"Ini sebenarnya tidak adil ya, anak saya sudah belajar mati-matian untuk dapat nilai ujian nasional besar, tetapi harus kalah dengan siswa yang nilainya itu rendah, tapi zonasinya lebih dekat dibanding saya," ucap salah seorang orang tua siswa. (Kompas.com)
Protes tersebut sebenarnya tak perlu terjadi. Pasalnya, baik jalur prestasi seperti pada tahun-tahun sebelumnya maupun jalur zonasi, kenyataannya di lapangan nyaris sama. Untuk bisa masuk di sekolah yang dikehendaki, apalagi yang dipersepsi sebagai sekolah favorit sama-sama tidak pernah dilaksanakan menurut ketentuannya.
Yang banyak terjadi adalah kedua jalur itu merupakan pintu masuk untuk "bermain-main". Istilah jujurnya: curang! Baik pihak yang berkuasa mengelola penerimaan siswa di Dinas Pendidikan dan sekolah maupun orang tua siswa.
Istilah membeli bangku, sudah bukan rahasia lagi bagi yang mau dan tahu jalannya. Memang ini tidak terang-terangan. Hanya diketahui oleh orang yang biasa melakukannya dengan menghubungi pejabat di Dinas Pendidikan atau orang tertentu di sekolah.
Tetapi, bagi yang hanya taat aturan mau tidak mau hanya pasrah "menerima nasib". Kalau tidak mau atau tidak bisa menempuh jalur permainan, tak perlu ngoyo memilih sekolah negeri. Yang penting, anak bisa sekolah sekalipun tidak harus di sekolah favorit.
Pengalaman nyata
Seorang teman dekat yang berdomisili di Kediri Kota mengeluh karena anaknya tidak ditrima di salah satu sekolah yang selalu dipersepsi favorit. Anaknya baru lulus SMP dan hendak melanjutkan sekolahnya di SMAN. Nilai anaknya cukup tinggi. Bahkan menurutnya lebih tinggi dari rata-rata nilai siswa yang diterima di SMAN tersebut.
Lokasi rumahnya yang terletak di sebelah Timur Sungai Brantas, sebenarnya tidak terlalu jauh dari sekolah yang dikehendaki di sebelah Barat Sungai. Jaraknya sekitar 2,5 km. Tetapi, anaknya ternyata tidak diterima. Alasannya dia berada di luar zonasi. Al hasil dengan agak sedih ia terpaksa memasukkan anaknya di salah satu sekolah swasta.
Dari informasi yang dia peroleh, domisili kebanyakan anak yang diterima memang lebih dekat dari sekolah. Tapi bukan penduduk asli setempat. Banyak di antaranya pindah alamat pura-pura.
Sekadar pindah dalam kartu keluarga saudara atau kenalan, sementara tempat tinggal yang sesungguhnya lebih jauh dibandingkan anak teman tadi. Hal itu dilakukan orang tua siswa guna menyiasati ketentuan Mendikbud. Mereka sudah mengurus perpindahan lebih setahun sebelumnya, di saat anak mereka masih di kelas 8 SMP.
Hal yang sama juga terjadi di jalur prestasi. Anak saya sendiri mengalami hal tersebut dua tahun lalu ketika hendak melanjutkan sekolahnya di SMPN. Pada saat pengumuman, anak saya tak terlalu sedih karena nilai ujian nasionalnya hanya 256.5 atau rata-rata 8,88 sementara yang diterima di sekolah pilihannya paling rendah 270 atau rata-rata 9,0.