Mohon tunggu...
Yosafati Gulö
Yosafati Gulö Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Warga negara Indonesia yang cinta kedamaian.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sistem Zonasi, Kesungguhan Belajar dan Masa Depan yang Lebih Baik

22 Juni 2019   22:33 Diperbarui: 22 Juni 2019   22:48 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://indonesiabaik.id

Sistem zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang didasarkan pada Peraturan Mendikbud No 51 Tahun 2018 tentang PPDB mulai dari Taman Kanak-kanak sampai Sekolah menengah Atas sudah diterapkan sejak tahun lalu. Tujuannya baik. Secara singkat dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ketentuan Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa sistem itu didasarkan pada prinsip non diskriminatif, objektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Namun, hal ini dikecualikan bagi sekolah yang secara khusus melayani peserta didik dari kelompok gender atau agama tertentu.

Ditinjau dari tujuannya juga baik. Pasal 3 menegaskan bahwa sistem zonasi bertujuan untuk mendorong peningkatan akses layanan pendidikan, sekaligus digunakan sebagai pedoman bagi kepala daerah untuk dua hal. 

Satu, membuat kebijakan teknis pelaksanaan PPDB dan menetapkan zonasi sesuai dengan kewenangannya; Dua, kepala Sekolah dalam melaksanakan PPDB.

Dalam ketentuan Pasal 16 ditentukan bahwa dengan sisten zonasi penerimaan siswa didasarkan pada kriteria kedekatan lokasi sekolah dan tempat tinggal siswa. Ini prioritas pertama. Jika daya tampung sekolah masih memungkinkan, maka penerimaan berdasarkan nilai rapor atau nilai ujian nasional (UN) dimungkinkan.

Porsi untuk prioritas pertama paling sedikit 90%. Sisanya diberikan kepada calon siswa yang diseleksi berdasarkan nilai. Belakangan, Mendikbud, Muhadjir Effendy merevisi ketentuan tersebut dengan Surat Edaran No 3 Tahun 2019. Berdasarkan ketentuan baru, maka penerimaan siswa dengan jalur zonasi paling sedikit 80%, jalur prestasi paling banyak 15% dan perpindahan tugas orang tua atau wali paling banyak 5% dari daya tampung sekolah.

Pintu masuk "bermain-main"

Apa yang terkesan baik itu ternyata tidak diterima mulus di kalangan sebagian masyarakat. Di Surabaya misalnya, ratusan orang tua siswa ramai-ramai berunjuk rasa, melakukan protes di kantor Dinas Pendidikan.

Mereka membawa sejumlah spanduk yang meminta Jokowi untuk memecat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhajir Effendy. Massa baru tenang setelah ditemui Kepala Dinas Pendidikan M Ikhsan dan menjanjikan akan menyampaikan protes mereka ke pemerintah pusat di Jakarta.

"Saya yang menjadi jaminannya ke pusat, akan saya sampaikan langsung ke pusat," kata Ikhsan kepada massa melalui pengeras suara di Kantor Dinas Pendidikan Surabaya, Kamis (20/6/2019). (detiknews.com)

Di depok para orang tua menilai sistem zonasi tidak adil. Mereka lebih suka penerimaan siswa berdasarkan nilai. Ada yang bilang, kebijakan zonasi merugikan. Sebab, anaknya yang memiliki nilai tinggi bisa kalah dengan yang memiliki nilai lebih rendah tetapi rumahnya lebih dekat sekolah.

"Ini sebenarnya tidak adil ya, anak saya sudah belajar mati-matian untuk dapat nilai ujian nasional besar, tetapi harus kalah dengan siswa yang nilainya itu rendah, tapi zonasinya lebih dekat dibanding saya," ucap salah seorang orang tua siswa. (Kompas.com)

Protes tersebut sebenarnya tak perlu terjadi. Pasalnya, baik jalur prestasi seperti pada tahun-tahun sebelumnya maupun jalur zonasi, kenyataannya di lapangan nyaris sama. Untuk bisa masuk di sekolah yang dikehendaki, apalagi yang dipersepsi sebagai sekolah favorit sama-sama tidak pernah dilaksanakan menurut ketentuannya.

Yang banyak terjadi adalah kedua jalur itu merupakan pintu masuk untuk "bermain-main". Istilah jujurnya: curang! Baik pihak yang berkuasa mengelola penerimaan siswa di Dinas Pendidikan dan sekolah maupun orang tua siswa.

Istilah membeli bangku, sudah bukan rahasia lagi bagi yang mau dan tahu jalannya. Memang ini tidak terang-terangan. Hanya diketahui oleh orang yang biasa melakukannya dengan menghubungi pejabat di Dinas Pendidikan atau orang tertentu di sekolah.

Tetapi, bagi yang hanya taat aturan mau tidak mau hanya pasrah "menerima nasib". Kalau tidak mau atau tidak bisa menempuh jalur permainan, tak perlu ngoyo memilih sekolah negeri. Yang penting, anak bisa sekolah sekalipun  tidak harus di sekolah favorit.

Pengalaman nyata

Seorang teman dekat yang berdomisili di Kediri Kota mengeluh karena anaknya tidak ditrima di salah satu sekolah yang selalu dipersepsi favorit. Anaknya baru lulus SMP dan hendak melanjutkan sekolahnya di SMAN. Nilai anaknya cukup tinggi. Bahkan menurutnya lebih tinggi dari rata-rata nilai siswa yang diterima di SMAN tersebut.

Lokasi rumahnya yang terletak di sebelah Timur Sungai Brantas, sebenarnya tidak terlalu jauh dari sekolah yang dikehendaki di sebelah Barat Sungai. Jaraknya sekitar 2,5 km. Tetapi, anaknya ternyata tidak diterima. Alasannya dia berada di luar zonasi. Al hasil dengan agak sedih ia terpaksa memasukkan anaknya di salah satu sekolah swasta.

Dari informasi yang dia peroleh, domisili kebanyakan anak yang diterima memang lebih dekat dari sekolah. Tapi bukan penduduk asli setempat. Banyak di antaranya pindah alamat pura-pura. 

Sekadar pindah dalam kartu keluarga saudara atau kenalan, sementara tempat tinggal yang sesungguhnya lebih jauh dibandingkan anak teman tadi. Hal itu dilakukan orang tua siswa guna menyiasati ketentuan Mendikbud. Mereka sudah mengurus perpindahan lebih setahun sebelumnya, di saat anak mereka masih di kelas 8 SMP.

Hal yang sama juga terjadi di jalur prestasi. Anak saya sendiri mengalami hal tersebut dua tahun lalu ketika hendak melanjutkan sekolahnya di SMPN. Pada saat pengumuman, anak saya tak terlalu sedih karena nilai ujian nasionalnya hanya 256.5 atau rata-rata 8,88 sementara yang diterima di sekolah pilihannya paling rendah 270 atau rata-rata 9,0.

Belakangan dia ketahui bahwa temannya seangkatan dari SD yang nilainya sama, bahkan ada yang lebih rendah dari nilainya ternyata diterima di sekolah itu. Anak saya heran. Saya pun begitu. Saya tak mampu menjawab ketika ia bertanya bagaimana caranya mereka bisa diterima.

Saya hanya menghibur dan membesarkan hatinya agar tidak risau. "Mau sekolah di mana saja, sama saja. Kurikulum dan kriteria yang dipakai sama saja. Yang penting, belajar yang sungguh-sungguh. 

Masa depan tidak ditentukan oleh sekolah atau guru yang mengajarmu. Tetapi ditentukan oleh dirimu sendiri dan Tuhan yang berkuasa atas dirimu" kata saya seperti sedang berkhotbah. Ia pun manggut-manggut. Entah setuju entah tidak, saya tidak tahu.

Berdasarkan kejadian-kejadian tersebut, saya sendiri berpikir mau pakai sistem apa saja selalu hanya baik pada tataran aturan, tetapi bisa menjadi apa saja di tangan pelaksana di lapangan. Aturan yang baik akan baik di tangan orang baik, dan akan menjadi buruk di tangan pribadi buruk. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun