Persidangan PHPU Pilpres sudah selesai. Proses selanjutnya sepenuhnya di tangan sembilan hakim MK untuk memelajari, menilai, dan membahas semua kesaksian maupun alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan.
Hasil akhirnya diumumkan tanggal 28 Juni 2019. Konsekuensi pengajuan gugatan harus percaya pada hakim MK. Tak perlu main gertak-gertak. Tak perlu mengerahkan massa untuk menakut-nakuti hakim MK.
Seluruh rakyat Indonesia sudah bisa menduga-duga keadaan yang sesungguhnya. Setelah menyaksikan persidangan yang sangat melelahkan itu, publik bisa menduga hasil akhir, kendati belum tentu tepat. Jangankan para pemohon, termohon, dan pihak terkait, awam hukum yang menyaksikannya di TV pun tahu.
Tentu saja pendukung Paslon 01 bisa bilang bahwa gugatan Paslon 02 akan ditolak. Pendukung Paslon 02 pun begitu. Bisa berkata gugatan mereka dikabulkan MK. Apalagi karena mereka sudah terbiasa melakukan klaim menang sejak tanggal 17 April 2019 dengan persentase kemenangan yang terus berubah-ubah.
Namun, kali ini lain. Dugaan, harapan, klaim, atau optimisme sebesar apa pun tak memiliki nilai apa-apa secara hukum. Dikabulkan atau ditolaknya gugatan sepenuhnya ditentukan oleh terbukti-tidaknya apa yang didalilkan dalam persidangan. Ini pun harus diyakini kebenarannya atau ketidakbenarannya oleh hakim MK.
Bukti dan keterangan saksi
Dari sisi bukti, Paslon 02 memang perlu yakin bahwa gugatan mereka dikabulkan oleh hakim MK. Mengapa? Karena bukti yang mereka bawa di MK tidak tanggung-tanggung, ada 28 kontainer.
Hanya saja, jangan kira kontainer itu sebesar peti kemas. Yang dimaksud ialah kontainer plastik berukuran kira-kira 40 x 60 cm. Sebelumnya, memang sempat disebut empat truk yang terdiri dari C1 dari berbagai provinsi di Indonesia.
Namun, dalam kenyataan tidak begitu. Bukti bertumpuk-tumpuk itu pun sempat ditolak karena tidak memenuhi syarat. Tumpukan bukti disodorkan begitu saja. Tidak disusun rapi sebagaimana ketentuan dan kelaziman dalam hukum acara di MK.
Syukur bahwa MK masih berbaik hati. Mereka memberikan kesempatan kepada kuasa hukum Paslon 02 untuk menata alat bukti selama kurang lebih tiga jam, namun tidak semuanya bisa. Sebagian di antaranya tidak disahkan sebagai alat bukti oleh MK karena tidak memenuhi syarat.
Parahnya, bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan itu, keterangan para saksi banyak yang tak mendukung pernyataan-pernyataan menghebohkan dari kuasa hukum sebelumnya. Kesaksian Nur Latifah, misalnya. Ia bilang anggota KPPS di TPS 08 Dusun Winongsari, Desa Karangjati, Kabupaten Boyolali, mencobloskan 15 surat suara mewakili warga.
Tetapi ketika ditanya hakim apakah dia menegur petugas KPPS, Nur bilang tidak. Ia malah bilang bahwa apa yang dilakukan anggota KPPS itu sudah merupakan kesepakatan warga bagi pemilih berusia lanjut yang kesulitan mencoblos. Nah, merontokkan diri sendiri, bukan?