Mohon tunggu...
Yosafati Gulo
Yosafati Gulo Mohon Tunggu... profesional -

Terobsesi untuk terus memaknai hidup dengan belajar dan berbagi kepada sesama melalui tulisan. Arsip tulisan lain dapat dibaca di http://www.yosafatigulo.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Agenda Rahasia di Belakang Demo 4/11 (Bagian-2)

14 November 2016   11:36 Diperbarui: 14 November 2016   11:48 2909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penafsiran cendeikiawan Islam yang mengakui kontekstualisme Almaidah 51 sejak reformasi otomatis tereliminasi. Pemutakhiran makna Almaidah 51 dalam konteks Bhineka Tunggal Ika Indonesia pasca reformasi, yang memberi peluang kepada banyak kepada Daerah non Muslim di berbagai tempat atas dukungan PKS, PAN, dan PPP kembali dianulir.

Pada titik ini, posisi Pancasila dan UUD 1945 bak telur di ujung tanduk. Dengan dilegalkannya penafsiran mereka, langsung atau tidak langsung negara kembali dipaksa mengakui secara tegas penerapan hukum Islam dalam mengelola negara. Posisi negara sebagai organisasi kekuasaan di atas kelompok dan golongan didegradasikan menjadi organisasi kekuasaan di bawah kelompok orang atau kelompok Ormas Islam tertentu dalam Islam.

Pancasila dan UUD 1945 yang memosisikan hukum Islam sebagai hukum privat, yang keberlakuannya terbatas pada kegiatan agama dalam kalangan internal Islam, kini kembali diangkat menjadi aturan negara yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan begitu, warga negara RI tidak lagi dipandang sama dan sederajat sebagaimana dikehendaki oleh para pendiri bangsa dan negara, yang telah dituangkan dalam Pancasila dan UUD 1945. Warga negara kembali dikotak-kotak dengan gradasi hak asasi yang berbda-beda. Isu mayoritas dan minoritas, pribumi non pribumi kembali disuburkan sehingga kesempatan bagi warga negara non Islam untuk menjadi pejabat negara kembali ditutup.

Kelanjutannya apa? Jawabnya ini: Dasar falsafah dan ideologi negara ingin diganti!

DPR akan didesak oleh rakyat yang sepikiran dengan mereka, untuk kembali melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Sasaran terdekatnya mungkin dibatasi pada pencantuman kembali kata “asli” sebagai syarat calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pasal 6 ayat (1) UUD 1945. Atau mungkin ditambah lagi syarat “harus beragama Islam”. Sasaran berikutnya, tentu saja, semua pasal yang tak sejalan akan diganti guna mengokohkan pergantian ideologi dan dasar negara.

Jika upaya itu berhasil, itu artinya Pancasila dan UUD 1945 tinggal nama. Kemasan. Nilai dasar dan implementasinya dalam seluruh peraturan per-UU-an serta kebijakan dan kegiatan pemerintahan diganti dengan hukum Islam menurut versi yang mereka pahami dan akui.

Agenda tersembunyi inilah yang sangat dikuatirkan oleh Buya Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif, Presiden Jokowi, Megawati Sukarno Putri, dan sejumlah cendekiawan atau akademisi nasionalis, yang barangkali tidak menjadi kekuatiran banyak tokoh seperti Susilo Bambang Yudhono.

Mereka sadar bahwa mengganti dasar dengan apa yang diinginkan oleh Ormas-ormas Islam itu hanya akan membawa negara pada kemunduran, bahkan kehancuran NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. NKRI bukan harga mati lagi, tetapi mati harga. Bhineka Tunggal Ika bukan berbeda-beda tetapi satu, melainkan Ketunggalan tanpa Bhineka yang Ika.

Bagi saya, agenda inilah yang perlu dan harus dipertimbangkan Polisi dalam menangani kasus Ahok. Jangan sampai polisi grogi atas desakan massa. Pangima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo, pasti mendukung polisi. Beliau sudah bertekad untuk tetap menjaga NKRI dari rongrongan siapa pun.

Untuk itu, seraya menangani kasus yang dituduhkan kepada Ahok, polisi dan intelijen negara perlu segera menelusuri siapa-siapa pemilik ide agenda rahasia itu. Dapat dimulai dari FH, Fadli Zon, Habib Rizieq, dan para tokoh menggagas demo. Sebab, tanpa mengungkap dan memangani orang semacam ini, tak ubahnya membiarkan orang berdiri di hadapan singa lapar ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun