Mohon tunggu...
Yosafati Gulö
Yosafati Gulö Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Warga negara Indonesia yang cinta kedamaian.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Ancaman 30 Tahun Penjara Tengah Menunggu Kivlan Zen

20 Juni 2019   16:07 Diperbarui: 20 Juni 2019   16:23 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini, Mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayjen (Purn) Kivlan Zen pasti terus dihantui kegelisahan luar biasa. Tidak bisa tidur lelap, sudah pasti. Perasaan dan pikiran tidak tenang, tentu saja. Bukan cuma karena sumpeknya ruangan tahanan di Rumah Tahanan Guntur yang penahanannya diperpanjang lagi selama 40 hari.

Yang membuat Kivlan gelisah adalah ancaman pidana yang terus memelototinya atas dua dugaan tindak pidana yang sangat mungkin menjeratnya.

Pertama, kepemilikan senjata api ilegal, dan kedua, rencana pembunuhan terhadap empat tokoh nasional dan satu direktur eksekutif lembaga survey.

Di tengah-tengah hebohnya persidangan gugatan PHPU Pilpres di MK, kita perlu tetap mengingat, bahkan mencermati ancaman pidana untuk Kivlan. Pasalnya, kegelisahan Kivlan itu tidak berdiri sendiri. Tali menali dengan peristiwa Pilpres yang hasil perhitungan suaranya digugat dan tengah disidangkan di MK.

Pertama, kepemilikan senjata ilegal 
Siapa saja yang coba memiliki senjata api secara ilegal ia diancam ketentuan pidana Pasal 1 ayat (1) UU Darurat No 12 Tahun 1951. Ketentuannya:

"Barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun".

Berdasarkan ketentuan itu, ada tiga kemungkinan ancaman pidana yang jadi patokan hakim untuk memutuskan hukuman pelaku, dalam hal ini Kivlan. Semuanya tidak menyenangkan. Paling tinggi hukuman mati dan paling rendah hukuman penjara 20 tahun.

Mana yang diputuskan hakim, sangat tergantung pada beberapa hal. Di antaranya ialah motivasi, sekaligus tujuannya, memiliki senjata. Dalam ilmu hukum, hal ini dikenal dengan istilah mens rea.

Untuk mengetahui niatnya itu, pertanyaan hakim akan selalu menggali apa alasannnya memiliki senjata api. Apakah sekedar melindungi diri atau untuk tujuan lain? Bila sekedar jaga-jaga, untuk melindungi diri, hukumannya pasti lebih ringan dibanding dengan memiliki senjata untuk tujuan jahat, seperti merampok atau membunuh.

Faktor penentu lainnya adalah sikapnya selama persidangan di pengadilan. Makin kooperatif, bersikap santun atau sopan dalam berkata-kata, dalam menyampaikan keterangan kepada jaksa penuntut umum (JPU) maupun kepada hakim di ruang pengadilan, maka peluangnya mendapatkan hukuman lebih ringan dimungkinkan. Namun, jika sebaliknya, maka hukumannya bisa lebih berat.

Apabila Kilvan menghendaki hukuman yang lebih rendah, walaupun tak rendah-rendah banget, 20 tahun, maka selama persidangan ia perlu kooperatif dengan jaksa maupun hakim. Kivlan perlu bicara jujur, bicara apa adanya, tidak berbelit-belit, dan berlaku sopan ketika memberikan keterangan dalam persidangan.

Kedua, perencanaan pembunuhan
Bicara soal pembunuhan, mau tidak mau kita bicara KUHP. Pidana pokok untuk pembunuhan diatur dalam Pasal 338-350 KUHP. Untuk kasus Kivlan, pidana pokoknya diatur pada Pasal 340 jo Pasal 53 jo Pasal 55 jo Pasal 163 bis.

Ketentuan pidana pokoknya di Pasal 340 berbunyi: "Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun."

Berdasarkan ketentuan dalam pasal-pasal tersebut, Kivlan memenuhi kualifikasi sebagai pelaku tindak pidana, baik itu dilihat dari niatnya (mens rea) maupun tindakannya (actus reus) menyuruh membeli senjata, mencari calon pelaku pembunuhan, menentapkan target, memberikan foto orang yang diincar, membayar calon pelaku merupakan bukti yang tak terbantahkan di depan pengadilan.

