Selama ini saya mengira, saya itu orang cerdas, tahu banyak hal, dan tidak pernah ketinggalan informasi. Nyatanya, meleset jauh, seperti siang dan malam. Bak katak di bawah tempurung. Apa yang saya tahu ternyata tak jauh-jauh dari sekeliling badan saya saja. Itu pun tidak seluruhnya. Informasi di tempat lain, apalagi yang bersifat ilmu dalam berbagai bidang, cara berpikir ilmiah yang kritis-objektif, cara bertindak orang normal, waras, ternyata saya minus. Jauh di bawah nol.
Buktinya, berita pergerakan para peserta demo pendukung Buni Yani dan pejungkal Ahok dengan demo berjilid-jilid sejak Oktober 2016 tidak saya pahami. Padahal mereka selalu berseliweran di depan mata dan diliput banyak media. Apa yang kasat mata mereka lakukan dalam rantai demo, jauh melampaui akal pikiran saya di bawah tempurung.
Semula saya menduga, begitu tuntutan mereka menjungkalkan Ahok tercapai, mereka kembali ke tempatnya masing-masing bekerja seperti biasa untuk meningkatkan kesejahteraan, kualitas hidup dan keluarganya.
Lagi-lagi, teropongan saya dari bawah tempurung, bukan hanya keliru, tapi keliru besar. Mereka sangat jauh dari yang saya duga. Mereka bukan orang biasa, yang hari-harinya sibuk dengan urusan kerja dan keluarga. Untuk urusan itu, ternyata mereka sudah selesai. Mereka sudah melewati tahap memikirkan pekerjaan dan penghasilan. Dalam istilah Robert T. Kiyosaki, mereka sudah mencapai tahap kebebasan finansial. Oleh sebab itu, fokus pikiran, tenaga, dan waktu mereka melulu urusan besar, urusan bangsa dan negara dengan jurusan spesialis demonstrasi.
Konsolidasi diri
Mau bukti? Setelah demo 2 Desember 2016 dengan sebutan keren "212", pesertanya belum bubar. Secara fisik, mereka memang sudah pulang ke tempat masing-masing. Namun, secara ideologis belum. Mereka masih berdomisili dalam ideologi 212. Di sini mereka terus melakukan konsolidasi diri menjadi satu kekuatan, seperti partai politik. Hampir setiap bulan mereka berdemo dengan organisasi yang makin rapi dengan nama yang selalu keren seperti 313, 515, 287, dan kabarnya hari ini, 29 September 2017 akan show force lagi dengan nama "299".
Tapi, bukan itu saja yang membuktikan kedangkalan saya. Demo 212 rupanya bukan sekedar menjungkalkan Ahok atau hendak mencongkel Presiden Jokowi dari jabatannya. Mereka memiliki cita-cita besar yang pasti saya tidak paham. Ini terlihat dari cara-cara mereka menyusun kekuatan secara berkelanjutan.
Istilah "Alumni 212" yang selalu mereka pakai setiap kali demo menunjukkan seriusnya upaya tersebut. Itulah sebabnya istilah alumni 212 terus diupayakan menjadi organisasi permanen. Mereka sepertinya meniru lulusan perguruan tinggi, yang ditempa bertahun-tahun untuk mendapatkan gelar sarjana. Karena mau mendukung almamater, para lulusan perguruan tinggi membentuk atau bergabung pada organisasi bernama "Ikatan Alumni Universitas A", "Ikatan Alumni Universitas B", dan seterusnya. Melalui organisasi alumni, mereka hendak menggalang kekuatan dalam banyak aspeknya untuk membantu pengembangan almamaternya.
"Lulusan" 212, mungkin begitu. Bedanya, lulusan 212 itu tidak memiliki lembaga seperti universitas. Lembaga mereka, ya, ideologi demo 212 itu. Itulah "kampus" mereka. Namun, ada miripnya juga. Secara fisik mereka tersebar di berbagai pelosok Indonesia seperti halnya alumni perguruan tinggi. Tapi hebatnya, mereka bisa berkumpul atau dikumpulkan di satu tempat kapan saja. Soal jarak, waktu, dan biaya, sama sekali bukan halangan bagi mereka. Mereka bukan orang-orang kebanyakan yang selalu sibuk menghitung biaya atau mengatur waktu untuk mencegah benturan jam kerja dengan waktu demo. Mereka toh sudah berada di tingkat bebas finansial.
Untuk melanggengkan urusan demonstrasi, mereka tidak mau main-main. Mereka terus menata organisasi "alumni 212" setara dengan organisasi masyarakat atau partai politik permanen. Hal ini dapat dilihat pada pola organisasinya yang memakai istilah presidium. Ini artinya dalam organisasi itu begitu banyak hal yang diurus di bawah banyak pimpinan yang pasti semuanya orang-orang cerdas di bawah kendali seorang Ketua "Presidium Alumni 212", Slamet Ma'arif, yang menggantikan Ustadz Ansufri Idrus Sambo, yang mengundurkan diri menyusul aksi 212 membela Hary Tanoesoedibjo. Slamet sendiri bukan orang sembarang. Sebelumnya, Slamet Ma'arif dikenal sebagai juru bicara FPI (detik.news).