Perlu diketahui bahwa dalam sistem apa pun selalu mengandung kekurangan. Sebaik apa pun aturan yang disusun selalu memiliki celah untuk disimpangi. Dalam kondisi itu, semestinya siapa saja yang terlibat dalam melaksanakan aturan perlu berusaha memerbaiki kekurangan demi kebaikan bersama.
Yang terjadi, bukan itu. Malahan sebaliknya. Kelemahan aturan selalu dijadikan alat untuk melakukan kecurangan. Banyak pejabat pelaksana peraturan dan orang tua siswa seolah saling melengkapi dalam melakukan kecurangan.
Para pejabat tertentu membuka "pintu belakang". Orang tua menyambut dengan transaksi "jual-beli" bangku. Dengan cara ini, si anak yang tadinya tidak bisa masuk melalui jalur zonasi atau jalur prestasi bisa diterima.
Jangan harap hal itu bisa dideteksi masyarakat umum. Pasalnya, akses orang tua lain atau pers, media, untuk melihat data siswa yang benar-benar diterima berdasarkan ketentuan zonasi maupun jalur prestasi tidak ada. Tak ada orang lain yang bisa mengoreksi karena buku registrasi dan data calon siswa tertutup. Hanya boleh dipegang petugas pendaftaran di sekolah.
Hal seperti ini umum terjadi pada jalur prestasi sebelum pemberlakuan jalur zonasi. Pajabat berwenang dan orang tua, kendati tidak semua, telah membentuk semacam sistem TST (tahu sama tahu), saling mendukung dan saling melengkapi dalam melakukan kecurangan.
Dalam terminologi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), hal itu dapat disebut pejabat menyalahgunakan jabatan demi uang receh, dan orang tua siswa mendukung dengan memberikan uang receh asalkan anaknya diterima di sekolah yang dikehendaki.
Dengan cara itu, cenderung muncul tiga hal. Pertama, anak-anak yang sesungguhnya tidak memenuhi syarat jalur zonasi atau prestasi diterima secara diam-diam. Diam-diam artinya ketika daftar nama yang diterima diumumkan, nama mereka tak tercantum. Mereka seolah tidak diterima, tetapi sesungguhnya nama mereka turut dilaporkan oleh sekolah ke Dinas Pendidikan sebagai bagian dari siswa baru yang diterima.
Kedua, orang tua yang tidak mau atau tidak tahu cara-cara seperti itu, maka anak-anak mereka yang sebetulnya memenuhi syarat tak bisa berbuat banyak selain memilih sekolah lain.
Ketiga, perpindahan alamat pura-pura atas nama "pindah tugas orang tua/wali" ke daerah zonasi sekolah yang diincar selalu muncul. Setidaknya berselang setahun atau lebih sebelumnya atau ketika si anak di kelas 5 kalau SD atau kelas 8 bagi SMP.
Kalau mau sebenarnya, hal tersebut bisa dicegah. Siapa saja yang melakukan perpindahan alamat pura-pura ditolak. Alamat asli mereka dari dokumen bisa dideteksi oleh pihak sekolah atau Dinas Pendidikan. Namun, hal ini tidak dilakukan karena kepentingan TST tadi. Atau mungkin karena pertimbangan lain seperti takut dituduh melanggar HAM, disorot media sehingga TST bisa terbongkar, atau menganggapnya wajar seperti sekolah lain juga.
Memerbaiki sekolah tertinggal