Mohon tunggu...
Yosafati Gulö
Yosafati Gulö Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Warga negara Indonesia yang cinta kedamaian.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kuasa Hukum Paslon 02 Menyerang KPU dengan "Tumpukan Sampah"

24 Juni 2019   15:06 Diperbarui: 24 Juni 2019   17:17 1876
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal yang sama tampak pada kesaksian Beti Kristiana. Ia mengaku menemukan tumpukan dokumen negara berupa amplop yang bertanda tangan dan berhologram di kecamatan Juangi Kabupaten Boyolali. Amplop ternyata belum pernah dipakai. Terbukti dari tidak adanya bekas lem dan segel. Yang ditunjukkannya di persidangan pun ternyata amplop untuk caleg.

Kesaksian Agus Muhammad Maksum dan Idham Amiruddin lebih lucu lagi. Semula Agus menggebu-gebu menyatakan menemukan adanya 17,5 juta NIK palsu, 117.333 KK manipulatif, dan 18,8 juta data invalid di lima provinsi. Dari 17,5 juta NIK palsu itu terdapat 9,8 juta pemilih yang tanggal lahirnya sama, yakni pada 1 Juli. Kemudian, ada 5,3 juta yang lahir pada 31 Desember dan ada 2,3 juta yang lahir pada 1 Januari.

Namun, ketika hakim menanyakan apakah pernah melihat sendiri, mendatangi TPS, mengecek apakah mereka yang disebut palsu itu turut memilih? Baik Agus maupun Idham menyatakan tidak mengecek, tidak tahu. Nah, mimpi lagi 'kan?

Kehadiran Rahmadsyah Sitompul yang merupakan Ketua Sekber Badan Pemenangan Nasional Prabowo untuk wilayah Batubara, Sumatera Utara sebagai saki sempat menggegerkan. Pasalnya, dalam statusnya sebagai terdakwa atas pelanggaran UU ITE ia mebohongi Kejaksaan yang memberinya tahanan kota dalam suratnya agar bisa ke Jakarta. Ini jelas melanggar hukum, bukan?

Keterangan ahli Jaswar Koto tak kalah aneh dibanding para saksi. Dengan sikap meyakinkan ia memaparkan kecurangan Pemilu dengan memasalahkan Situng KPU yang selalu berubah-ubah. Bukti yang diajukannya didasarkan pada tangkapan layar saat menyaksikan tayangan Situng. Ia tidak mau tahu bahwa perubahan-perubahan itu terjadi karena input data memang terus berlangsung.

Dikatakannya, pola kesalahan hitung pada Situng mengacu pada penggelembungan suara 01 dan pengurangan pada 02. Hal itu diketahuinya dengan menganalisis 63 TPS secara acak. Analisis tersebut, katanya, menunjukkan kesalahan input data berupa pengurangan suara Prabowo-Sandi sebesar 3.000 suara dan penambahan jumlah perolehan suara pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebesar 1.300 suara. Sebagai validasi, analisis itu juga dilakukan olehnya sebanyak dua kali. (Tribunnews.com).

Bukan itu saja. Ia juga bilang terdapat 27 juta pemilih siluman atau ghost voters di 21 provinsi. Mulanya dia menemukan 22 juta ghost voters setelah menganalisa 89 juta populasi pemilih tapi setelah mengalisis lagi ia menemukan jumlah 27 juta itu. Ghost voters tersebut dia identifikasi dari jumlah NIK ganda, pemilih di bawah umur, dan kode kecamatan ganda.

Apa yang dikatakan Jaswar, ternyata tidak beda dengan kesaksian Agus dan Idham sebelumnya. Esensinya sama. Kalau pun ada yang berbeda, maka perbedaan itu lebih banyak pada kemasan, cara presentasi dan konstruksi argumentasi.

Mana yang "sampah"?
Namun, ahli yang didatangkan KPU, Marsudi Wahyu Kisworo mementahkan keterangan tersebut. Marsudi mengakui bahwa Situng KPU memiliki kelemahan. Salah satunya KPU tak memisahkan antara data masuk yang sudah tervalidasi dengan yang belum. Inilah yang menjadi perdebatan yang menimulkan anggapan adanya rekayasa data.

Marsudi mengatakan Situng KPU dirancang sebagai sarana transparansi kepada msyarakat. Datanya dari masing-masing TPS. Ini bukan penentu hasil perhitungan suara atau pemenang. Merekayasa hal ini percuma, ujar Marsudi. Pasalnya, yang dipakai KPU untuk menetapkan hasil perhitungan suara dan pemenang adalah rekapitulasi berjenjang.

Bantahan Marsudi itu seolah melengkapi keterangan Edward Omar Syarief Hiariej (Eddy) yang mencincang habis konstruksi hukum yang dibangun kuasa Hukum Paslon 02 dalam fundamentum petensi (uraian pokok perkara) perhomonan. Antara lain yang dikatakan Eddy waktu itu ialah bahwa dalam uraian pokok perkara pemohon mencampuradukan banyak hal. Termasuk di antaranya mencampur-adukan kewenangan MK dan Bawaslu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun