu mereka melulu urusan besar, urusan bangsa dan negara dengan jurusan spesialis demonstrasi.

Konsolidasi diri

Mau bukti? Setelah demo 2 Desember 2016 dengan sebutan keren "212", pesertanya belum bubar. Secara fisik, mereka memang sudah pulang ke tempat masing-masing. Namun, secara ideologis belum. Mereka masih berdomisili dalam ideologi 212. Di sini mereka terus melakukan konsolidasi diri menjadi satu kekuatan, seperti partai politik. Hampir setiap bulan mereka berdemo dengan organisasi yang makin rapi dengan nama yang selalu keren seperti 313, 515, 287, dan kabarnya hari ini, 29 September 2017 akan show force lagi dengan nama "299".

Tapi, bukan itu saja yang membuktikan kedangkalan saya. Demo 212 rupanya bukan sekedar menjungkalkan Ahok atau hendak mencongkel Presiden Jokowi dari jabatannya. Mereka memiliki cita-cita besar yang pasti saya tidak paham. Ini terlihat dari cara-cara mereka menyusun kekuatan secara berkelanjutan.

Istilah "Alumni 212" yang selalu mereka pakai setiap kali demo menunjukkan seriusnya upaya tersebut. Itulah sebabnya istilah alumni 212 terus diupayakan menjadi organisasi permanen. Mereka sepertinya meniru lulusan perguruan tinggi, yang ditempa bertahun-tahun untuk mendapatkan gelar sarjana. Karena mau mendukung almamater, para lulusan perguruan tinggi membentuk atau bergabung pada organisasi bernama "Ikatan Alumni Universitas A", "Ikatan Alumni Universitas B", dan seterusnya. Melalui organisasi alumni, mereka hendak menggalang kekuatan dalam banyak aspeknya untuk membantu pengembangan almamaternya.

"Lulusan" 212, mungkin begitu. Bedanya, lulusan 212 itu tidak memiliki lembaga seperti universitas. Lembaga mereka, ya, ideologi demo 212 itu. Itulah "kampus" mereka. Namun, ada miripnya juga. Secara fisik mereka tersebar di berbagai pelosok Indonesia seperti halnya alumni perguruan tinggi. Tapi hebatnya, mereka bisa berkumpul atau dikumpulkan di satu tempat kapan saja. Soal jarak, waktu, dan biaya, sama sekali bukan halangan bagi mereka. Mereka bukan orang-orang kebanyakan yang selalu sibuk menghitung biaya atau mengatur waktu untuk mencegah benturan jam kerja dengan waktu demo. Mereka toh sudah berada di tingkat bebas finansial.

Untuk melanggengkan urusan demonstrasi, mereka tidak mau main-main. Mereka terus menata organisasi "alumni 212" setara dengan organisasi masyarakat atau partai politik permanen. Hal ini dapat dilihat pada pola organisasinya yang memakai istilah presidium. Ini artinya dalam organisasi itu begitu banyak hal yang diurus di bawah banyak pimpinan yang pasti semuanya orang-orang cerdas di bawah kendali seorang Ketua "Presidium Alumni 212", Slamet Ma'arif, yang menggantikan Ustadz Ansufri Idrus Sambo, yang mengundurkan diri menyusul aksi 212 membela Hary Tanoesoedibjo. Slamet sendiri bukan orang sembarang. Sebelumnya, Slamet Ma'arif dikenal sebagai juru bicara FPI (detik.news).

Misi Demo 299

Menurut Slamet Ma'arif, aksi 299 merupakan lanjutan dari aksi 287. Tuntannya ada dua. Pertama, mendesak DPR menolak Perppu No 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat. Kedua, meminta DPR menolak dan melawan kebangkitan PKI yang mereka nilai semakin menguat belakangan ini. Bersamaan dengan itu, mereka juga hendak mengingatkan DPR agar tak ada yang mencoba mencabut TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 yang memuat pembubaran PKI.

Kendati banyak ormas yang mundur dari rencana aksi karena dinilai tak perlu, Slamet Maarif yakin pesertanya puluhan ribu. Bahkan ia sempat mengatakan mencapi 50 ribu peserta. Fadli Zon sendiri tidak keberatan adanya aksi tersebut. Ia malah mendukung. Pimpinan DPR sendiri akan diusahakannya menemui peserta aksi, ujarnya kepada media.

Hal senada disampaikan oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti. Dikatakannya, aksi diakui dan diizinkan secara konsistitusional. Namun, perlu diingat bahwa demonstrasi besar-besaran dari daerah bisa menimbulkan masalah baru, kegelisahan dan ketakutan massa, katanya sebagaimana diberitakan media.

Selain itu, Mu'ti mengingatkan bahwa demonstrasi anti PKI bisa menimbulkan masalah baru. Oleh sebab itu harus hati-hati. Jangan sampai membuka luka lama, kata Ma'ti.

Peringatan Mu'ti tersebut tentu saja logis. Kalau hanya menyampaikan dua tuntutan itu, mengapa harus demo dengan peserta beribu-ribu orang? Bukankah hal itu bisa disampaikan secara tertulis? DPR toh bisa membaca. Menyampaikan tuntutan dalam bentuk demo jelas mengandung kontradiksi. Di satu sisi peserta demo menggantungkan harapannya di pundak DPR, tetapi di sisi lain dan pada saat yang sama, mereka melecehkan anggota DPR karena dianggap tak bisa memahami tuntutan tertulis tanpa demo.

Lagi pula tuntutan yang disampaikan sama sekali bukan baru. Soal penolakan Perppu No 2 Tahun 2017 sudah lama disuarakan. Termasuk oleh Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra. Penolakan PKI juga begitu.

Yang membuat saya makin bengong di bawah tempurung, mereka menolak Perppu No 2 Tahun 2017 yang mendasari pembubaran HTI. Padahal HTI sendiri merupakan organisasi anti NKRI, anti Pancasila dan UUD 1945 yang selalu berjuang menggantinya dengan ideologi khilafiah Islamiyyah. Ini sudah ada di depan mata dan terang-terangan. Sementara PKI yang terus mereka isukan sudah lama mati. Hanya ada dalam pembicaraan-pembicaraan mereka sendiri lewat orasi-orasi para pimpinan FPI seperti Habib Rizieq, Bachtiar Nasir, Munarman, Ahmad Sobri Lubis, Buya Yahya, Alfian Tanjung, plus Amien Rais, Kivlan Zen, Sri Bintang Pamungkas, dan masih banyak lagi.

Sebagai penduduk tempurung, tentu saja saya makin bengong. Bagaimana mungkin orang yang menamakan dirinya anti PKI menolak Perppu yang nyata-nyata melarang dan mencegah paham anti NKRI, Pancasila dan UUD 1945. Mungkinkah orang yang menamakan dirinya anti PKI membela mati-matian Ormas yang hendak mengganti Pancasila dan UUD 1945 seperti yang diperjuangkan PKI? Mengapa orang-orang anti NKRI, Pancasila, dan UUD 1945 yang ada di depan mata atau malah dalam mata sendiri dianggap tidak ada, bukan ancaman, sementara PKI sebagai ilusi terus dikejar-kejar? Bagaimana caranya melawan ilusi? Hayo... jawab!? ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun