Dukungan Penuh Dari NTB
Di atas kertas, upaya FH dan kawan-kawannya menggulingkan Presiden semestinya berhasil. Pertama, didukung FPI, MUI, Habib Rizieq, Yusril, Fadli Zon, AA Gym, sejumlah Kiyai, Ustadz, tokoh Islam, dan berbagai Ormas Islam (linknya ini) dengan ratusan ribu massa pendukung.
Kedua, didukung oleh mantan pejabat Pemda DKI yang dipecat Ahok, barisan sakit hati dari anggota DPRD DKI, para preman yang kehilangan sumber penghasilan di Cengkarenag, Tanah Abang, dan lain-lain, para PSK yang kehilangan tempat “dagangan daging” di Kalijodo, serta para pejabat dari daerah lain yang sepikiran dengan kelompok FH.
Ketiga, yang lebih dahsayat didukung penuh oleh Pemeritah NTB, daerah pemilihan FH. Dukungan penuh Pemerintah NTB, dibuktikan dengan turunnya sejumlah besar pejabat eksekutif dan anggota DPRD di bawah komando Gubernur NTB, TGH M Zainul Majdi atau yang akrab dipanggil Tuan Guru Bajang.
Radar Lombok (5/11) memberitakan, yang hadir pada demo di Jakarta cukup banyak. Mulai dari orang biasa sampai pejabat daerah. Anggota DPRD NTB yang ikut antara lain Ketua DPW PPP NTB Hj Wartiah, M Hadi Sulthon dari PAN, Nurdin Ranggabarani PPP, H Burhanuddin PBB, Yeq Agil PKS, dan semua dewan yang sedang ada di Jakarta ikut demo.
Wakil Ketua Fraksi PPP DPRD NTB, Nurdin Ranggabarani, mengaku sangat bangga bisa ikut berpartisipasi dalam aksi unjuk rasa yang dihadiri ratusan ribu ummat Islam. Menurutnya, inilah momentum kebangkitan gerakan ummat Islam, ujarnya kepada wartawan Radar Lmbok (5/11).
Dari situ terkuak bahwa rencana makar sudah dipersiapkan matang. Keikutsertaan Pemerintahan NTB demo bukan karena tidak-adanya tugas-tugas pemerintah di NTB. Pendorong mereka untuk hadir, mungkin disebabkan minimal tiga hal. Pertama, memberi dukungan moral kepada FH karena ia berasal dari NTB. Gubernur, TGH M Zainul Majdi, mungkin tidak enak hati membiarkan putra daerah kebanggaannya itu berjuang sendiri.
Kedua, memberikan dukungan kepada FH dinilai lebih penting daripada pelayanan publik di NTB sebagai tugas pokok jajaran pemerintahan daerah. Ketiga, boleh jadi ada agenda rahasia antara FH, Gubernur NTB, TGH M Zainul Majdi atau antara mereka dengan semua sahabatnya tersebut di atas, yang mendalangi demo, termasuk pemasok dana 100 miliar sebagaimana diungkap oleh intelijen negara.
Mana yang benar, hanya mereka yang tahu. Yang terang, ialah bila rencana busuk itu berhasil, bayangan horor tahun 1998 pasti kembali menghantui siapa pun. Bayang-bayang kebringasan para penjarah, pembakaran, perusakan berbagai fasilitas publik, perkosaan, dan pembantaian di Jakarta memaksa siapa pun untuk memilih berdiam di rumah atau pergi jauh mencari perlindungan.
Konsekuensinya, multi efek niscaya akan muncul. Segala kegiatan pemerintahan pasti terganggu, pelayanan publik tertunda, negara kembali disibukkan menata puing-puning kerusakan dengan berbagai konsekuensi finansial, waktu, dan tenaga. Apa yang sudah dicapai setelah reformasi menjadi sia-sia. Bangsa kita seolah dipaksa kembali berjalan tertatih-tatih dari titik nol.
Kebuntuan Hukum
Dengan adanya potensi multi efek itu, mereka mestinya ditindak secara hukum. Tujuannya, minimal dua. Pertama, mencegah mereka melakukan hal yang sama atau lebih ngeri pada masa yang akan datang. Saat ini memang FH dan kawan-kawannya tampak diam, tiarap. Tapi jangan dikira sikap diam itu berarti kapok. Sikap diam bisa mengindikasikan bahwa mereka tengah menyusun strategi baru, antara lain, dengan demo yang maha akbar dengan peserta jutaan atau lebih dari Sabang sampai Merauke seperti diisukan di media sosial.
Kedua, perlu diingat bahwa FH bukan penakut. Tipenya petarung sejati. Tak pernah kenal kata: kalah atau menyerah. Yang dia kenal dalam politik hanya satu kata: menang, dengan cara apa pun. PKS sendiri sudah membuktikan hal itu. Salim Segaf Al Jufri dan Hidayat Nur Wahid, sebagai Ketua dan Wakil Ketua Majelis Suyro PKS, serta M Sohibul Iman, PhD sebagai Presiden PKS dibuatnya tak berkutik ketika ia dipecat dari PKS. Pemecatannya dari keanggotan dan seluruh kepengurusan PKS tak berefek. Jabatannya siabagi wakil ketua DPR dari PKS masih nyaman. Apalagi kali ini, dia tidak sendiri. Orang-orang cerdas, politikus, dan agamawan yang seiya-sekata dengannya sangat banyak. Entah mereka yang mendukung FH, atau sebaliknya, atau mungkin saling mendukung, hanya mereka yang tahu.
Diakui bahwa menjerat FH dengan delik makar maupun menghasut tidak mudah. Tulisan Daniel H.T., telah menguraikan hal itu secara detail. Pasalnya, delik makar hanya mungkin diterapkan apabila ada permulaan pelaksanaan tindakan sebagaimana diatur pada Pasal 87 jo 53 KUHP. Delik menghasut di Pasal 160 KUHP pun begitu. FH baru bisa dijerat dengan delik ini apabila hasutannya pada demo 4/11 telah mengakibatkan orang lain melakukan tindak pidana.
Tapi, itu, belum terjadi. Perbuatan yang mengarah makar belum ada. Itulah sebabnya ia begitu sinis ketika ia dilaporkan ke Bareskrim Polri. Ia tahu betul bahwa ia tidak bisa disentuh dengan delik itu. Ia benar-benar merasa di atas angin.
Yang paling mungkin diterapkan adalah ketentuan Pasal 72, UU No 17 Tahun 2014 tentang MD 3 dan Pasal 12 huruf d, g, h, i, j, dan k, Peraturan DPR No 1 Tahun 2014 Tentang Tatip DPR bagi anggota legislatif. Ketentuan Pasal 65 ayat (1) huruf a, b, dan g UU No 9 Tahun 2015 Tentang Pemda bagi Gubernur NTB. Dan ketentuan Pasal 10 dan 11 UU No 5 Tahun 2014 Tentang ASN bagi pegawai negeri sipil.
Berdasarkan peraturan tersebut, pelanggaran yang dilakukan FH dan kawan-kawannya, termasuk Gubernur NTB, merupakan pengingkaran tugas, kewajiban, dan pelanggaran etika kelembagaan. DPR/D tidak menangani aspirasi rakyat sesuai aturan. Gubernur tidak masuk kerja untuk kegiatan yang tak ada kaitannya dengan tugas pemerintahan.
Pada pelanggaran seperti ini, ancamannya terbatas pada teguran atau peringatan tertulis. Persoalannya, apakah MKD mau menegakkan ketentuan hukum ini bagi anggota DPR/D? Parahnya lagi, apakah pelanggaran ini dapat ditangani bila di antara anggota MKD misalnya banyak yang sepaham dengan FH? Apakah DPRD NTB memiliki nyali untuk memroses pelanggaran Gubernur NTB karena sebagian anggotanya melakukan pelanggaran yang sama?
Inilah salah sau kelemahan hukum. Peraturan yang bisa memotong kerumitan di atas belum ada. Mencegah dan menghukum pejabat publik yang berkata sesukanya terhadap kepala negara belum ada. Padahal di mata awam, rasa keadilan masyarakat, tindakan tersebut layak dihukum karen merusak tatanan, etika, dan moral.
Mengancam Pancasila dan UUD 1945
Tapi itu belum seberapa. Yang lebih menakutkan adalah adanya agenda rahasia di balik desakan memroses Ahok. Pada tulisan sebelumnya telah diutarakan, yang dikehendaki rombongan FH bukan proses hukum yang lazim. Mereka hanya menghendaki agar dugaan penistaan Qur’an dan ulama dibenarkan, lalu Ahok ditangkap, ditahan, dihukum, dan dipenjara.
Bila target itu gol, Presiden Jokowi tak akan diganggu. Sepanjang Jokowi tidak mengambil kebijakan yang mengusik mereka, mereka tidak neko-neko. Sebab, dasar pijakan mereka sudah tercapai. Penafsiran sepihak mereka atas Almaidah 51 mendapat pembenaran hukum.
Penafsiran cendeikiawan Islam yang mengakui kontekstualisme Almaidah 51 sejak reformasi otomatis tereliminasi. Pemutakhiran makna Almaidah 51 dalam konteks Bhineka Tunggal Ika Indonesia pasca reformasi, yang memberi peluang kepada banyak kepada Daerah non Muslim di berbagai tempat atas dukungan PKS, PAN, dan PPP kembali dianulir.
Pada titik ini, posisi Pancasila dan UUD 1945 bak telur di ujung tanduk. Dengan dilegalkannya penafsiran mereka, langsung atau tidak langsung negara kembali dipaksa mengakui secara tegas penerapan hukum Islam dalam mengelola negara. Posisi negara sebagai organisasi kekuasaan di atas kelompok dan golongan didegradasikan menjadi organisasi kekuasaan di bawah kelompok orang atau kelompok Ormas Islam tertentu dalam Islam.
Pancasila dan UUD 1945 yang memosisikan hukum Islam sebagai hukum privat, yang keberlakuannya terbatas pada kegiatan agama dalam kalangan internal Islam, kini kembali diangkat menjadi aturan negara yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan begitu, warga negara RI tidak lagi dipandang sama dan sederajat sebagaimana dikehendaki oleh para pendiri bangsa dan negara, yang telah dituangkan dalam Pancasila dan UUD 1945. Warga negara kembali dikotak-kotak dengan gradasi hak asasi yang berbda-beda. Isu mayoritas dan minoritas, pribumi non pribumi kembali disuburkan sehingga kesempatan bagi warga negara non Islam untuk menjadi pejabat negara kembali ditutup.
Kelanjutannya apa? Jawabnya ini: Dasar falsafah dan ideologi negara ingin diganti!
DPR akan didesak oleh rakyat yang sepikiran dengan mereka, untuk kembali melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Sasaran terdekatnya mungkin dibatasi pada pencantuman kembali kata “asli” sebagai syarat calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pasal 6 ayat (1) UUD 1945. Atau mungkin ditambah lagi syarat “harus beragama Islam”. Sasaran berikutnya, tentu saja, semua pasal yang tak sejalan akan diganti guna mengokohkan pergantian ideologi dan dasar negara.
Jika upaya itu berhasil, itu artinya Pancasila dan UUD 1945 tinggal nama. Kemasan. Nilai dasar dan implementasinya dalam seluruh peraturan per-UU-an serta kebijakan dan kegiatan pemerintahan diganti dengan hukum Islam menurut versi yang mereka pahami dan akui.
Agenda tersembunyi inilah yang sangat dikuatirkan oleh Buya Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif, Presiden Jokowi, Megawati Sukarno Putri, dan sejumlah cendekiawan atau akademisi nasionalis, yang barangkali tidak menjadi kekuatiran banyak tokoh seperti Susilo Bambang Yudhono.
Mereka sadar bahwa mengganti dasar dengan apa yang diinginkan oleh Ormas-ormas Islam itu hanya akan membawa negara pada kemunduran, bahkan kehancuran NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. NKRI bukan harga mati lagi, tetapi mati harga. Bhineka Tunggal Ika bukan berbeda-beda tetapi satu, melainkan Ketunggalan tanpa Bhineka yang Ika.
Bagi saya, agenda inilah yang perlu dan harus dipertimbangkan Polisi dalam menangani kasus Ahok. Jangan sampai polisi grogi atas desakan massa. Pangima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo, pasti mendukung polisi. Beliau sudah bertekad untuk tetap menjaga NKRI dari rongrongan siapa pun.
Untuk itu, seraya menangani kasus yang dituduhkan kepada Ahok, polisi dan intelijen negara perlu segera menelusuri siapa-siapa pemilik ide agenda rahasia itu. Dapat dimulai dari FH, Fadli Zon, Habib Rizieq, dan para tokoh menggagas demo. Sebab, tanpa mengungkap dan memangani orang semacam ini, tak ubahnya membiarkan orang berdiri di hadapan singa lapar ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H