Sebagai pemilik niat membunuh, Kivlan dijerat oleh ketentuan Pasal 53 ayat (1). Ketentuannya berbunyi, "Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri."

Niat permulaan itu sudah jelas. Peran Kivlan dalam hal ini adalah perencana, penganjur, penyuruh, pemberi janji sesuatu kepada pelaku. Hal ini memenuhi ketentuan Pasal 55 ayat (1) angka 1 dan angka 2. Ketentuannya:

  • mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
  • mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

Berdasarkan ketentuan tersebut, Kivlan bisa diancaman pidana menurut ketentuan Pasal 53 ayat (3) yang menentukan "Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun."

Bisa saja hakim tidak menggunakan ketentuan terebut Pasal 53 ayat (3) tersebut tetapi mengunakan ketentuan Pasal 53 ayat (2) dengan alasan bahwa apa yang dilakukan Kivlan barulah pada tahap percobaan atas perbuatan pidana tertentu. Jika ini yang dipakai maka ancaman pidana Kivlan dikurangi sepertiga.

Ini artinya, kalau misalnya JPU mendakwa Kivlan dengan pidana penjara waktu tertentu selama 20 tahun, berarti ancaman hukumannya 20 tahun dikurangi sepertiga atau 6, 6 tahun atau katakanlah 6 tahun saja, maka ancaman pidananya 14 tahun.

Anggap saja JPU mendakwa Kivlan dengan ketentuan Pasal 53 ayat (2) atau ayat (3), tetapi hakim memutuskan hukumannya selama 10 tahun, maka pertanyaannya, apakah kedua ancaman pidana itu bisa diakumulasi? Jika ya, maka hukuman Kivlan menjadi 30 tahun. Ini bukan waktu yang singkat, bukan?

Jika ini yang terjadi, maka wajar saja Kivlan terus gelisah. Dalam benaknya pasti terbayang rupa-rupa ketidaknyamanan. Bersamaan dengan usianya yang makin sepuh, bukan tidak mungkin ia sudah mulai membayangkan betapa sia-sianya menghabiskan sisa hidup dalam lembaga pemasyarakatan.

KUHP menolong Kivlan
Syukur bahwa ketentuan hukum pidana dalam KUHP telah memberikan kelonggaran bagi Kivlan. Ketentuan Pasal 63 ayat (1), Pasal 64 ayat (1), Pasal 65 ayat (1), dan Pasal 66 ayat (1) tampaknya menolong Kivlan.

Apabila JPU mengacu pada salah satu ketentuan itu yang juga menjadi dasar keputusan hakim, maka hukuman yang dikenakan kepada Kivlan tidak diakumulasi. Hakim hanya boleh memilih hukuman pidana terberat. Dengan begitu, kemungkinan yang paling ringan bagi Kivlan adalah 20 tahun saja.

Hukuman semacam ini sebenarnya masih merupakan perdebatan di kalangan para ahli hukum. Kendati dua tindak pidana itu dapat diartikan sebagai satu tindak pidana karena tujuannya satu, yakni kepemilikan senjata api ilegal (membeli tanpa hak) untuk tujuan membunuh orang lain, namun ada pandangan bahwa hukuman yang diberikan haruslah akumulasi.

Hukuman untuk tindak pidana kepemilikan senjata api ilegal ditambahkan dengan hukuman tindak pendana perencanaan pembunuhan. Dalam ilmu hukum hal ini dikenal dengan istilah sistem kumulasi atau concursus realis.

Saya sendiri setuju hukuman akumulasi. Dalam pelaksanaannya bisa dikonversi dalam beberapa bentuk. Misalnya hukuman 30 tahun atau lebih bisa dikurangi dengan hukuman-hukuman sosial seperti menyapu jalan, membesihkan toilet umum, membersihkan ruangan dan halaman lembaga pemasyarakatan, dan sebagainya. Pekerjaan sebulan misalnya disetarakan dengan hukuman penjara tiga bulan.

Bagi saya, hukuman semacam ini lebih adil bagi korban tindak pidana. Kemungkinan besar juga bisa memberikan efek jera. ***

Artikel terkait:
Kivlan Zen Meminta Belas Kasihan, Wiranto Mau Bantu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun