Mohon tunggu...
Yosafati Gulö
Yosafati Gulö Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Warga negara Indonesia yang cinta kedamaian.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kuasa Hukum Paslon 02 Menyerang KPU dengan "Tumpukan Sampah"

24 Juni 2019   15:06 Diperbarui: 24 Juni 2019   17:17 1876
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Persidangan PHPU Pilpres sudah selesai. Proses selanjutnya sepenuhnya di tangan sembilan hakim MK untuk memelajari, menilai, dan membahas semua kesaksian maupun alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan.

Hasil akhirnya diumumkan tanggal 28 Juni 2019. Konsekuensi pengajuan gugatan harus percaya pada hakim MK. Tak perlu main gertak-gertak. Tak perlu mengerahkan massa untuk menakut-nakuti hakim MK.

Seluruh rakyat Indonesia sudah bisa menduga-duga keadaan yang sesungguhnya. Setelah menyaksikan persidangan yang sangat melelahkan itu, publik bisa menduga hasil akhir, kendati belum tentu tepat. Jangankan para pemohon, termohon, dan pihak terkait, awam hukum yang menyaksikannya di TV pun tahu.

Tentu saja pendukung Paslon 01 bisa bilang bahwa gugatan Paslon 02 akan ditolak. Pendukung Paslon 02 pun begitu. Bisa berkata gugatan mereka dikabulkan MK. Apalagi karena mereka sudah terbiasa melakukan klaim menang sejak tanggal 17 April 2019 dengan persentase kemenangan yang terus berubah-ubah.

Namun, kali ini lain. Dugaan, harapan, klaim, atau optimisme sebesar apa pun tak memiliki nilai apa-apa secara hukum. Dikabulkan atau ditolaknya gugatan sepenuhnya ditentukan oleh terbukti-tidaknya apa yang didalilkan dalam persidangan. Ini pun harus diyakini kebenarannya atau ketidakbenarannya oleh hakim MK.

Bukti dan keterangan saksi
Dari sisi bukti, Paslon 02 memang perlu yakin bahwa gugatan mereka dikabulkan oleh hakim MK. Mengapa? Karena bukti yang mereka bawa di MK tidak tanggung-tanggung, ada 28 kontainer.

Hanya saja, jangan kira kontainer itu sebesar peti kemas. Yang dimaksud ialah kontainer plastik berukuran kira-kira 40 x 60 cm. Sebelumnya, memang sempat disebut empat truk yang terdiri dari C1 dari berbagai provinsi di Indonesia.

Namun, dalam kenyataan tidak begitu. Bukti bertumpuk-tumpuk itu pun sempat ditolak karena tidak memenuhi syarat. Tumpukan bukti disodorkan begitu saja. Tidak disusun rapi sebagaimana ketentuan dan kelaziman dalam hukum acara di MK.

Syukur bahwa MK masih berbaik hati. Mereka memberikan kesempatan kepada kuasa hukum Paslon 02 untuk menata alat bukti selama kurang lebih tiga jam, namun tidak semuanya bisa. Sebagian di antaranya tidak disahkan sebagai alat bukti oleh MK karena tidak memenuhi syarat.

Parahnya, bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan itu, keterangan para saksi banyak yang tak mendukung pernyataan-pernyataan menghebohkan dari kuasa hukum sebelumnya. Kesaksian Nur Latifah, misalnya. Ia bilang anggota KPPS di TPS 08 Dusun Winongsari, Desa Karangjati, Kabupaten Boyolali, mencobloskan 15 surat suara mewakili warga.

Tetapi ketika ditanya hakim apakah dia menegur petugas KPPS, Nur bilang tidak. Ia malah bilang bahwa apa yang dilakukan anggota KPPS itu sudah merupakan kesepakatan warga bagi pemilih berusia lanjut yang kesulitan mencoblos. Nah, merontokkan diri sendiri, bukan?

Hal yang sama tampak pada kesaksian Beti Kristiana. Ia mengaku menemukan tumpukan dokumen negara berupa amplop yang bertanda tangan dan berhologram di kecamatan Juangi Kabupaten Boyolali. Amplop ternyata belum pernah dipakai. Terbukti dari tidak adanya bekas lem dan segel. Yang ditunjukkannya di persidangan pun ternyata amplop untuk caleg.

Kesaksian Agus Muhammad Maksum dan Idham Amiruddin lebih lucu lagi. Semula Agus menggebu-gebu menyatakan menemukan adanya 17,5 juta NIK palsu, 117.333 KK manipulatif, dan 18,8 juta data invalid di lima provinsi. Dari 17,5 juta NIK palsu itu terdapat 9,8 juta pemilih yang tanggal lahirnya sama, yakni pada 1 Juli. Kemudian, ada 5,3 juta yang lahir pada 31 Desember dan ada 2,3 juta yang lahir pada 1 Januari.

Namun, ketika hakim menanyakan apakah pernah melihat sendiri, mendatangi TPS, mengecek apakah mereka yang disebut palsu itu turut memilih? Baik Agus maupun Idham menyatakan tidak mengecek, tidak tahu. Nah, mimpi lagi 'kan?

Kehadiran Rahmadsyah Sitompul yang merupakan Ketua Sekber Badan Pemenangan Nasional Prabowo untuk wilayah Batubara, Sumatera Utara sebagai saki sempat menggegerkan. Pasalnya, dalam statusnya sebagai terdakwa atas pelanggaran UU ITE ia mebohongi Kejaksaan yang memberinya tahanan kota dalam suratnya agar bisa ke Jakarta. Ini jelas melanggar hukum, bukan?

Keterangan ahli Jaswar Koto tak kalah aneh dibanding para saksi. Dengan sikap meyakinkan ia memaparkan kecurangan Pemilu dengan memasalahkan Situng KPU yang selalu berubah-ubah. Bukti yang diajukannya didasarkan pada tangkapan layar saat menyaksikan tayangan Situng. Ia tidak mau tahu bahwa perubahan-perubahan itu terjadi karena input data memang terus berlangsung.

Dikatakannya, pola kesalahan hitung pada Situng mengacu pada penggelembungan suara 01 dan pengurangan pada 02. Hal itu diketahuinya dengan menganalisis 63 TPS secara acak. Analisis tersebut, katanya, menunjukkan kesalahan input data berupa pengurangan suara Prabowo-Sandi sebesar 3.000 suara dan penambahan jumlah perolehan suara pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebesar 1.300 suara. Sebagai validasi, analisis itu juga dilakukan olehnya sebanyak dua kali. (Tribunnews.com).

Bukan itu saja. Ia juga bilang terdapat 27 juta pemilih siluman atau ghost voters di 21 provinsi. Mulanya dia menemukan 22 juta ghost voters setelah menganalisa 89 juta populasi pemilih tapi setelah mengalisis lagi ia menemukan jumlah 27 juta itu. Ghost voters tersebut dia identifikasi dari jumlah NIK ganda, pemilih di bawah umur, dan kode kecamatan ganda.

Apa yang dikatakan Jaswar, ternyata tidak beda dengan kesaksian Agus dan Idham sebelumnya. Esensinya sama. Kalau pun ada yang berbeda, maka perbedaan itu lebih banyak pada kemasan, cara presentasi dan konstruksi argumentasi.

Mana yang "sampah"?
Namun, ahli yang didatangkan KPU, Marsudi Wahyu Kisworo mementahkan keterangan tersebut. Marsudi mengakui bahwa Situng KPU memiliki kelemahan. Salah satunya KPU tak memisahkan antara data masuk yang sudah tervalidasi dengan yang belum. Inilah yang menjadi perdebatan yang menimulkan anggapan adanya rekayasa data.

Marsudi mengatakan Situng KPU dirancang sebagai sarana transparansi kepada msyarakat. Datanya dari masing-masing TPS. Ini bukan penentu hasil perhitungan suara atau pemenang. Merekayasa hal ini percuma, ujar Marsudi. Pasalnya, yang dipakai KPU untuk menetapkan hasil perhitungan suara dan pemenang adalah rekapitulasi berjenjang.

Bantahan Marsudi itu seolah melengkapi keterangan Edward Omar Syarief Hiariej (Eddy) yang mencincang habis konstruksi hukum yang dibangun kuasa Hukum Paslon 02 dalam fundamentum petensi (uraian pokok perkara) perhomonan. Antara lain yang dikatakan Eddy waktu itu ialah bahwa dalam uraian pokok perkara pemohon mencampuradukan banyak hal. Termasuk di antaranya mencampur-adukan kewenangan MK dan Bawaslu.

Baca juga: "Pisau Cukur" Eddy Plontoskan Habis Bambang Widjojanto dan Denny Indrayana

Dengan menyimak kesaksian para saksi dan keterangan beberapa Ahli tersebut, tentu saja ada yang bingung. Mungkin ada yang bilang kesaksian saksi dan keterangan ahli 02 yang benar. Atau sebaliknya pihak 01 yang benar. Tetapi, bukan tidak mungkin pernyataan Andi Arief ketika mengomentari keterangan Jaswar juga benar.

"Pengkhianatan intelektual Prof Jaswar Koto, menyatakan 02 menang 52 persen berdasarkan survei setelah pemilu based on 110 juta pemilih dengan sample. Wong edan," kata Andi Arief di akun Twitter @AndiArief__, sebagaimana dikutip detik.com.

Namun, Ketua Tim Kuasa hukum Paslon 02, Bambang Widjojanto bilang pernyataan Andi itu sampah.

"Menurut saya, ini juga drama, dan pernyataan-pernyataan itu sampahlah," ujar Bambang kepada media.

Pertanyaannya, mana yang benar? Apakah pernyataan Andi yang "sampah" ataukah Kuasa Hukum Paslon 02 yang menyampahkan pernyataan Andi yang sampah, atau jangan-jangan serangan kepada KPU dengan tumpukan sampah yang sampah?

 ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun