Sistem zonasi dalam merekrut calon siswa baru di berbagai tingkat pendidikan dasar dan menengah kembali mengundang polemik. Di beberapa tempat muncul protes dari pihak orang tua siswa karena dinilai tidak adil. Banyak warganet, pejabat di lingkungan Diknas, dan akademisi juga mengeritik sistem itu karena berbagai argumen.
Untuk meredam konflik berkepanjangan, Presiden Jokowi pun turun tangan. Beliau memerintahkan Mendikbud, Muhadjir Effendy untuk mengevaluasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi tahun 2019.
Hasilnya? Mendikbud langsung mengeluarkan Surat Edaran No 3 Tahun 2019 kepada seluruh pimpinan daerah (Gubernur dan Bupati/Wali Kota) di seluruh Indonesia yang pada intinya menginformasikan perubahan persentase yang diterima pada dua jalur PPDB. Surat ini didasari Permendikbud Nomor 20 Tahun 2019 sebagai perubahan atas Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tentang PPDB.
Dari ketentuan itu diketahui bahwa jalur zonasi diubah dari paling sedikit 90% dari daya tampung sekolah menjadi 80%, jalur prestasi diubah dari paling banyak 5% menjadi 15%, sementara jalur perpindahan tugas orang tua/wali, tetap 5%.
Pertanyaannya, apakah revisi itu dilaksanakan? Tidak sepenuhnya. Masih banyak yang bingung karena Juklak dan Juknis disusun terburu-buru.
Apakah dengan melaksanakan perubahan persentase itu dapat dianggap sebagai solusi terbaik dalam proses PPDB sehingga terwujud apa yang dinamakan keadilan individu dan keadilan sosial dalam memilih sekolah?
Pertanyaan itu sangat sulit dijawab. Sebab konsep maupun pemahaman tentang adil dan keadilan tak ada. Setidaknya tak pernah final. Terus menerus berproses tanpa henti.
Yang ada hanyalah suatu kondisi yang dianggap adil. Ini pun dibatasi sekedar keadilan prosedural, keadilan formal. Ketika suatu aturan diterbitkan, dilaksanakan, dan diterima, walaupun masih ada yang grundel, keadilan itu dianggap terpenuhi. Di sisi lain permasalahan yang nyata belum terpecahkan.
Bagaimana cara memerkecil "jarak" antar sekolah negeri sejenis sehingga semua dianggap baik dan layak dimasuki oleh semua calon siswa baru belum ditemukan. Peningkatan kualitas guru dan metode pembelajaran yang nyaris tak pernah berhenti seolah selalu terhenti di ruang pelatihan.
Kecurangan TST
Perlu diketahui bahwa dalam sistem apa pun selalu mengandung kekurangan. Sebaik apa pun aturan yang disusun selalu memiliki celah untuk disimpangi. Dalam kondisi itu, semestinya siapa saja yang terlibat dalam melaksanakan aturan perlu berusaha memerbaiki kekurangan demi kebaikan bersama.
Yang terjadi, bukan itu. Malahan sebaliknya. Kelemahan aturan selalu dijadikan alat untuk melakukan kecurangan. Banyak pejabat pelaksana peraturan dan orang tua siswa seolah saling melengkapi dalam melakukan kecurangan.
Para pejabat tertentu membuka "pintu belakang". Orang tua menyambut dengan transaksi "jual-beli" bangku. Dengan cara ini, si anak yang tadinya tidak bisa masuk melalui jalur zonasi atau jalur prestasi bisa diterima.
Jangan harap hal itu bisa dideteksi masyarakat umum. Pasalnya, akses orang tua lain atau pers, media, untuk melihat data siswa yang benar-benar diterima berdasarkan ketentuan zonasi maupun jalur prestasi tidak ada. Tak ada orang lain yang bisa mengoreksi karena buku registrasi dan data calon siswa tertutup. Hanya boleh dipegang petugas pendaftaran di sekolah.
Hal seperti ini umum terjadi pada jalur prestasi sebelum pemberlakuan jalur zonasi. Pajabat berwenang dan orang tua, kendati tidak semua, telah membentuk semacam sistem TST (tahu sama tahu), saling mendukung dan saling melengkapi dalam melakukan kecurangan.
Dalam terminologi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), hal itu dapat disebut pejabat menyalahgunakan jabatan demi uang receh, dan orang tua siswa mendukung dengan memberikan uang receh asalkan anaknya diterima di sekolah yang dikehendaki.
Dengan cara itu, cenderung muncul tiga hal. Pertama, anak-anak yang sesungguhnya tidak memenuhi syarat jalur zonasi atau prestasi diterima secara diam-diam. Diam-diam artinya ketika daftar nama yang diterima diumumkan, nama mereka tak tercantum. Mereka seolah tidak diterima, tetapi sesungguhnya nama mereka turut dilaporkan oleh sekolah ke Dinas Pendidikan sebagai bagian dari siswa baru yang diterima.
Kedua, orang tua yang tidak mau atau tidak tahu cara-cara seperti itu, maka anak-anak mereka yang sebetulnya memenuhi syarat tak bisa berbuat banyak selain memilih sekolah lain.
Ketiga, perpindahan alamat pura-pura atas nama "pindah tugas orang tua/wali" ke daerah zonasi sekolah yang diincar selalu muncul. Setidaknya berselang setahun atau lebih sebelumnya atau ketika si anak di kelas 5 kalau SD atau kelas 8 bagi SMP.
Kalau mau sebenarnya, hal tersebut bisa dicegah. Siapa saja yang melakukan perpindahan alamat pura-pura ditolak. Alamat asli mereka dari dokumen bisa dideteksi oleh pihak sekolah atau Dinas Pendidikan. Namun, hal ini tidak dilakukan karena kepentingan TST tadi. Atau mungkin karena pertimbangan lain seperti takut dituduh melanggar HAM, disorot media sehingga TST bisa terbongkar, atau menganggapnya wajar seperti sekolah lain juga.
Memerbaiki sekolah tertinggal
Saya akhirnya berpikir semua aturan yang diterbitkan atas nama perbaikan sistem pendidikan, mulai dari penataan PPDB, lembaga, sampai pada pebaikan kualitas materi ajar, metode ajar dan guru, cenderung tidak memberi hasil maksimal. Kalaupun ada kemajuan relatif kecil.
Berbagai kebijakan dan upaya perbaikan pendidikan dari waktu ke waktu terkesan kurang memberi hasil. Tidak sungguh-sungguh mengarah pada perbaikan pendidikan. Fokus perhatian sepertinya terbatas pada terlaksananya proyek, program, dan kegiatan. Bagaimana hasil setelahnya hampir tidak dianggap serius.
Itulah sebabnya tak perlu heran bila melihat banyak guru yang sudah malang melintang ikut pelatihan, seminar, nyaris tak berubah ketika melaksanakan tugas mengajar. Saran para motivator yang mengatakan, "Kemajuan dalam bidang apa pun, tidak ditentukan seberapa banyak yang engkau tahu melainkan seberapa serius engkau menerapkan apa yang engkau tahu."
Andaikata apa yang diketahui, peraturan yang ada misalnya, mau dijalankan secara benar, maka perbaikan berbagai aspek dalam dunia pendidikan, termasuk sistem PPDB, tak perlu terus-menerus diganti berdasarkan analisis di belakang meja. Harus didasarkan pada hasil penelitian yang benar-benar dilakukan untuk aspek pokok yang dihadapi.
Adanya sekolah yang selalu dipersepsi favorit, lebih baik dari sekolah lain, sudah pasti bisa diatasi dengan memerbaiki sekolah-sekolah tertinggal. Entah aspek gurunya yang memerlukan peningkatan kualitas, entah fasilitas, maupun manajemen sekolahnya.
Pada hemat saya, berbagai cara untuk memacu guru dan sekolah meningkatkan diri bukan barang baru bagi para ahli pendidikan. Prinsip punishment dan reward perlu konsisten diterapkan bagi guru, pimpinan sekolah, maupun para pejabat di Dinas Pendidikan berdasarkan ketercapaian target kualitas kinerja.
Kalau perlu, penilaian kinerja tidak terbatas pada penilaian atasan kepada bawahan. Model penilaian sistem 360 derajat, atasan ke bawahan dan sebaliknya, maupun penilaian selevel, perlu dilengkapi dengan penilaian lembaga berkualifikasi yang independent.
Saya kira dengan cara seperti ini, upaya memajukan pendidikan nasional pada jalur sekolah bisa diwujudkan. Kualitas sekolah bisa lebih merata. Lambat laun para orang tua maupun calon siswa baru percaya pada semua sekolah negeri, sehingga tidak lagi berjejal-jejal memilih hanya satu dua sekolah setiap musim penerimaan siswa baru. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H