Mohon tunggu...
Yosafati Gulö
Yosafati Gulö Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Warga negara Indonesia yang cinta kedamaian.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Sesat Pikir Dahnil tentang Prabowo dan Habib Rizieq

6 Juli 2019   08:30 Diperbarui: 6 Juli 2019   08:38 1364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dahnil Anzar Simanjuntak. (Ari Saputra/detikcom) 

Masih saja ada yang bicara rekonsiliasi antara Prabowo dan Jokowi. Salah satu di antaranya ialah Dahnil Anzar Simanjuntak (Dahnil). Tanpa rekonsiliasi, seolah bangsa dan negara Indonesia dalam bahaya.

Kalau rekonsiliasi dilakukan saat-saat menjelang pengumuman hasil perhitungan suara oleh KPU, anggapan itu bisa diterima. Pasalnya, saat itu bangsa kita seperti tengah berada dalam situasi darurat. Di satu sisi KPU yakin bahwa proses Pemilu sudah benar. Tak ada yang perlu dirisaukan.

Tapi di sisi lain, sekelompok pendukung Paslon 02 seolah terus menabuh gendang perseteruan dengan KPU. Ancaman akan adanya people power pun sempat menjadi perdebatan di kalangan masyarakat cukup lama.

Sekarang, isu rekonsiliasi diungkit lagi. Juru bicara Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Dahnil Anzar Simanjuntak, menyinggungnya kembali melalui akun twitternya. Bagi dia, salah satu bagian dari rekonsiliasi politik Pasca Pilpres 2019 adalah pemulangan Ketua FPI, Habib Rizieq ke Indonesia.

Kendati hal itu disebutnya sebagai pendapat pribadinya, namun tanpa pembicaraan di kalangan Gerindra, maupun pendukung Pasangan Prabowo-Sandi, mustahil hal itu muncul tiba-tiba di pikiran Dahnil.

"Ini pandangan pribadi saya, bila narasi rekonsiliasi politik mau digunakan, agaknya yang paling tepat beri kesempatan kepada Habib Rizieq kembali ke Indonesia," kata Dahnil melalui akun Twitternya, @Dahnilanzar pada Kamis (4/7/2019), sebagaimana diberitakan media.

Keliru memahami rekonsiliasi

Lebih aneh lagi, Dahnil malah bilang bahwa narasi rekonsiliasi politik harus disertai dengan berhentinya kriminalisasi terhadap para pendukung Prabowo-Sandiaga Uno di pemilihan presiden 2019.

"Stop upaya kriminalisasi, semuanya saling memaafkan. Kita bangun toleransi yang otentik, setop narasi-narasi stigmatisasi radikalis, dan lain-lain," kata mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah ini.

Dalam nada sedikit beda dikemukakan oleh anggota Badan Komunikasi Partai Gerindra Andre Rosiade. Menurutnya, pertemuan Prabowo dan Jokowi perlu. Tetapi, bukan dalam rangka bagi-bagi kursi, melainkan meredakan tensi politik dan membantu para pendukung Prabowo yang berkasus.

"Jangan menstigma silaturahim Pak Prabowo itu bagi-bagi kursi. Coba pikirkan juga bagaimana para pendukung yang masih punya banyak masalah. Ada yang ditahan, ada yang masih terima surat panggilan polisi, lalu ulama yang ada masalah gara-gara pilihan pemilu," kata Andre, beberapa hari sebelumnya.

Setidaknya ada dua hal yang menarik dalam pernyataan Dahnil dan Andre. Pertama, pendukung Prabowo-Sandi yang diproses secara hukum masih saja dipersepsi sebagai tindakan kriminalisasi. Padahal tindakan yang mereka lakukan jelas-jelas dilarang oleh undang-undang.

Kasus chat mesum yang memaksa Habib Rizieq kabur ke Mekkah misalnya, walaupun kasusnya sudah dihentikan sejak tahun lalu, serta penghinaan yang dilakukannya terhadap Pancasila dan Presiden pertama RI, Soekarno, masih saja dianggap kriminalisasi.

Demikian pula kasus Ahmad Dhani, Eggi Sudjana, dan Kivlan Zen juga terus diungkit seolah proses hukum atas diri mereka dilakukan Polisi secara suka-suka. Sama sekali tidak dipedulikan bahwa tindakan Habib Rizieq dan kawan-kawannya nyata-nyata melanggar hukum positip.

Kalau pandangan ini diterus-teruskan, jangan-jangan pencuri ayam, pembunuh, dan koruptor yang kebetulan mendukung Prabowo-Sandi apabila tertangkap tangan misalnya juga disebut kriminalisasi.

Kedua, terus saja dibangun persepsi bahwa tanpa adanya rekonsiliasi maka situasi negara ini tetap rawan. Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin akan mandeg, Rakyat tidak bisa hidup tenang.

Tidak disadari bahwa persepsi semacam ini mengandung makna buruk terhadap Prabowo-Sandi. Prabowo-Sandi dikategorikan sebagai pribadi-pribadi jahat yang pasti mengganggu, menjadi trouble maker dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka tidak sadar bahwa anggapan semacam itu sama sekali tidak memberi nilai positip bagi Prabowo-Sandi.

Kalau saja Dahnil dan Andre mau berpikir jernih, mereka semestinya sadar bahwa perubahan sikap Prabowo terhadap hasil Pilpres merupakan tanda bahwa dirinya tidak seburuk anggapan Dahnil dan Andre. Keputusan Prabowo menggugat hasil Pilpres di MK, kendati kalah, semestinya dipahami bahwa Prabowo lebih percaya pada proses hukum ketimbang tindakan inkonstitusional.

Tidak bersemangatnya Prabowo untuk bertemu dengan Jokowi, tentu saja bukan tanpa alasan. Boleh jadi Prabowo berpendapat bahwa pertemuan antara dirinya dengan Jokowi bukan lagi peristiwa penting. Sudah tidak memiliki nilai menurunkan tensi politik. Karena saat ini memang sudah tenang. Terutama, di kalangan masyarakat luas sampai ke desa-desa.

Bahwa masih ada yang merasa tensi politik tinggi, bisa saja benar. Tetapi itu terbatas di kalangan orang tertentu saja, seperti Dahnil dan Andre atau para pendukung yang masih belum bisa move on.

Kemungkinan besar, pandangan seperti inilah yang mendasari pemikiran salah seorang ahli hukum tata negara, Margarito Kamis, ketika menanggapi isu rekonsiliasi. Bagi Margarito, saat ini sudah tak perlu ada rekonsiliasi.

"Rekonsiliasi apa? Apanya yang mau direkonsiliasi. Semua sudah jelas, sudah ada yang menang dan diputuskan," kata Margarito saat dihubungi VIVA, Kamis 4 Juli 2019. Saat ini, kata Margarito sudah tak ada yang ditakutkan. Suasana dalam negeri sudah normal.

Lantas, kalau yang mereka maksud rekonsiliasi sebagai upaya membawa kembali Habib Rizieq ke Tanah Air, apakah kehadirannya kelak membuat bangsa dan negara ini jadi damai? Aman? Boleh saja ada yang bilang ya. Tetapi, anggapan itu tentu tidak berdasar. Pasalnya, sepak terjang Habib Rizieq sejak FPI berdiri menunjukkan hal sebaliknya.

Lagi pula janji memulangkan Rizieq yang dikemukakan Prabowo sangat jelas dan tegas. Hanya dilakukan apabila ia memenangkan Pilpres. Ini artinya dengan kekalahan gugatannya di MK, maka dengan sendirinya janji memulangkan Habib Rizieq batal, bukan?

Semestinya Dahnil dan Andre ingat syarat tersebut. Prabowo tak pernah menjanjikan memulangkan Habib Rizieq manakala ia kalah. Hanya kalau menang. Juga tak pernah mengatakan bahwa syarat rekonsiliasi dengan Jokowi adalah pemulangan Habib Rizieq.

Tampaknya, Prabowo menilai akan lebih baik kalau Habib Rizieq tetap berada di Mekkah. Biar dia menggunakan waktu lebih banyak untuk merenungkan makna kehidupan dengan sering-sering Umrah dan naik haji. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun